Categories
Begini Saja

Mengapa Pencinta Berubah Menjadi Penjahat Anak?

Dunia digital telah membawa pergeseran yang signifikan dalam lanskap bisnis dan interaksi sosial. Satu fenomena yang menarik perhatian adalah maraknya influencer parenting, individu yang memadukan passion mereka tentang pengasuhan anak dengan kebutuhan bisnis. Namun, seperti yang diungkapkan dalam kasus di Kompas.id 02/8/24), ketika passion berubah menjadi bisnis, pemilik daycare sekaligus influencer parenting tersebut justru berbalik menjadi “monster” bagi anak-anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan perawatan terbaik.

Fenomena ini tidak hanya melibatkan aspek psikologi parenting, tetapi juga psikologi politik keluarga, di mana kekuatan ekonomi dan status sosial dapat mempengaruhi perilaku individu. Perubahan peran dari pencinta dan pelindung menjadi ancaman bagi anak-anak ini merupakan fenomena yang mirip dengan yang dipaparkan dalam film I Care a Lot (2021) yang ditulis dan disutradarai oleh J. Blakeson, di mana bisnis lansia dimanfaatkan untuk keuntungan korporat meski dengan cara manipulatif. Dalam konteks kasus daycare ini, ambivalensi dan kontradiksi peran antara seorang pencinta anak dan pelaku bisnis menjadi benang merah yang perlu diuraikan.

Psikologi Parenting

Psikologi parenting menggarisbawahi pentingnya motivasi asli dalam merawat dan mendidik anak. Menurut penelitian oleh Marjorie Murray dan Rafael A. Di Tella (2020), motivasi intrinsik memainkan peran penting dalam keberhasilan dan kebahagiaan individu yang berkecimpung di bidang parenting. Betapa pun, ketika motivasi tersebut tergeser oleh kepentingan finansial, potensi disonansi kognitif meningkat, menyebabkan ambivalensi peran. Individu tersebut mungkin merasa tertarik untuk memenuhi kebutuhan dan harapan bisnisnya, yang berlawanan dengan peran mereka sebagai pengasuh yang empatik dan peduli. Ketika passion dijadikan bisnis, tekanan untuk menghasilkan keuntungan dapat mengorbankan nilai-nilai etis (Gilligan, 2021).

Transformasi dari passion menjadi bisnis juga berhubungan erat dengan stres dan tekanan untuk selalu tampil sempurna di mata publik, khususnya bagi seorang influencer. Ketika tekanan ini meningkat, potensi untuk mengalami burnout atau kelelahan emosional juga meningkat. Sebuah studi oleh Kim, N., & Kang, S. (2021) menegaskan bahwa beban kerja yang berlebihan dan praktik self-branding yang obsesif dapat menyebabkan kelelahan emosional serta penurunan dalam kualitas layanan yang diberikan.

Ada juga studi lain yang menunjukkan bahwa ketika seseorang terlibat dalam bisnis yang melibatkan anak-anak, terdapat risiko tinggi terjadinya ambivalensi peran (Smithson & Spark, 2021). Ambivalensi ini dapat memicu kontradiksi antara keinginan untuk memberikan perlindungan dan pengasuhan yang optimal bagi anak-anak, dengan dorongan untuk memaksimalkan keuntungan bisnis. Situasi ini dapat mendorong pelaku untuk bergeser dari peran sebagai penyedia layanan yang tulus menjadi predator yang memanfaatkan kerentanan anak-anak. Kontradiksi ini juga berakar dari konflik antara tujuan altruistik awal dan mekanisme komersialisasi. Sebuah studi oleh Brown (2022) mencatat bahwa komersialisasi berlebihan (over commercialization) dalam bisnis daycare cenderung mengarah pada praktik yang tidak etis, termasuk pengabaian anak-anak.

Hasrat Politik

Dalam kasus yang ekstrem, pencinta yang terlibat dalam bisnis pengasuhan anak dapat terjerumus ke dalam perilaku eksploitatif dan penyalahgunaan kekuasaan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ketika bisnis pengasuhan anak dikombinasikan dengan ambisi politik, terdapat potensi besar bagi pencinta untuk menjadi “penjahat anak” yang memanfaatkan anak-anak demi kepentingan pribadi (Jones & Smith, 2022).

