Categories
Begini Saja

Tafsir atas Peristiwa

Ada beberapa konsep yang saling terkait dalam psikologi politik: peristiwa politik, pengaruh, prasangka, intrik, atau konspirasi. Peristiwa politik mengacu pada suatu peristiwa atau hal yang terjadi di dunia politik dan dapat mempengaruhi persepsi dan pola pikir individu maupun kelompok. Peristiwa politik meliputi pemilihan umum, penyalahgunaan kekuasaan pemerintah, kebijakan publik yang kontroversial, dan sebagainya.

Meski dimaksudkan sebagai cara mengklarifikasi dan menyajikan keutuhan pemahaman, peristiwa yang kemudian dimediasi dan diamplifikasikan oleh berbagai saluran media tidak dapat disterilkan dari pengerangkaan atau framing sehingga yang dihasilkan justru kesan.

Kesan adalah penilaian atau opini subjektif yang dimiliki seseorang tentang suatu peristiwa politik. Kesan dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap fakta dan interpretasi pribadi terhadap peristiwa yang diberitakan media. Misalnya, beberapa orang memiliki kesan positif terhadap kebijakan pemerintah, sementara yang lain memiliki kesan negatif.

Prasangka adalah sikap negatif yang dimiliki seseorang terhadap kelompok atau individu lain berdasarkan karakteristik seperti ras, agama, atau kelas sosial. Prasangka biasanya terjadi dalam konteks politik ketika seseorang memiliki persepsi negatif terhadap partai politik atau kelompok sosial tertentu.

Adapun intrik atau konspirasi adalah keyakinan individu atau kelompok bahwa ada rencana rahasia atau persekongkolan yang dilakukan oleh partai yang berkuasa atau kalangan elite kekuasaan untuk mengendalikan atau memanipulasi suatu situasi politik. Konspirasi hampir tidak didukung oleh bukti nyata dan seringkali muncul dari kesalahpahaman dan pembenaran berbasis framing.

Rentetan Pascaperistiwa

Dalam psikologi politik, peristiwa politik dapat memengaruhi individu berkenaan dengan apa yang mereka lihat atau dengar. Logika peristiwa politik individu dapat dipengaruhi oleh prasangka yang dianutnya terhadap kelompok atau individu tertentu yang terlibat dalam peristiwa tersebut, dan intriknya pun dapat meluas ke persepsi individu tentang peristiwa politik yang sedang berlangsung. Prasangka dan intrik ini gilirannya akan menguatkan kesan yang dibumbui oleh bias dan faktor lainnya, seperti intrik, media, pendidikan, dan pengalaman pribadi.

Peristiwa dapat memengaruhi individu dan masyarakat dengan berbagai cara, termasuk mengubah sikap politik, mobilisasi massa, dan ketidakpuasan politik. Kesan yang diciptakan oleh peristiwa tersebut tergantung pada bagaimana individu menafsirkan dan memproses peristiwa tersebut, menghubungkannya dengan nilai-nilai politik dan pengetahuannya.

Dengan demikian, kesan mengacu pada penilaian emosional dan kognitif seseorang terhadap suatu peristiwa politik atau tokoh politik. Peristiwa positif dan negatif menciptakan kesan berbeda pada individu, yang pada akhirnya memengaruhi sikap dan perilaku politik mereka. Selain peristiwa dan kesan, prasangka merupakan konsep penting dalam psikologi politik. Prasangka dipantik oleh mekanisme bias, yakni penilaian negatif yang tidak adil atau tidak masuk akal terhadap kelompok atau individu tertentu berdasarkan stereotip atau kesalahpahaman. Bias politik memengaruhi pandangan politik, penilaian, dan interaksi seseorang dengan kelompok atau individu lain.

Intrik atau konspirasi pada derajat tertentu menciptakan keyakinan bahwa kelompok elit dan pemerintah secara diam-diam dan sistematis berusaha untuk mendapatkan lebih banyak kendali dan kekuasaan. Intrik politik dapat berperan dalam membentuk opini publik, serta memengaruhi kognisi politik, pengambilan keputusan, dan partisipasi individu. Semuanya merupakan arahan penting dalam studi psikologi politik untuk memahami perilaku dan cara berpikir individu dan kelompok dalam konteks politik.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

7 replies on “Tafsir atas Peristiwa”

Konsep-konsep yg disebut peristiwa politik, pengaruh, prasangka, intrik, atau konspirasi bertemu dengan konsep sikap politik. Sikap politik merupakan preferensi individu memutuskan setelah keempat konsep tersebut diatas dibaca, ditelaah, dikritisi dan ditafsir.

Terima kasih restatement-nya, Mas Sugeng Pramono.

Ada beberapa kerangka kerja teoritik yang mengaitkan antara peristiwa politik, pengaruh sosial, prasangka politik, intrik politik, dan konspirasi politik dengan pembentukan sikap politik individu. Gilirannya, sikap politik individu akan menjadi faktor penting dalam membentuk pilihan politik mereka dalam pemilihan dan dalam partisipasi politik lainnya. Kerangka kerja ini membantu kita memahami kompleksitas hubungan antara peristiwa politik dan sikap politik individu.

Ada beberapa pakar psikologi politik yang telah mengajukan kerangka kerja teoritis tentang kaitan antara peristiwa politik, pengaruh, prasangka, intrik, atau konspirasi, dan sikap politik.

Salah satunya adalah John Jost, seorang profesor psikologi di New York University yang telah melakukan penelitian tentang sikap politik, prasangka, dan pengaruh sosial dalam konteks politik. Ia telah mengembangkan kerangka kerja teoritis yang menggabungkan faktor-faktor ini dalam memahami pembentukan sikap politik individu. Kerangka Jost ini dilengkapi oleh konsep “nilai-nilai politik” dari Milton Rokeach. Menurut Rokeach, nilai-nilai politik menjadi faktor yang mempengaruhi sikap politik individu, di mana nilai-nilai ini membentuk preferensi dan pilihan politik.

Kita juga perlu mempertimbangkan gagasan Leon Festinger, seorang psikolog sosial klasik yang terkenal dengan “teori disonansi kognitif”nya. Jika konsep ini diterapkan dalam konteks psikologi politik untuk menjelaskan bagaimana individu merespons peristiwa politik yang bertentangan dengan sikap politik mereka, di mana individu cenderung merubah sikap atau keyakinan agar sesuai dengan peristiwa politik tersebut. Sedang psikolog politik Karen Stenner mengusulkan konsep yang ia temukan dari penelitiannya tentang “rasionalitas otoriter” yang memberikan wawasan tentang faktor-faktor psikologis yang dapat mendorong sikap otoriter dalam politik, termasuk prasangka, ketakutan, dan intoleransi terhadap perbedaan.

Sementara itu, Elisabeth Noelle-Neumann melalui teori yang terkenal – “spiral of silence” – menjelaskan bagaimana individu cenderung menahan sikap politik yang tidak populer secara publik karena takut diisolasi atau dikecualikan, sehingga sikap politik yang dominan malahan semakin menguat.

Penggunaan kerangka kerja ini sangat penting dalam memahami kompleksitas hubungan antara faktor-faktor ini dalam membentuk sikap dan pilihan politik individu.

Semoga keterangan ini menyegarkan ingatan kita tahun 2002 silam, saat saya mengajak Mas Sugeng dan rekan-rekan yang mengambil mata kuliah pilihan – Psikologi Politik – meninggalkan ruang kelas konvensional kampus Tenggilis dan berpindah ke warung kopi depan kampus.

Terimakasih utk mentor Pak Edy Suhardono (yg terbuka juga utk dipanggil Mas Edy) atas tanggapan secara mendalam tentang konsep-konsep di atas dan mengingatkan bahwa belajar dimanapun dengan suasana terbuka dan reflektif akan teringat dan berkembang.
Ijinkan berbagi dengan bertanya, tantangan berikutnya adalah sikap politik pribadi apakah dapat memberikan dampak luas bagi perubahan tatanan masyarakat. Apakah memilih pasangan capres cawapres, anggota legislatif pusat, Kabupaten, Kota kemudian sikap politik kita terwujud? Mengingat juga fakta bahwa biaya politik untuk dipilih mahal.
Peristiwa lain, parpol yang diharapkan dapat menjadi wadah kaderisasi masih dapat dikatakan “jauh dari harapan” dikarenakan yg menjadi elite parpol kemudian cenderung tergerus “haus” kekuasaan.

Sugeng yang peduli Pemilu,

Sikap pribadi terhadap hak pilih memiliki dampak signifikan terhadap perubahan tatanan masyarakat melalui pemilihan umum. Melalui pemilihan ini, individu memiliki kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan dan arah politik negara dan daerah, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tatanan masyarakat secara keseluruhan.

Mengenai pemilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden, anggota legislatif pusat, kabupaten, dan kota, seseorang dapat mewujudkan sikap politiknya dengan memilih mereka yang sesuai dengan ideologi dan visi politik yang diinginkan. Memilih kandidat yang sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan pribadi akan memberikan kontribusi untuk membentuk perubahan pada tatanan masyarakat.

Meskipun ada kemungkinan bahwa suara individu tidak selalu langsung mengubah hasil pemilihan, tetapi saat dikumpulkan dengan ribuan atau bahkan jutaan suara dari individu lainnya, dampaknya dapat signifikan. Pemilihan umum mengintegrasikan suara dan aspirasi masyarakat, memperkuat legitimasi keputusan politik, dan memberikan wawasan tentang preferensi dan kebutuhan masyarakat kepada para pemimpin yang terpilih.

Tidak memilih, atau golput, tidak dianggap sebagai pilihan yang lebih baik. Jika seseorang memutuskan untuk tidak memilih, maka mereka kehilangan kesempatan untuk mempengaruhi arah politik negara dan daerah. Hak pilih hangus jika hanya berdiam diri dan tidak berusaha mengambil peran dalam memilih pemimpin yang diinginkan.

Namun, penting juga untuk mencatat bahwa hanya dengan memilih saja tidak cukup. Keterlibatan aktif dalam politik juga perlu dilakukan melalui partisipasi dalam berbagai kegiatan politik dan masyarakat serta memberikan umpan balik kepada para pemimpin terpilih untuk memastikan suara dan preferensi kita terus didengar dan diperhatikan.

Terimakasih Mas Edy untuk tanggapan reflektifnya.
Perkenankan untuk mendalami pendapat dan pandangan Mas Edy, “Keterlibatan aktif dalam politik juga perlu dilakukan melalui partisipasi dalam berbagai kegiatan politik dan masyarakat serta memberikan umpan balik kepada para pemimpin terpilih untuk memastikan suara dan preferensi kita terus didengar dan diperhatikan.”
Partisipasi dalam kegiatan politik dan masyarakat diaplikasikan atau diwujudkan dalam bentuk aksi nyata dengan bisa menjadi simpatisan anggota ormas dan parpol ataupun LSM. Pertanyaan yang muncul, bagaimana individu yang telah memutuskan menjadi simpatisan, anggota parpol tetap berkiprah atau bekerja nyata untuk masyarakat dalam kehidupan sehari hari bukan hanya ketika mendekati pemilu baru bergeliat? Demikian juga bagi individu yang memutuskan menjadi anggota LSM, bagaimana tetap berjuang? Dikarenakan menjadi simpatisan, anggota parpol dan LSM bisa jadi juga di profesi dan bidang kerja lainnya ada perjumpaan dialektika antara “idealis” dan “mengikuti arus”, idealis untuk tidak korupsi anggaran kegiatan parpol atau ormas tetapi rekan-rekan sesama parpol atau ormas lainnya mengatakan bahwa korupsi anggaran itu bukan rahasia umum.
Memberi umpan balik kepada pemimpin, persoalan di lapangan kenyataan belum semua pemimpin membuka kanal atau wadah untuk masukan dari masyarakat. Meskipun ada yang sudah memberikan wadah untuk masukan masyarakat tetapi tindak lanjutnya yang masih belum jelas.
Sehingga, masih menjadi pertanyaan reflektif berikutnya yaitu bagaimana tetap memiliki energi idealis yang dapat diwujudkan dalam aksi nyata dan berdampak.

Sugeng yang baik,

Menurut hemat saya, partisipasi tidak hanya terbatas pada menjadi simpatisan anggota organisasi masyarakat sipil atau partai politik, tetapi juga melibatkan kegiatan langsung dalam masyarakat sebagaimana yang kita sedang kerjakan melalui diskusi ini.

Individu yang telah menjadi simpatisan atau anggota partai politik dapat berkiprah dengan menghadiri pertemuan dan rapat partai secara aktif, turut serta dalam kegiatan yang berhubungan dengan politik partai, serta ikut serta dalam kampanye pemilihan lokal atau nasional.

Bagi siapa saja yang tidak melibatkan diri dalam keanggotaan parpol atau ormas, partisipasi dalam kegiatan politik dan masyarakat pasca-pemilu juga dapat melibatkan kolaborasi dengan LSM atau kelompok advokasi yang fokus pada isu-isu tertentu. Dalam konteks ini, individu dapat mendukung upaya LSM atau kelompok advokasi dalam menyuarakan kepentingan masyarakat dan memperjuangkan perubahan yang diinginkan. Salah satu contoh tentang ini, misalnya, melibatkan diri dalam upaya perubahan ke arah yang lebih baik melalui https://www.change.org/id.

Jadi, partisipasi dalam kegiatan politik dan masyarakat pasca-pemilu tidak hanya terbatas pada menjadi simpatisan anggota organisasi atau partai politik. Ini dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk aksi nyata dalam masyarakat, melibatkan diri dalam diskusi dan rapat umum, memberikan umpan balik kepada pemimpin terpilih, serta mendukung LSM atau kelompok advokasi yang memiliki fokus serupa dengan nilai-nilai yang diinginkan.

Terimakasih Mas Edy atas tanggapannya,
Kalau dikaitkan dengan pendapat “dengan masuk sistem baru dapat memberikan perubahan signifikan”. “Masuk sistem” dimaknai melalui wadah parpol untuk menjadi anggota legislatif untuk memberikan pengaruh pada kebijakan dan aturan. Sedangkan organisasi parpol juga masih terus berbenah agar perekrutan, pengaderan dan pengembangan individu yang nantinya menjadi anggota legislatif dan pemimpin eksekutif dapat menuju cita cita luhur NKRI. Semoga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *