Categories
Begini Saja

Keterhujatan dan Elektabilitas

Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dirilis Senin 11 Desember 2023, elektabilitas Prabowo-Gibran 39,3%, unggul cukup jauh dibandingkan Anies Baswedan-Muhaimin 16,7% dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD 15,3%. Menurut survei ini, penetrasi politik Prabowo-Gibran lebih banyak menimbulkan efek negatif pada elektabilitas Ganjar-Mahfud daripada Anies Baswedan-Muhaimin. Dibandingkan dengan survei periode sebelumnya, nyaris separuh, dan ini lebih dari 10%, pendukung Ganjar menyusut. Beralihnya dukungan ini tak lepas dari faktor Jokowi yang kini termanifestasikan dalam putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi cawapres Prabowo.

Jika pembaca mengamati fakta di lapangan dan terpaan yang berseliweran di platform medsos yang menunjukkan bahwa tim pemenangan Ganjar-Mahfud cenderung lebih penetratif bahkan agresif dalam melakukan kampanye negatif terhadap paslon Prabowo-Gibran, seperti: Gibran yang dicalonkan sebagai wapres secara inkonstitusional, yang selalu menghindari undangan kampus, yang  takut berdebat dan sebagainya; sementara menurut laporan Kompas ketergerusan elektabilitas Ganjar-Mahfud dikaitkan dengan “penetrasi politik Prabowo-Gibran”, dalam hal ini ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi:

Pertama, laporan Kompas dapat saja menggunakan interpretasi data tertentu atau memperhatikan kecenderungan tertentu dalam persepsi masyarakat yang mempengaruhi elektabilitas paslon Ganjar-Mahfud. Interpretasi data dapat bervariasi tergantung pada perspektif dan analisis yang dilakukan oleh penulis laporan.

Kedua, sementara tim pemenang Ganjar-Mahfud menerapkan strategi kampanye yang lebih agresif dan meresap, liputan atas paslon Prabowo-Gibran yang lebih luas atau terfokus secara keseluruhan lebih memengaruhi persepsi publik. Atau sebaliknya, jika berita tentang pasangan calon Prabowo-Gibran ternyata jauh kurang intensif dibandingkan liputan tentang paslon Ganjar-Mahfud, kesan yang terbentuk akibat penetrasi Ganjar-Mahfud tidak dapat secara signifikan menggoyahkan pengaruh penetrasi politik yang sudah terbentuk akibat penetrasi Prabowo-Gibran via efek Jokowi.

Ketiga, persepsi publik terhadap tim pemenangan dan strategi kampanye negatif atau kampanye hitam juga dapat mempengaruhi bagaimana hasil jajak pendapat diinterpretasikan. Terlepas dari fakta lapangan, jika publik menganggap tim pemenangan Prabowo-Gibran tidak menerapkan kampanye agresif atau cenderung melakukan kampanye yang gembira dan santun, ini bisa mempengaruhi persepsi terhadap paslon Ganjar-Mahfud yang lebih agresif.

Efek Bumerang

Sebagai anggota keluarga Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang diusung menjadi cawapres Prabowo Subianto, menjadi target kritik karena diasumsikan mendapatkan keuntungan politis dengan menggunakan hubungan keluarganya. Beberapa kritik yang mungkin ditujukan kepada Gibran adalah kurangnya pengalaman politik yang relevan dan ketidakmampuannya untuk memenuhi harapan pemilih terhadap pemimpin yang kompeten. Dalam konteks politik, kritik dan asumsi negatif dapat mencakup tuduhan nepotisme, keberpihakan, atau perlakuan istimewa yang diduga diberikan kepada Gibran sebagai anggota keluarga Jokowi.

Analisis psikologi politik dapat memberikan pemahaman tentang fenomena ini. Dalam konteks ini, makin dihujatnya paslon Prabowo-Gibran justru menjadi pendorong kenaikan elektabilitas mereka karena adanya efek simpati dari masyarakat. Ketika paslon tersebut dihujat secara intens, terjadilah “efek bumerang”, di mana masyarakat bisa merasa bahwa paslon tersebut menjadi korban dan ini dapat memunculkan rasa empati dan dukungan lebih untuk paslon itu.

Di sisi lain, paslon yang diasumsikan lebih melakukan hujatan (Ganjar-Mahfud dan Anies-Imin) mungkin menjadi korban dari efek bumerang tersebut. Hujatan yang terlalu agresif atau kurangnya argumentasi yang kuat, dapat memengaruhi citra paslon tersebut di mata masyarakat. Masyarakat dapat merasa bahwa paslon yang melakukan hujatan tersebut kurang memiliki integritas dan etika politik yang baik, sehingga mengurangi dukungan untuk mereka.

Selain itu, ada juga faktor kelelahan politik yang dapat mempengaruhi elektabilitas paslon. Ketika paslon terlalu intensif dan agresif dalam melakukan hujatan, masyarakat dapat merasa lelah dengan politik negatif dan mencari alternatif lain yang lebih positif dan berorientasi pada solusi.

Faktor Penyumbang Elektabilitas

Analisis psikologi politik dalam situasi meningkatnya elektabilitas seperti ini dapat melibatkan beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap pemilih terhadap paslon. Berikut beberapa faktor yang mungkin berperan dalam situasi ini:

Pertama, dalam politik, kepercayaan pemilih sangat penting dalam membangun kredibilitas dan popularitas kandidat. Paslon yang dihujat mungkin telah memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat persepsi kepercayaan pemilih terhadap mereka. Pemilih dapat melihat hujatan tersebut sebagai tanda bahwa paslon yang dihujat dianggap sebagai ancaman atau memiliki potensi untuk mengalahkan paslon yang menghujat.

Kedua, pemilih sering kali mendukung kandidat yang dianggap mewakili nilai-nilai atau identitas mereka (Suhardono & Audifax, 2023: 53). Dalam situasi ini, pemilih yang sudah memiliki afiliasi politik atau simpati terhadap paslon yang dihujat mungkin akan semakin solid dalam dukungannya. Dalam hal ini, hujatan terhadap paslon tersebut justru dapat memperkuat loyalitas pemilih terhadap paslon yang dihujat.

Ketiga, pemilih memiliki kecenderungan untuk merespons hujatan secara berbeda. Beberapa pemilih mungkin akan melihat hujatan tersebut sebagai serangan politik biasa dan secara tidak langsung meyakini bahwa paslon yang dihujat memiliki kekuatan dan popularitas yang cukup untuk menjadi target serangan. Namun, beberapa pemilih lainnya mungkin melihat hujatan tersebut sebagai catatan negatif yang dapat meruntuhkan citra paslon yang menghujat.

Keempat, dalam situasi di mana paslon saling menghujat, pemilih dapat mengalami polarisasi. Hal ini berarti pemilih yang sudah memiliki preferensi atau afiliasi politik yang kuat akan semakin menguatkan dukungan mereka terhadap paslon yang sudah mereka pilih sebelumnya. Namun, efek polarisasi ini dapat menyebabkan pemilih yang netral atau belum memutuskan pilihan menjadi semakin skeptis terhadap kedua paslon.

Terkait efek polarisasi ini, hasil lain yang tak kalah penting dari survei Litbang Kompas adalah bahwa terdapat sebanyak 28,7% pemilih bimbang (undecided voters), yakni yang menjawab tidak/belum punya pilihan dan tidak menjawab sama sekali dan proporsi ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka pada hasil survei sebelumnya, yakni sebesar 15,4%. Pemilih bimbang umumnya adalah mereka yang tidak memiliki ikatan ideologis dan emosional baik dengan capres maupun cawapres tertentu. Kelompok ini diidentifikasi sebagai pemilih Presiden Jokowi di Pilpres 2019 dan sebagian lagi merupakan kelompok yang tidak menggunakan haknya atau merahasiakan pilihannya.

Kelima, hujatan yang ditujukan kepada paslon bisa memicu pergeseran fokus isu dalam pilihan pemilih. Pemilih mungkin akan lebih fokus pada isu-isu yang dihujatkan tersebut daripada isu-isu lain yang mungkin penting, seperti kebijakan atau kompetensi paslon. Hal ini dapat berdampak negatif pada paslon yang menghujat, karena pemilih mungkin akan melihat mereka sebagai pembuat polemik atau mencoba mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih penting.

Dalam situasi ini, peningkatan elektabilitas paslon yang dihujat mungkin terjadi melalui penguatan persepsi kepercayaan, identifikasi dengan paslon, dan respons pemilih terhadap hujatan. Namun, paslon yang menghujat dapat mengalami penurunan karena pemilih mungkin melihat mereka sebagai pembuat polemik atau mencoba mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih penting bagi pemilih.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

One reply on “Keterhujatan dan Elektabilitas”

Saya berpendapat bahwa keterhujatan memang akan terjadi di interaksi kehidupan kita termasuk kehidupan politik.
Saya membayangkan bahwa yang tetap dikedepankan oleh individu-individu dan organisasi politik serta organisasi masyarakat yaitu konsistensi nilai perjuangan untuk kesejahteraan bersama.
Berbeda pendapat, berbeda strategi diberi wadah dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama, bukan ke arah untuk menghujat, menjelekkan dan menjatuhkan pihak lain terutama dengan data yang manipulatif.
Memang butuh waktu dan koneksitas serta sinergitas yang kuat bagi anak-anak bangsa.
Teringan salah satu judul lagu Rumah Bersama (kalau ga salah ingat).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *