Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono, TIPISNYA BATAS ANTARA ‘NYALEG’ DAN BERBOHONG, 21 Maret 2019.
Rentetan kebohongan, yang melibatkan para figur publik, pun yang terpamerkan di panggung politik hingga merantak ke saluran media sosial, mungkin tak lepas dari pola tutur kata dan tindak-tanduk privat keseharian mereka.
Adakah di antara kita belum pernah berbohong?
Mungkin semua dari kita pernah! Tapi secara privat kenapa kita harus berbohong?
Kawan saya, Don Trompet, mengatakan bahwa ia terpaksa berbohong agar tidak menyakiti hati orang lain. Dasar pemikiran ini, dalam dan dari dirinya sendiri, adalah dusta. Kenapa?
Sebagai caleg di Dapilnya, Don Trompet berbohong demi memperoleh apa yang ia inginkan, demi menghindari rasa malu yang mungkin ia alami jika ketahuan boroknya, demi mempertahankan citra dirinya di depan teman-teman, keluarganya, masyarakat di sekitarnya; dan demi menghindari dihakimi. Dengan ini semua, bahkan ia sulit mengakui bahwa telah melakukan kesalahan lewat bohongnya, dan berusaha terus berbohong semata karena telanjur sudah berbohong sebelumnya.
Kebohongan terkadang dirancukan dengan keinginan untuk sukses. Salah satu yang saya sorot di sini adalah sukses menjadi anggota legislatif.
Kebohongan jenis ini dilandasi motif menciptakan kepribadian “sesuai pesanan” sebagaimana dianjurkan dalam ‘seminar pelatihan kepribadian’. Terapannya, orang-orang semacam Don Trompet pun mencari format kepribadian yang mereka inginkan dengan ‘berbelanja status sosial’ sebagai sampul mewah bagi tubuhnya, dirinya, hidupnya, keluarganya.
Menurut pengakuan Don Trompet –dan pengakuannya ini ibarat setetes pengecualian di antara segalon kebohongannya— kebohongannya ia imulai ketika berhenti menjadi diri sendiri, dan berusaha untuk menjadi “sosok pribadi sukses yang datang dari Disney Land“. Baginya tidak sulit untuk menjadi bingung dan salah tingkah untuk mengimplementasikan pilihannya itu, terutama karena ia merasa tidak aman, tidak percaya diri; sementara ingin sukses.
Telusur punya telusur, sebagian besar orang yang hidup dalam kebohongan adalah lebih karena merasa tidak dapat sukses hanya dengan mengandalkan keaslian yang ada, kini dan di sini. Konsekuensi dari menjalani hidup dalam kebohongan membuat mereka terus “berbohong bahwa telah berbohong”, semata karena takut terhadap pada bayangan bahwa kebohongan dan tipuan yang ia bayangkan akan dilakukan oleh orang lain; dan ia dengan mantap harus terus melakukannya karena tahu apa artinya itu.
Melalui kebohongannya, Don Trompet pun menerima respons orang lain yang ia dambakan, pun yang ia rasakan sebagai mengasyikkan. Gilirannya hal ini menjadi alasannya membutuhkan lebih banyak produksi kebohongan demi mempertahankan kebohongan sebelumnya.
Pola siklik ini analogisnya sama dengan pola kecanduan sabu sehingga membutuhkan sabu berikutnya agar terus hidup dan demi menghindari kenyataan yang dirasa akan menelanjangi siapa dirinya sebenarnya.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.