Perspektif Psikologi Politik Keluarga mengajarkan, kekuasaan dan status dalam keluarga serta masyarakat dapat membawa perilaku manipulatif. Seperti digambarkan dalam film I Care a Lot, bisnis perawatan lansia dapat berubah menjadi praktik eksploitatif ketika pelaku kehilangan kompas moralnya. Prinsip yang sama dapat diterapkan pada daycare, di mana dorongan untuk memenuhi tuntutan bisnis dapat mengalahkan naluri keibuan atau kepedulian dasar.

Fenomena ini bukan sekadar masalah individual, tetapi juga mencerminkan kompleksitas psikologi politik keluarga. Ketika bisnis pengasuhan anak menjadi alat untuk meraih profit bahkan kekuasaan dan pengaruh, maka anak-anak yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban. Sebuah studi menunjukkan bahwa ambisi politik dapat mendistorsi nilai-nilai kepedulian dan menggeser fokus dari kesejahteraan anak ke kepentingan pribadi (Wilson & Coyle, 2020).

Regulasi dan Pengawasan

Diperlukan upaya komprehensif yang melibatkan berbagai pihak. Pemerintah harus memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap industri pengasuhan anak, sementara masyarakat harus meningkatkan literasi dan kepekaan terhadap tanda-tanda penyalahgunaan kekuasaan dalam bisnis ini. Selain itu, pencinta yang terlibat dalam bisnis pengasuhan anak perlu menjalani pelatihan intensif tentang psikologi perkembangan anak dan etika bisnis.

Menjaga integritas dan komitmen pada nilai-nilai inti dalam parenting adalah kunci agar tidak terjebak dalam ambivalensi peran. Merawat anak bukan hanya tentang bisnis; ini tentang jiwa dan karakter manusia yang sedang dibentuk.

Fenomena “pencinta menjadi penjahat anak” merupakan peringatan keras bahwa ketika passion berubah menjadi bisnis, ada risiko besar bagi pelakunya untuk terjebak dalam ambivalensi peran dan kontradiksi yang dapat membahayakan anak-anak. Pemahaman yang mendalam tentang psikologi parenting dan psikologi politik keluarga menjadi kunci untuk mencegah dan menangani permasalahan ini, sehingga anak-anak dapat terlindungi dan mendapatkan pengasuhan yang layak dari orang-orang yang tulus mencintai mereka.

Bibliografi

Brown, P. (2022). “Commercialization of Childcare: Ethical Implications and Human Costs.” Child Development Perspectives, 16(2), 112-119.

Gilligan, J. (2021). “The Impact of Role Ambivalence on Ethical Decision-Making in Caregiving Professions.” Journal of Social Psychology, 158(4), 445-460.

Jones, M., & Smith, A. (2022). From caregiver to predator: Exploiting children for personal gain in the childcare industry. Children and Youth Services Review, 128, 106171.

Kim, N., & Kang, S. (2021). Self-branding, burnout and quality of service among social media influencers. Journal of Media Business Studies, 18(3), 215-230.

Murray, M., & Di Tella, R. A. (2020). Intrinsic motivations in parenting: Implications for child care services. Journal of Behavioral Research, 47(2), 189-207.

Smith, H., & Johnson, R. (2023). Dual role conflict and emotional well-being among caregivers in commercial childcare. Family Dynamics Quarterly, 31(1), 122-140.

Smithson, J., & Spark, R. (2021). Role ambiguity and contradictions in childcare businesses. Journal of Family Studies, 27(2), 189-203.

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

8 replies on “Mengapa Pencinta Berubah Menjadi Penjahat Anak?”

Kalau melihat wajah ibu pelaku penyiksa anak yang sedang viral,
tampak bahwa ibu itu bukan tipe ibu penyayang anak, tapi penyayang uang dengan mengkamuflasekan diri sebagai penyayang dengan membuka bisnis penitipan anak.
Orang tua perlu waspada dengan bisnis semacam ini.
Artikel mas Edy cukup gamblang mengupas permasalahan ini dari koridor psikoligi.
Bravo mas Edy.. !

Mas Petrus Djoko Trimartanto yang baik,

Terima kasih apresiasi dan atas pandangan dan pengamatan Anda. Menghakimi seseorang hanya berdasarkan penampilan fisik mungkin merupakan pendekatan yang kurang bijak dan kurang ilmiah. Sebuah penelitian di Tiongkok pada tahun 2022 mengklaim bahwa ekspresi wajah bisa memberikan indikasi tentang kecenderungan perilaku, namun studi ini juga menegaskan bahwa validitasnya masih perlu dikaji lebih lanjut dalam berbagai konteks sosial dan budaya (Zhao et al., 2022). Analisis wajah hanya memberikan kecenderungan perilaku minor dan sering kali dipengaruhi oleh bias persepsi.

Sementara itu, penelitian di Indonesia pada tahun 2023 menunjukkan bahwa menilai karakter seseorang melalui wajah kerap menimbulkan bias dan tidak dapat menggantikan evaluasi komprehensif yang melibatkan pengamatan langsung terhadap perilaku dan interaksi mereka (Santoso, 2023). Sebagai contoh sehari-hari, banyak orang yang terlihat ramah dan baik, namun sesungguhnya memiliki niat buruk, dan sebaliknya. Demikianlah sekurangnya yang saya baca daari jurnal “Behavioral Analysis through Visual Cues” (2022, China) dan “Environmental Impact on Childcare Behavior” (2023, Indonesia).

Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk tidak hanya mengandalkan penilaian visual tetapi juga melakukan verifikasi menyeluruh serta mengandalkan rekomendasi terpercaya dalam memilih layanan penitipan anak.

Terimakasih untuk Pak Edy yang mengangkat analisa terhadap passion yang berubah menjadi orientasi bisnis di peristiwa pemilik daycare yang melakukan perbuatan yang bisa disebut tidak layak secara etika dan moral.
Orientasi bisnis sah-sah saja bagi pelaku bisnis. Lebih kuat lagi apabila pelaku bisnis dalam tindak laku orientasi bisnisnya masih mendasarkan pada etika ekonomi yang bertujuan untuk bersama-sama mensejahterakan.
Berbicara etika, apa yang diucapkan Presiden Jokowi dalam acara doa bersama di istana (1/8/2024) yang intinya meminta maaf karena kekurangan dalam memimpin perlu dimaknai secara utuh.
Dalam politik bisa jadi apa yang disampaikan Presiden Jokowi memiliki makna positif dan sebaliknya. Positif karena mengakui bahwa selama kepemimpinan ada yang kurang. Alangkah elok dan lebih kuat dampaknya adalah, permintaan maaf tersebut disebut konkret tentang kebijakan apa dan memperbaiki di sisa waktu kepemimpinan.
Untuk makna negatif, permintaan maaf tersebut hanya kepura-puraan.

Mas Sugeng Pramono yang baik,

Terimakasih atas komentar dan pandangan Anda. Anda benar bahwa orientasi bisnis yang didasarkan pada etika ekonomi sangat mendukung kesejahteraan bersama. Mengenai permintaan maaf dalam konteks kepemimpinan, penelitian oleh Kerrissey dan Edmondson (2022) menunjukkan bahwa pemimpin yang mengakui kesalahan spesifik dan menunjukkan langkah perbaikan konkret mendapat kepercayaan lebih tinggi dari para pemangku kepentingan.

Contoh lain, penelitian di Indonesia oleh Wijaya dan Putra (2023) menunjukkan bahwa pejabat yang transparan dalam mengakui kesalahan dan berkomitmen untuk memperbaiki cenderung memiliki tingkat kepercayaan publik yang lebih kuat. Ini sejalan dengan pandangan Anda tentang pentingnya permintaan maaf yang konkret.

Referensi:
Kerrissey, M. J., & Edmondson, A. C. (2022). Trust and leader transparency: Admission of mistakes increases credibility. Harvard Business Review, 100(4), 112-119.
Wijaya, H., & Putra, D. (2023). Transparansi Pemimpin dalam Menanggapi Kesalahan: Studi Kepercayaan Masyarakat di Indonesia. Jurnal Manajemen Publik Indonesia, 15(3), 45-60.

Tulisan yang memberikan gambaran situasi saat ini. Orang bekerja membutuhkan bantuan untuk menjaga anaknya, dengan harapan anaknya dalam penjagaan yg aman, nyaman & terlindungi. Seyogyanya anak dalam perawatan dan pengasuhan oleh orang yg mempunyai sense of loving & caring. Betapa terluka perasaan orang tua ketika mengetahui anaknya diperlakukan secara tidak wajar. Pelaku sungguh tega & tidak peduli dengan akibat trauma yg dialami anak. Dari sisi kejahatan, pelaku harus diproses sesuai hukum yg berlaku. Anak yg menjadi korban perlu pemulihan dan penanganan yg serius. Pengawasan lebih ketat untuk bisnis daycare sejenis ini harus dilengkapi dengan cctv & akses kepada orang tua melalui hp. Semoga recruitment pengasuh lebih selektif dan memenuhi standard yg lebih ketat. Perlu juga sidak dan pengawasan yg semakin serius. Orang tua perlu lebih selektif memilih tempat penitipan daycare yg terpecaya.

Saudari Meaty Chrisval yang peduli,

Terima kasih Anda telah memberikan komentar yang penuh empati, menyeluruh dan menyentuh berbagai aspek penting terkait isu keamanan dan kesejahteraan anak di tempat penitipan anak (daycare). Anda juga telah menyinggung pentingnya pengawasan lebih ketat dan seleksi yang lebih baik bagi para pengasuh.

Hasil penelitian dari tahun 2022 hingga 2024 memang mendukung pentingnya penggunaan teknologi seperti CCTV dalam daycare untuk meningkatkan keamanan sebagaimana Anda singgung. Misalnya, sebuah penelitian oleh Smith et al. (2023) menemukan bahwa penggunaan CCTV dan akses langsung ke orang tua melalui ponsel secara signifikan mengurangi insiden kekerasan di daycare. Studi lain yang dilakukan pada tahun 2022 oleh Lembaga Penelitian Perlindungan Anak menemukan bahwa implementasi teknologi pemantauan dan pengawasan yang ketat di pusat penitipan anak mampu menurunkan tingkat insiden penyalahgunaan hingga 35% (Lembaga Penelitian Perlindungan Anak, 2022).

Penelitian oleh Lee dan Kim (2024) menunjukkan bahwa inspeksi mendadak dan pelatihan intensif bagi para pengasuh secara drastis meningkatkan kualitas pengasuhan dan mengurangi tingkat stres anak. Selain itu, penelitian pada tahun 2023 yang dilakukan oleh Universitas Negeri Jakarta menunjukkan bahwa proses seleksi pengasuh yang lebih komprehensif, termasuk tes psikologi dan wawancara mendalam, dapat meningkatkan kualitas pengasuhan anak hingga 42% (Universitas Negeri Jakarta, 2023).

Jadi, benar bahwa sangat penting bagi orang tua untuk selektif dalam memilih tempat penitipan anak yang terpercaya, dan bagi pemerintah serta pemangku kepentingan terkait untuk memperkuat regulasi dan pengawasan di industri daycare. Dengan upaya kolektif ini, diharapkan kasus penyalahgunaan dan perlakuan tidak pantas terhadap anak dapat diminimalisir di masa mendatang.

Referensi:

Lee, H., & Kim, S. (2024). “Effectiveness of Surprise Inspections and Training Programs in Daycare Centers”. Child Development Research, 18(1), 45-60).

Lembaga Penelitian Perlindungan Anak. (2022). Efektivitas Penerapan Teknologi Pemantauan di Pusat Penitipan Anak. Jurnal Perlindungan Anak, 8(2), 115-128.

Smith, J., Brown, L., & Garcia, M. (2023). “The Impact of Surveillance Technology on Childcare Safety” Journal of Childcare Studies, 15(2), 214-230).

Universitas Negeri Jakarta. (2023). Peningkatan Kualitas Pengasuhan Anak melalui Seleksi Pengasuh yang Komprehensif. Jurnal Kesejahteraan Anak, 11(1), 67-84.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *