Apa perbedaan prinsip antara bersikap netral dan imparsial? ‘Netral’ dan ‘Imparsial’ sering diperdebatkan terkait sikap dan tindakan pers, pemerintah (termasuk ASN dan TNI/Polri), universitas, dan lembaga survei/polling selama Pilpres/Pilkada.
Secara prinsip, antara bersikap netral dan imparsial memiliki perbedaan yang signifikan dalam konteks sikap dan tindakan lembaga-lembaga yang disebutkan selama Pilpres/Pilkada. Berikut adalah perbedaan utama antara kedua prinsip tersebut:
Bersikap Netral
Bersikap netral berarti tidak memihak atau tidak berpihak kepada salah satu pihak yang terlibat dalam Pilpres/Pilkada. Ini mengharuskan lembaga untuk menjaga jarak dari kepentingan politik dan menghindari tindakan atau pernyataan yang dapat mempengaruhi pandangan publik. Bersikap netral juga berarti memberikan kesempatan yang adil dan sama kepada semua pihak yang terlibat untuk menyampaikan pandangan atau program mereka.
Bersikap Imparsial
Bersikap imparsial berarti berlaku adil dan tidak memihak kepada siapapun secara objektif. Prinsip ini menekankan bahwa lembaga-lembaga tersebut harus melakukan tindakan atau memberikan keputusan yang berdasarkan fakta dan bukti, tanpa adanya preferensi atau pandangan pribadi. Imparsialitas menuntut lembaga-lembaga tersebut untuk melihat dan memperlakukan semua pihak yang terlibat secara adil dan memberikan kesempatan yang sama untuk mempertahankan argumen atau pendapat mereka.
Dalam konteks Pilpres/Pilkada, secara operasional bersikap netral berarti menjaga independensi lembaga dari pengaruh politik dan memberikan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang terlibat. Sementara itu, imparsialitas berarti mengambil keputusan atau melaporkan informasi berdasarkan fakta dan tanpa memihak kepada siapapun, mengabaikan kepentingan politik atau pribadi.
Netral tetapi Tidak Imparsial
Berikut adalah beberapa contoh kondisi yang menunjukkan bahwa pers, pemerintah (termasuk ASN dan TNI/Polri), universitas, dan lembaga survei/polling netral tetapi tidak imparsial:
Pertama, contoh tentang pers yang netral tetapi tidak imparsial. Misalnya, sebuah media berita menerbitkan artikel yang secara keseluruhan tidak memihak ke salah satu kandidat, tetapi cenderung memberikan liputan yang lebih positif atau negatif terhadap salah satu kandidat daripada yang lain. Ini mengindikasikan ketidakefektifan dalam memberikan penilaian berdasarkan fakta dan bukti yang objektif. Contoh lain, seorang jurnalis yang tidak memiliki preferensi politik yang jelas dalam laporan-laporannya, tetapi menggunakan kutipan yang selektif untuk mewakili opini pribadinya dengan mengesampingkan fakta-fakta yang tidak mendukung pandangannya. Hal ini menunjukkan bahwa produk pers tersebut bersikap netral, tetapi tidak imparsial dalam menyampaikan informasi.
Kedua, contoh tentang pemerintah (termasuk ASN dan TNI/Polri), universitas, dan lembaga survei/polling netral tetapi tidak imparsial. Misalnya, pemerintah (termasuk ASN dan TNI/Polri) yang menjaga netralitas dengan tidak secara terbuka mendukung salah satu kandidat, tetapi memberikan akses atau keuntungan tertentu kepada satu kandidat daripada yang lain. Ini akan menciptakan ketidakadilan dalam proses Pilpres/Pilkada dan mengindikasikan ketidakefektifan dalam menjaga sikap imparsialitas.
Contoh lain, sebuah universitas memang tidak secara aktif mendukung pihak mana pun dalam Pilpres/Pilkada tetapi memberikan fasilitas yang lebih besar kepada salah satu kandidat untuk mengadakan kampanye atau acara publik. Hal ini menunjukkan ketidakefektifan universitas dalam menjaga imparsialitas dalam memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak. Atau contoh lain, di mana sebuah lembaga survei/polling yang secara objektif memperoleh data dan informasi, tetapi kemudian menginterpretasikannya dengan bias ke arah salah satu kandidat atau kelompok tertentu. Ini menunjukkan ketidakmampuan lembaga tersebut dalam menjaga imparsialitas saat menganalisis dan melaporkan hasil survei/polling.
Imparsial, tetapi Tidak Netral
Berikut adalah contoh kondisi di mana pers, pemerintah (termasuk ASN dan TNI/Polri), universitas, dan lembaga survei/polling imparsial tetapi tidak netral.
Pertama, ada kondisi di mana pers yang imparsial tetapi tidak netral. Misalnya, sebuah media berita memberikan liputan yang objektif, berdasarkan fakta dan bukti yang ada, tetapi memiliki preferensi yang jelas terhadap salah satu kandidat dan berupaya secara tidak langsung mempengaruhi opini publik melalui penulisan yang bias atau penekanan pada cerita yang mendukung pandangannya tersebut.
Kedua, ada kondisi di mana pemerintah (termasuk ASN dan TNI/Polri), universitas, dan lembaga survei/polling imparsial tetapi tidak netral. Misalnya, pemerintah (termasuk ASN dan TNI/Polri) yang secara adil memperlakukan semua kandidat dan menegakkan peraturan dalam proses Pilpres/Pilkada, tetapi secara terbuka mendukung salah satu kandidat atau partai politik tertentu.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
4 replies on “Netral Belum Tentu Imparsial”
Terima Kasih. Penjelasan sangat jelas.
Menarik! Mencerahkan! Menyimak, Pak Edy.
Konsep netralitas dan imparsialitas harus diakui dibangun atas konsep dasar bahwa masyarakat kita masih cenderung paternalistik. Orang masih berpayah-payah mendengarkan pernyataan dan melihat perilaku para patronnya.
Para patron masa awal kemerdekaan adalah para pamongpraja. Pada masa kemerdekaan untuk tidak mengatakan modern, para patron adalah para pejabat, para pegawai negeri, polisi dan tentara, yang diandaikan memiliki intelektualitas yang lebih memadai dibandingkan dengan masyarakat umum.
Semua ucapan/pernyataan dan perilaku patron menjadi benchmark masyarakat. Tentu sangat tergantung pada intensitas kedekatan dan ketergantungan mereka dengan para patron. Semakin kuat hubungan klien dan patron ini semakin kuat pula ia mempengaruhi cara masyarakat menetapkan aspirasi, orientasi, bentuk dan perilaku politik dan juga pilihan politik.
Ketika masyarakat cenderung individualistis dan teknologi semakin memilah manusia, hubungan patron-klien ini mungkin agak merenggang ya. Apalagi, mobilisasi massa tidak senantiasa mudah dilakukan. Kecuali jika ada dana, jaringan besar, pengaruh yang besar ada di belakang maka jebakannya tentu saja adalah nepotisme dan akhirnya korupsi.
Mensiasati situasi ini, segelintir politisi membangkitkan kesadaran yang cenderung lebih primordialistis dan membangun konsep tentang musuh bersama. Untuk Indonesia, fenomena ini harus diakui pelahan bangkit pada awal era 1970-an. Karena itu, kita pun mendengar isu kebangkitan masyarakat, yang pada era menjelang kejatuhan Soeharto, dicoba disamarkan dengan konsep kebangkitan masyarakat madani, meski kita temukan cenderung berorientasi agama.
Dalam situasi seperti ini, para pembelajar budaya, lalu berucap, “masyarakat dan budaya senantiasa membentuk keseimbangannya sendiri.” Dan karena itu, tanpa disadari, dia menjadi adagium pembenaran.
Dalam konteks seperti ini, saya kira dan untuk menjaga agar marwah konsep netralitas dan imparsialitas terjaga, kita butuhkan system peradilan yang dapat dipercaya. Persoalannya, kita baru saja menyaksikan peradilan kita tidak bisa dipercaya.
Jadi, hemat saya, netralitas dan imparsialitas bukan lagi soal kecenderungan yang primordialistis dan suara hati Masyarakat, tetapi juga soal reliabilitas hukum.
Pak Jacobus E. Lato,
Terima kasih telah memberikan ulasan kritis dan membuka pertimbangan lain di luar pemosisian netralitas dan imparsialitas lebih dari sekadar regulasi Pilpres/Pilkada.
Pernyataan Anda hendak mengajak kita menyadari adanya fenomena paternalistik dalam masyarakat Indonesia, di mana para pejabat dan personel pemerintah dianggap memiliki intelektualitas yang lebih tinggi dan menjadi para patron yang memimpin masyarakat. Pernyataan ini mengungkapkan bahwa netralitas dan imparsialitas didasarkan pada konsep bahwa para politisi berusaha menciptakan kesadaran yang bersifat primordialis dengan membangun konsep musuh bersama.
Selanjutnya, Anda juga mengaitkan fenomena ini dengan kebangkitan masyarakat pada era 1970-an dan kejatuhan Soeharto, yang dicoba disamarkan dengan konsep kebangkitan masyarakat madani, walaupun konsep ini Anda tengarai cenderung berorientasi agama. Konklusi ini menunjukkan pemahaman Anda terhadap pengaruh politik dan budaya dalam membentuk paradigma masyarakat terhadap netralitas dan imparsialitas.
Pada akhirnya, Anda menyimpulkan bahwa untuk menjaga konsep netralitas dan imparsialitas tetap terjaga, diperlukan sistem peradilan yang dapat dipercaya. Hal ini mengindikasikan bahwa Anda menempatkan netralitas dan imparsialitas sebagai isu yang lebih terkait dengan reliabilitas hukum daripada kecenderungan primordialis dan suara hati masyarakat.
Dengan demikian, dengan ulasan ini Anda mengajukan pemahaman tentang pengaruh politik, budaya, dan sistem peradilan terhadap persepsi dan pemahaman masyarakat mengenai netralitas dan imparsialitas. Anda juga mengkritik pembenaran terhadap fenomena paternalistik dalam masyarakat melalui konsep kebangkitan masyarakat madani.
Terima kasih masukan Anda yang mencerahkan.
Ijinkan saya menyampaikan cerita imajiner tentang netralitas dan imparsialitas.
Alfa sebagai anggota kepolisian bertugas di divisi intelhukam dan memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah suatu acara bisa tetap terlaksana atau tidak.
Alfa bersahabat dengan Omega (seniman). Omega bersama komunitas seni akan mengadakan pertunjukan seni monolog di Taman Ismail Marzuki yang dikenal luas sebagai tempat berkesenian. Judul monolog yang akan dibawakan Omega yaitu Jokotole Melanggengkan Kekuasaan dengan Menciptakan Hukum yang memperkuat Dinasti Politik.
Omega mengundang Alfa untuk menghadiri acara senin tersebut.
Komunitas Omega mengajukan ijin ke divisi intelhukam.
Alfa pada posisi sulit untuk memutuskan, satu sisi acara tersebut memang ada muatan politisnya, dimana sudah ada panduan agar acara yang sensitif politik diminimlalkan eksesnya. Sisi lain, acara tersebut lebih bersifat ekspresi seni dan dilakukan di tempat ekspresi seni.
Setelah beberapa lama menimbang maka Alfa memutuskan untuk tetap memberi ijin pelaksanaan monolog tersebut.