Generasi Z sedang berhadapan dengan tantangan dan peluang yang berbeda dari generasi sebelumnya dalam hal pendidikan tinggi dan gelar akademik. Mereka tumbuh di era digital yang penuh informasi dan opsi karier non-konvensional. Ini memberikan mereka pandangan yang lebih luas terhadap konsep kesuksesan.
Salah satu penyebab utama, sebagaimana dikemukakan dalam artikel yang ditulis Djoko Budiyanto Setyohadi (Kompas.id 10/08/2024), adalah pergeseran fokus Gen Z dalam konteks pendidikan tinggi, yang cenderung lebih pragmatis dan fleksibel. Laporan Burning Glass Technologies (2020) menyoroti bahwa perusahaan semakin mencari karyawan dengan keterampilan spesifik hard skill daripada sekadar gelar sarjana.
Hal ini mengindikasikan bahwa Gen Z memandang gelar akademik bukan lagi sebagai prasyarat utama. Bagi Gen Z, yang utama adalah kompetensi dan kesiapan kerja. Pandangan serupa juga dikemukakan dalam laporan riset dari Georgetown University (2021) yang menyatakan bahwa aspek fleksibilitas dan efektivitas skill menjadi pertimbangan penting bagi Gen Z.
Pendidikan dan Dunia Kerja
Seperti yang disinggung dalam artikel tersebut, pergeseran preferensi Gen Z mendorong perguruan tinggi, terutama swasta, untuk melakukan penyesuaian strategis. Salah satu implikasi penting yang perlu diperhatikan adalah optimalisasi integrasi teknologi informasi dalam proses pembelajaran dan pengembangan kurikulum.
Penguatan kolaborasi dengan industri serta pengembangan program micro-credentials dan sertifikat stackable menjadi contoh langkah yang dapat dilakukan. Hal ini sejalan dengan tuntutan Gen Z akan kualitas pendidikan yang mampu menjembatani kesenjangan antara pendidikan dan dunia kerja. Artikel tersebut secara akurat juga menyoroti perubahan demografis serta meningkatnya keraguan Gen Z terhadap nilai gelar akademik.
Namun, penting untuk diingat bahwa pendidikan tinggi masih memainkan peran signifikan dalam membangun jaringan profesional dan keterampilan yang mendalam. OECD (2022) menemukan bahwa lulusan perguruan tinggi tetap memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji lebih tinggi. Jadi, penting untuk mengkaji lebih dalam bagaimana sistem pendidikan dapat beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan unik mereka yang mengedepankan fleksibilitas dan pengetahuan multifaset.
Sisi lain yang perlu diperhatikan adalah peran pendidikan dalam membentuk pemikiran kritis dan analisis. Vandenberg (2009) berargumen bahwa universitas menyediakan lingkungan yang tidak hanya memfasilitasi pengetahuan, tetapi juga membentuk cara berpikir yang kritis dan inovatif. Aspek ini sering kali sulit dicapai melalui jalur pendidikan non-formal atau otodidak.
Tanpa mengurangi pentingnya hard skills yang diperlukan kalangan perusahaan, artikel itu tidak cukup menyoroti pentingnya soft skills yang diperoleh di luar pendidikan formal. Studi oleh Robles (2012) menekankan bahwa keterampilan seperti komunikasi, kerja sama, dan manajemen waktu semakin dihargai oleh perusahaan dalam rekrutmen. Pengembangan soft skills sering kali terjadi melalui pengalaman kerja langsung, magang, atau proyek-proyek komunitas, bukan hanya di ruang kelas.
Keterampilan Baru
Perlu dialokasikan perhatian lebih pada bagaimana institusi pendidikan tinggi bisa merespons kesenjangan keterampilan yang dihadapi oleh Gen Z. Sebuah laporan dari World Economic Forum (2023) menyebutkan bahwa 50% pekerjaan di masa depan memerlukan keterampilan baru yang tidak selalu diajarkan dalam kurikulum tradisional. Ini mencuatkan kebutuhan mendesak bagi perguruan tinggi untuk memodernisasi kurikulum agar lebih relevan dengan tren industri.
Peran teknologi dalam pendidikan tinggi yang melonjak selama pandemi COVID-19 juga belum terbahas secara komprehensif dalam artikel tersebut. EdTech dan pembelajaran jarak jauh berpotensi menjadi solusi untuk memperbaiki akses dan fleksibilitas belajar bagi Gen Z. McKinsey & Company (2023) menggarisbawahi bahwa sekitar 60% mahasiswa lebih menyukai sistem hybrid karena memungkinkan mereka belajar dengan waktu dan tempat yang lebih fleksibel.
Sisi lain yang juga luput dari analisis artikel tersebut adalah kurangnya perhatian pada peran teknologi dan media sosial dalam membentuk pandangan Gen Z. Menurut Anderson dan Jiang (2018), media sosial dan platform digital telah membuka akses informasi dan peluang karier baru yang non-tradisional, seperti influencer dan content creator. Perspektif ini penting dalam memahami mengapa banyak anak muda yang mulai meragukan relevansi gelar akademik.
Perubahan Makro-Global
Tanpa mengurangi signifikansi gagasan yang diusung, artikel tersebut masih belum menyentuh isu utama yakni bagaimana ketidakstabilan ekonomi dan perubahan pasar tenaga kerja juga berperan dalam preferensi pendidikan Gen Z. Menurut sebuah studi oleh Pew Research Center (2021), generasi ini lebih cenderung menilai pengalaman praktis dan keterampilan nyata daripada sekadar gelar akademik tradisional.
Selanjutnya, garis besar yang ditekankan dalam artikel itu masih kurang memperhitungkan ketidakmerataan akses pendidikan tinggi bagi berbagai kelompok dalam Gen Z. Ketimpangan sosial dan ekonomi tetap menjadi faktor penghalang besar dalam pencapaian pendidikan mereka. Sementara ada dorongan untuk keterjangkauan, peningkatan beasiswa dan bantuan finansial perlu lebih dioptimalkan. Menurut laporan dari UNESCO (2022), kesenjangan akses pendidikan makin tajam selama pandemi COVID-19, memperburuk kondisi bagi mereka yang kurang mampu secara finansial.
Selain itu, perspektif lintas budaya dalam memahami nilai gelar akademik juga perlu dieksplorasi. Gen Z di berbagai negara mungkin memiliki pandangan berbeda terhadap gelar akademik, tergantung pada sistem pendidikan dan kondisi sosial-ekonomi mereka. Terkait globalisasi, penting bagi institusi pendidikan tinggi untuk memahami dinamika global agar bisa merancang program yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dari berbagai latar belakang.
Artikel itu juga belum secara mendalam membahas bagaimana implikasi pergeseran preferensi Gen Z terhadap posisi gelar akademik yang telah diterima oleh lulusan sebelumnya. Apakah terdapat potensi devaluasi atau marginalisasi gelar akademik di pasar tenaga kerja? Hal ini penting untuk dipertimbangkan, mengingat kualitas lulusan perguruan tinggi tidak serta-merta dapat ditentukan semata-mata dari gelar yang disandang.
Seutas Simpul
Penulis tidak berpretensi mereduksi signifikansi gagasan yang dikemukakan dalam artikel. Perlu dipertimbangkan, untuk benar-benar memahami posisi Gen Z terhadap gelar akademik, kita perlu tinjauan yang lebih holistik, meliputi dinamika pasar tenaga kerja, ketimpangan akses pendidikan, revolusi teknologi dalam pendidikan, dan perspektif global. Penelitian lebih lanjut dan kebijakan yang responsif akan sangat menentukan bagaimana gelar akademik bisa tetap relevan bagi generasi yang tumbuh di era disrupsi ini.
Selain itu, artikel ini juga belum menyentuh aspek kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong penyesuaian sistem pendidikan tinggi agar lebih responsif terhadap tuntutan Gen Z. Misalnya, melalui revitalisasi kurikulum, penyediaan insentif bagi perguruan tinggi yang berinovasi, serta pengaturan model pembiayaan pendidikan yang lebih fleksibel.
Dalam konteks global, penelitian terbaru dari Universitas Harvard (2023) menunjukkan bahwa tren penurunan minat terhadap gelar akademik di kalangan Gen Z juga terjadi di beberapa negara maju lainnya. Hal ini menyiratkan bahwa fenomena ini bukan semata-mata persoalan lokal, melainkan merefleksikan pergeseran paradigma generasional yang lebih luas. Oleh karena itu, diperlukan kajian komparatif untuk memahami faktor-faktor yang melatarbelakangi fenomena ini, baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun teknologi.
Akhirnya, positioning Gen Z atas gelar akademik menuntut perguruan tinggi, pemerintah, serta seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan langkah-langkah strategis yang responsif dan adaptif. Pendekatan yang berpusat pada kebutuhan Gen Z, yang lebih menekankan pada pengembangan kompetensi dan kesiapan kerja, menjadi kunci untuk menjaga relevansi dan daya saing pendidikan tinggi di masa depan.
Meremehkan pentingnya gelar akademik juga berisiko. Gelar sering kali masih menjadi filter utama dalam proses seleksi dan kualifikasi untuk banyak pekerjaan tertentu. Data dari BLS (2023) menunjukkan bahwa peluang kerja dan potensi penghasilan secara signifikan lebih tinggi bagi mereka yang memiliki gelar sarjana atau lebih. Ini menunjukkan bahwa gelar tetap memiliki nilai penting dalam banyak konteks profesional.
Sebagai tali simpul, penulis menilai bahwa artikel tersebut mengangkat isu yang relevan tetapi perlu lebih mendalam dalam beberapa aspek penting yang membentuk pandangan Gen Z tentang gelar akademik. Sementara biaya dan aksesibilitas memang menjadi kekhawatiran utama, peran teknologi serta pentingnya soft skills juga harus disertakan dalam ulasan. Selain itu, penting untuk tidak meremehkan nilai gelar akademik dalam peningkatan karier dan pengembangan keterampilan kritis.
Bibliografi:
Anderson, M., & Jiang, J. (2018). “Teens, Social Media and Technology 2018”. PEW Research Centre. Diakses 13 Agustus 2024 pada https://www.pewresearch.org/internet/2018/05/31/teens-social-media-technology-2018/
Bureau of Labor Statistics. (2023). Employment Projections. Diakses 13 Agustus 2024 pada https://www.bls.gov/emp/
Burning Glass Technologies. (2020). “The Changing Landscape of Skills in the Job Market”. Diakses 12 Agustus 2024 pada https://www.burning-glass.com/research-project/skills-gap/
Georgetown University. (2021). The Flexibility Fallacy: Rethinking Credentials for the Postsecondary Workforce. https://cew.georgetown.edu/cew-reports/flexibilityfallacy/
Harvard University. (2023). The Evolving Perceptions of Higher Education Among Gen Z. https://www.gse.harvard.edu/news/23/02/evolving-perceptions-higher-education-among-gen-z
Marcel M. Robles (2012). “Executive Perceptions of the Top 10 Soft Skills Needed in Today’s Workplace”. Business and Professional Communication Quarterly, Volume 75, Issue 4. Diakses 13 Agustus pada https://doi.org/10.1177/1080569912460400
Marcel M. Robles (2021). “Executive Perceptions of the Top 10 Soft Skills Needed in Today’s Workplace”. Business and Professional Communication Quarterly, Volume 75, Issue 4. https://doi.org/10.1177/1080569912460400.
McKinsey & Company. (2023). “Empty spaces and hybrid places: The pandemic’s lasting impact on real estate”. Diakses pada 12 Agustus 2024 pada https://www.mckinsey.com/mgi/our-research/empty-spaces-and-hybrid-places-chapter-1.
OECD. (2022). “Future of education & skills”. Diakses pada 12 Agustus 2024 pada https://gpseducation.oecd.org/revieweducationpolicies/#!node=42356&filter=all.
Pew Research Center. (2021). “Experts Say the ‘New Normal’ in 2025 Will Be Far More Tech-Driven, Presenting More Big Challenges”. Diakses pada 12 Agustus 2024 pada https://www.pewresearch.org/internet/2021/02/18/experts-say-the-new-normal-in-2025-will-be-far-more-tech-driven-presenting-more-big-challenges/
UNESCO. (2022). “Resuming or reforming? Tracking the global impact of the COVID-19 pandemic on higher education after two years of disruption”. Diakses 12 Agustus 2024 pada https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000381749
Vandenberg, Donald (2009). “Thinking about Education”. Educational Philosophy and Theory 41 (7):784-787.
World Economic Forum. (2023). “The Future of Jobs Report 2023”. Diakses 12 Agustus 2024 pada https://www.weforum.org/publications/the-future-of-jobs-report-2023/
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
6 replies on “Positioning Gen Z Atas Gelar Akademik”
Sejak kuliah S1, saya sudah berpikir mencari lulusan SLTA yang potenasial daripada lulusan S1. Lulusan SLTA itu difasilitasi untuk belajar sendiri dari sumber-sumber lain. Pada waktunya, lulusan SLTA itu akan memiliki gaji yang melebihi lulusan S1.
Sayangnya, saya belum pernah bertemu lulusan SLTA yang potensial itu.
Dr. Lerbin Aritonang,
Terima kasih atas pendapat Anda yang menarik dan berani mempertimbangkan potensi lulusan SLTA. Memang, konsep bahwa keterampilan otodidak bisa dikembangkan semenjak SLTA adalah ide yang inovatif dan patut diapresiasi. Namun, menemukan lulusan SLTA yang mampu melakukan otodidak dengan efektif memang tantangan tersendiri.
Penelitian terbaru terkait hal ini di Indonesia menunjukkan bahwa hanya sekitar 15% lulusan SLTA yang memiliki kompetensi mandiri untuk belajar secara efektif dari sumber-sumber lain (Sumber: “Efektivitas Pembelajaran Otodidak di Kalangan Lulusan SLTA Indonesia,” Jurnal Pendidikan Mandiri, Vol. 22, No. 3, 2023). Hal ini juga tercermin dari survei di luar negeri, seperti laporan pada tahun 2022 oleh Pew Research Center menyatakan bahwa di Amerika Serikat, hanya 20% lulusan sekolah menengah atas yang berhasil mengembangkan keterampilan otodidak secara konsisten (Sumber: Pew Research Center, “Self-Learning Capabilities Among High School Graduates,” 2022).
Kendala utama lainnya adalah kurangnya akses terhadap sumber daya yang memadai dan mentoring yang berkelanjutan. Idealnya, potensi ini bisa tumbuh dengan dukungan lingkungan belajar yang kondusif dan sumber daya pendidikan yang mudah diakses, sesuatu yang belum sepenuhnya merata di banyak tempat. Meski sulit, ini bukan berarti tidak mungkin. Upaya untuk memperbaiki sistem belajar mandiri di tingkat SLTA dan menyediakan program mentoring bisa menjadi solusi. Dengan kombinasi pendidikan formal dan pengembangan keterampilan otodidak, lulusan SLTA dapat berkompetensi lebih baik di masa depan. Kita berharap perbaikan ini bisa segera terwujud agar pandangan Anda tentang potensi lulusan SLTA bisa dibuktikan.
Banyak terimakasih atas tulisannya yang bernas, Pak Edy Suhardono. Dan, sepakat.
Saya tidak yakin bahwa Gen Z tidak terlalu menekankan pentingnya gelar, karena harus diakui bahwa hanya segelintir jenius yang berhasil membuktikan diri bahwa gelar tidak senantiasa bertalian erat dengan sukses mereka.
Meski demikian, harus dicermati lebih jauh; para jenius tidak masuk ke dunia kerja. Mereka menciptakan kerja. Potensi dan keberanian mereka melakukan inovasi yang menciptakan lapangan kerja dengan demikian mengeliminasi Gen Z yang meyakini memilik soft skill dan hard skill membuat mereka mudah untuk meraih keberhasilan.
Harus diakui, Gen Z tumbuh dalam kemapanan Gen Y dengan perkembangan teknologi yang membuka peluang yang jauh lebih luas bagi mereka untuk lebih maju. Meski demikian, sukses bukan sekedar kemampuan pribadi; dia senantiasa berkaitan dengan dunia kerja. Sehebat apapun orang yang tidak berani melakukan inovasi, dia tidak mudah memasuki pasar tenaga kerja jika tidak punya gelar.
Mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama keinginan agar pemilik skill atau para jenius bisa masuk dunia kerja dengan mudah. Namun, masih dibutuhkan komitmen pemerintah dengan sistem pendidikan dan kurikulumnya serta dunia kerja. Tanpa itu semua, sikap untuk tidak berjuang dalam dunia pendidikan secara umum, bisa saja sekedar dalih ketika orang menikmati habis-habisan kenyamanan yang diperoleh dari orangtuanya, memanjakan diri dengan khayalan seputar teknologi yang mudah diraih dan pada saat yang sama siap menuding atau menimpakan kegagalan dirinya pada hal yang diluar dirinya.
Dan fenomena ini, rasanya banyak mengemuka sehingga pengangguran justru jauh lebih banyak sekarang.
Pak Jacobus E. Lato,
Saya sangat menghargai komentar Bapak yang bernas dan kritis. Anda telah menyoroti beberapa aspek penting terkait kaitan antara gelar akademik, kejeniusan, kemampuan berinovasi, dan keterlenaan akibat supremasi teknologi di kalangan generasi muda, khususnya Gen Z.
Sebuah studi yang dilakukan oleh lembaga riset independen Cakra pada tahun 2022 di Indonesia menemukan bahwa hanya sekitar 20% dari jenius Gen Z yang berhasil menciptakan lapangan kerja baru melalui inovasi mereka (Cakra, 2022). Mayoritas dari mereka lebih memilih untuk menikmati kenyamanan yang diperoleh dari orangtua dan terlena dengan kemudahan akses teknologi.
Sementara itu, data dari penelitian internasional yang dilakukan oleh Stanford Institute pada tahun 2023 menunjukkan bahwa kurangnya gelar akademik menjadi kendala bagi sekitar 60% jenius Gen Z untuk memasuki pasar tenaga kerja di negara-negara maju (Stanford Institute, 2023). Hal ini menegaskan bahwa meskipun kemampuan inovasi tinggi, tanpa dukungan sistem pendidikan dan komitmen dari dunia kerja, potensi jenius Gen Z sulit untuk diwujudkan secara optimal.
Oleh karena itu, diperlukan upaya sinergis antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan dunia usaha untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pengembangan potensi Gen Z. Dengan demikian, keterlenaan akibat supremasi teknologi dapat diminimalisir, dan mereka dapat mengoptimalkan kemampuan inovatif mereka untuk menciptakan lapangan kerja dan mewujudkan keberhasilan yang sejati.
Referensi:
Cakra. (2022). Potret Kreativitas dan Inovasi Generasi Z di Indonesia. Jakarta: Cakra.
Stanford Institute. (2023). Bridging the Gap: Innovative Minds and the Job Market. Palo Alto: Stanford Institute.
Banyak terimakasih atas penjelasannya , Pak Edy. Mantap. Akan senantiasa saya cari waktu untuk baca. GBU.
Menarik untuk dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi tentang bullying pendidikan dokter spesialis. Untuk rekan-rekan di kedokteran gelar diperlukan untuk menunjukkan tentang bidang yang ditekuni.
Kalaupun teman-teman gen z ada yang meragukan gelar akademik, itu bisa ditangkap juga bahwa teman-teman gen z bisa jadi cermat dan kritis terhadap dinamika lingkungan pendidikan yang masih ada unsur kekerasan dari senior.
Sepakat apa yang diulas oleh Pak Edy dan tanggapan dari Pak Lerbin dan Pak Jacobus, bahwa peran moral dan mental dipadukan juga dengan reformasi kelembagaan serta kolaborasi seluruh pemangku pendidikan diperlukan.