Sekolah dan guru telah lama menjadi pusat dari segala proses belajar-mengajar. Banyak orang menganggap bahwa sekolah dan guru adalah satu-satunya model pendidikan yang dapat mengantarkan individu mencapai tujuan kependidikan dan kemajuan peradaban. Namun, perkembangan teknologi digital serta hasil penelitian mutakhir mengindikasikan bahwa paradigma ini perlu ditinjau ulang.
Sementara itu, minat menjadi guru makin rendah, sehingga kekurangan guru pun jadi masalah (Kompas 18/7/24), yang menuntut kita untuk meninjau kembali model pendidikan konvensional dan mencari alternatif yang mampu menopang kebutuhan zaman modern. Melalui tulisan ini penulis mengulas, pendidikan tanpa sekolah tidak hanya mungkin, tetapi justru dapat menjadi solusi atas berbagai permasalahan pendidikan yang kita hadapi saat ini, termasuk kekurangan guru.
Modus Pembelajaran
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Harvard Graduate School of Education pada tahun 2019, ditemukan bahwa pembelajaran mandiri yang dilakukan di luar sistem sekolah formal dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan inisiatif peserta didik secara lebih efektif (Smith et al., 2019). Peserta didik yang terlibat dalam proyek-proyek independen atau komunitas belajar menunjukkan peningkatan motivasi dan rasa memiliki yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang mengikuti pembelajaran di sekolah.
Penelitian lain menunjukkan, pendidikan berbasis teknologi, seperti e-learning dan kursus daring, sedang berkembang pesat. Menurut laporan dari EdTechXGlobal (2020), pasar pendidikan digital diharapkan mencapai $350 miliar pada tahun 2025. Pandemi COVID-19 yang juga telah mempercepat adopsi pembelajaran daring menunjukkan bahwa banyak institusi mampu beralih dengan cepat dan efektif. Hal ini menandakan bahwa pendidikan tanpa sekolah fisik bukan hanya mungkin, tetapi juga bisa lebih efisien dan terjangkau.
Selain itu, konsep homeschooling atau pendidikan di rumah telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sebuah studi oleh Ray (2017) menemukan bahwa anak-anak yang dididik di rumah memiliki performa akademis yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang bersekolah di institusi formal. Mereka juga menunjukkan tingkat kepercayaan diri dan kreativitas yang lebih besar. Artinya, lingkungan pendidikan yang fleksibel dapat mengembangkan potensi individu secara optimal.
Komunitas belajar juga muncul sebagai alternatif yang menarik. Yang dimaksud adalah kelompok kecil yang berkumpul untuk belajar secara kolektif, sering kali dengan bantuan tutor atau fasilitator. Penelitian menunjukkan bahwa model ini dapat meningkatkan keterlibatan dan motivasi belajar. Misalnya, sebuah studi oleh Suci (2018) menemukan bahwa pembelajaran kolaboratif dapat meningkatkan pemahaman konsep-konsep kompleks, karena adanya interaksi dan diskusi antarpeserta.
Lebih lanjut, studi dari MIT pada tahun 2021 menunjukkan bahwa komunitas belajar virtual dan platform pembelajaran daring dapat menjadi sarana pendidikan yang efektif dan terjangkau bagi masyarakat, terutama di daerah terpencil atau negara-negara berkembang (Rahman et al., 2021). Teknologi digital memungkinkan akses yang lebih luas terhadap sumber daya dan pakar, serta menciptakan ruang kolaborasi lintas batas geografis.
Sistem Pendidikan dan Guru
Selain itu, penelitian dari University of Cambridge pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa sistem pendidikan yang terlalu terstandarisasi dapat menghambat pengembangan bakat dan minat individual (Jones et al., 2020). Dengan menghilangkan batasan-batasan kelas, grade, dan kurikulum yang kaku, peserta didik dapat lebih leluasa mengeksplorasi dan mengejar bidang-bidang yang benar-benar menarik bagi mereka.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah dan guru tetap memiliki peran penting dalam sistem pendidikan. Interaksi tatap muka, bimbingan, dan pengawasan dari pendidik profesional masih dibutuhkan, terutama bagi peserta didik yang memerlukan dukungan lebih intensif. Oleh karena itu, model pendidikan masa depan harus mampu memadukan kelebihan-kelebihan pembelajaran mandiri dan komunitas belajar daring dengan kekuatan interaksi langsung di lingkungan sekolah.
Dalam konteks ini, peran guru juga perlu diredefinisi. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu, melainkan fasilitator atau pemandu belajar. Mereka membantu siswa mengakses informasi yang mereka butuhkan dan mendorong mereka berpikir kritis. Menurut penelitian oleh Darling-Hammond et al. (2019), peran fasilitator ini sebenarnya dapat memberikan dampak yang lebih besar pada pembelajaran siswa dibandingkan metode pengajaran tradisional yang selama ini secara masif dipraktikkan.
Dengan menerapkan pendekatan yang lebih fleksibel dan berpusat pada peserta didik, sistem pendidikan dapat lebih responsif terhadap kebutuhan individual. Peserta didik akan memiliki kebebasan yang lebih besar dalam mengeksplorasi minat dan bakatnya, serta terlibat dalam proyek-proyek nyata yang bermakna bagi kehidupan mereka. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan motivasi belajar, tetapi juga mendorong pengembangan kompetensi abad 21 yang esensial bagi kemajuan peradaban.
Utopia Vs. Keniscayaan
Mengendapkan berbagai pembuktian tersebut, pendidikan tanpa sekolah bukanlah sebuah utopia, melainkan sebuah keniscayaan di masa depan. Dengan pemanfaatan teknologi yang bijak serta integrasi antara pembelajaran mandiri dan bimbingan profesional, kita dapat mewujudkan sistem pendidikan yang lebih adil, inspiratif, dan berkelanjutan. Transformasi ini akan membuka cakrawala baru bagi generasi penerus untuk menjadi agen perubahan yang mampu memecahkan tantangan-tantangan global.
Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap teknologi atau lingkungan belajar yang mendukung. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat harus berupaya memastikan akses universal terhadap fasilitas pendidikan digital dan sumber daya untuk membuat pendidikan tanpa sekolah bisa diakses oleh semua kalangan. Kesetaraan akses ini adalah aspek krusial dari transisi ke model pendidikan yang lebih fleksibel.
Dengan demikian, pendidikan tanpa sekolah bukan hanya mungkin, tetapi juga bisa menjadi solusi yang efektif untuk berbagai tantangan dalam sistem pendidikan konvensional. Dengan memanfaatkan teknologi, memberdayakan komunitas belajar, dan memperluas akses ke sumber daya pendidikan, kita bisa menciptakan sistem yang lebih inklusif dan adaptif. Pendidikan tidak harus terikat oleh dinding sekolah dalam saling kelindan antara peran guru-murid. Di era digital ini, pembelajaran bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.
Daftar Referensi:
Smith, J., Garcia, E., & Fernandez, M. (2019). Self-directed learning in the digital age. Harvard Graduate School of Education.
Jones, R., Watson, L., & Nguyen, T. (2020). Rethinking standardization in education. University of Cambridge.
Rahman, M., Chowdhury, S., & Haque, A. (2021). Virtual learning communities and the future of education. Massachusetts Institute of Technology.
Darling-Hammond, L., et al. (2019). “Preparing Teachers for a Changing World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do.” Jossey-Bass.
EdTechXGlobal. (2020). “Global EdTech Market Growth Report.” Diakses dari website EdTechXGlobal.
Ray, B. (2017). “Research Facts on Homeschooling.” National Home Education Research Institute. Diakses dari https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=H47XhtQAAAAJ&citation_for_view=H47XhtQAAAAJ:u-x6o8ySG0sC.
Suci, Yayu Tresna (2018). “Menelaah Teori Vygotsky dan Interdepedensi Sosial Sebagai Landasan Teori dalam Pelaksanaan Pembelajaran Kooperatif di Sekolah Dasar”. 232 | Naturalistic: Jurnal Kajian Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran. 3 (1): 231.
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
4 replies on “Pendidikan Tanpa Sekolah: Mungkinkah?”
Sangat setuju dengan tulisan mas Edy ini.
Cepat atau lambat sistem pendidikan pasti akan ditinggalkan.
Sistim pendidikan konvensional di Indonesia yang kurikulumnya sangat tidak konsisten tentu juga akan tergerus dengan realita mudahnya menggali ilmu melalui internet.
Setuju peran guru nantinya akan.lebih sebagsi fasilitator atau motivator.
Situasi kedepan gelar akademis yang berderet-deret di belakang akan kalah dengan keahlian khusus orang yang betul² menguasai ilmunya.
Apapun keahliannya.
Gelar akademis hanya akan dibutuhkan birokrat² dan leader² perusahaan atau pejabat politik yang mentalnya pengin hidup mewah dengan menggores pena tanda tangan di belakang meja yang terkadang disertai hasil yang manipulatif dan koruptif.
Ini sekelumit tambahan bbu dari saya, mas Edy.
Tulisan keren mas Edy, bravo.
Verba volat, scriptura manet.
Mas Petrus Djoko Trimartanto,
Terima kasih atas komentar dan apresiasinya.
Komentar Mas Djoko Trimartanto khas dan konsisten dengan pengenalan saya selama ini. Saya kenal Mas Djoko sebagai mantan pilot yang kemudian banting stir menjadi musisi dan berhasil menginisiasikan Tridove Musik Simfoni. Sebuah langkah berani dan mandiri!
Saya setuju dengan penilaian Anda bahwa sistem pendidikan konvensional di Indonesia yang sering berubah-ubah dan tidak konsisten memang akan sulit bertahan di era digital saat ini. Kehadiran internet telah membuka akses yang luas bagi siapa saja untuk belajar dan mengembangkan keahlian secara mandiri.
Beberapa contoh nyata yang dapat kita amati dalam 3 tahun terakhir, antara lain:
1. Munculnya platform pembelajaran online seperti Coursera, Udemy, dan Skill Academy yang menawarkan ribuan kursus berkualitas dari universitas terkemuka di dunia. Hal ini memungkinkan siapa saja untuk belajar sesuai minat dan kebutuhan tanpa terikat ruang dan waktu.
2. Di Indonesia, survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2020 menunjukkan bahwa 73,7% penduduk Indonesia telah mengakses internet. Hal ini mempermudah akses terhadap sumber belajar digital.
3. Studi dari OECD pada 2019 menemukan bahwa kemampuan kognitif dan keterampilan praktis seseorang lebih menentukan keberhasilan di dunia kerja dibandingkan gelar akademis semata. Hal ini mendorong pergeseran paradigma dari sistem pendidikan yang berfokus pada ijazah ke pembelajaran sepanjang hayat.
Dengan demikian, kian nyata bahwa peran guru yang dulunya sebagai penyampai materi akan bergeser menjadi fasilitator dan motivator yang membantu peserta didik mengembangkan potensi diri secara optimal melalui pemanfaatan teknologi digital. Semoga informasi ini bermanfaat dan menambah wawasan kita.
Pak Edy yang produktif, disiplin dalam berpikir dengan data-data referensi yang relevan, ijinkan berbagi tanggapan sebagai berikut:
1. Pendidikan merupakan proses yang terus dinamis berkembang dari stake holder yang terlibat.
2. Oleh karena itu maka adaptasi perkembangan teknologi, sosial, ekonomi, politik dan budaya yang terjadi niscaya diperlukan.
3. Menurut saya yang menjadi fondasi pendidikan berkembang secara dinamis dan berkelanjutan adalah adanya peran etika dan moral bagi stake holder yang menjalankan proses pendidikan.
Terimakasih untuk inspirasi yang secara konsisten Pak Edy sebarkan.
Mas Sugeng,
Saya setuju dengan tanggapan Anda bahwa fondasi pendidikan yang dinamis dan berkelanjutan memerlukan peran etika dan moral bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat. Perkembangan teknologi, sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang pesat menuntut adaptasi dalam sistem pendidikan, namun tetap dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur.
Supaya tidak menjadi sekadar mantra atau harapan, bolehkan saya tunjukkan beberapa contoh nyata dalam 3 tahun terakhir terkait hal ini, antara lain:
1. Di Indonesia, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mencanangkan penguatan pendidikan karakter sebagai salah satu prioritas utama reformasi pendidikan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
2. Studi dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) pada 2019 menekankan pentingnya mengembangkan keterampilan abad 21 seperti kreativitas, pemecahan masalah, dan kecerdasan emosional bagi peserta didik, tidak hanya fokus pada aspek kognitif semata.
3. Beberapa universitas terkemuka di dunia, seperti Harvard dan Oxford, telah mengintegrasikan mata kuliah etika dan integritas ke dalam kurikulum mereka untuk mencetak lulusan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang kuat.
Dengan demikian, pendidikan yang berkelanjutan dan berdampak positif bagi kemajuan bangsa harus senantiasa menyeimbangkan antara penguasaan kompetensi teknis dengan pengembangan karakter mulia bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat.