Categories
Begini Saja

Wawancara Imajiner

PI[1]  : ”Saudara RI[2] saya kira Anda paham bahwa impian Presiden Jokowi antara lain adalah: Indonesia emas 2045, Hilirisasi, IKN, dan keberlanjutan infrastruktur. Untuk merealisasi keempat butir impian ini, Indonesia butuh pemimpin yang berani dan mampu membuat keputusan secara independen dalam arti tidak didikte oleh partai, koalisi, dan relawan; juga tidak didikte oleh negara lain. Semula, kandidat yang ditaksir dan kemudian didukung habis oleh Jokowi adalah Ganjar, tetapi dalam beberapa keputusan kritis, Ganjar tampaknya lebih tunduk pada kemauan ketua partai PDIP, sehingga secara “minus malum”, kandidat yang dianggap masih sesuai adalah Prabowo.”

RI  : “Ya. Meski saya tahu Anda sedang melakukan framing atas informasi itu, saya akan menanggapi sesuai dengan frame Anda.”

PI  : “Terima kasih. Baik saya lanjut. Captive voter yang dimiliki Prabowo tampaknya kurang memadai untuk memenangkan pilpres 2024 dalam satu putaran, sehingga Prabowo memanfaatkan opsi menjadikan Gibran, anak Jokowi, menjadi cawapresnya sebagai vote getter. Gibran yang elektabilitasnya tinggi menurut survei, tetapi masih berumur 36 tahun, jelas tidak memenuhi prasyarat batas bawah usia sebagai cawapres; sehingga beberapa pihak, baik yang berkoalisi, maupun tidak ada kaitan dengan Prabowo, mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menurunkan batas bawah usia cawapres dari 40 menjadi di bawah 40 tahun. Sembilan hakim Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh Anwar Usman, yang kebetulan adalah adik ipar Jokowi, memutuskan Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres dan cawapres pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dikabulkan oleh MK pada hari Senin 16 Oktober 2023. Putusan tersebut menyebutkan, capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun; sehingga Gibran secara resmi menjadi cawapres Prabowo. Saya yakin Saudara RI mengikuti berbagai berita bahwa pencawapresan Gibran ini memunculkan tuduhan tentang dinasti politik Jokowi bahkan menganulir semua kontribusi Jokowi sebagai presiden dua periode yang menuai pujian baik dalam negeri maupun internasional.”

PI  : [Berhenti sejenak]. “….Jika demikian halnya, pertanyaan pertama saya, menurut Saudara RI, apakah pencapresan Gibran sah?”

RI  : “Mengenai apakah pencapresan Gibran sah, secara tuas hukum, ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menurunkan batas usia cawapres dari 40 ke belum berusia 40 tahun, dan Gibran telah memenuhi persyaratan baru ini, maka secara teknis pencapresannya adalah sah. Secara hukum, pencapresan Gibran menjadi cawapres Prabowo bisa dikatakan sah karena telah melalui proses judicial review di Mahkamah Konstitusi dan Gibran memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan setelah perubahan tersebut.”

PI  : “Lantas bagaimana Saudara RI menilai peran Jokowi dalam pencapresan Gibran tersebut. Berperan atau tidak sama sekali? Kalau terindikasi peran itu ada, apakah hal itu harus dipertanggungjawabkan oleh Jokowi sehingga ia bahkan harus menerima konsekuensi pemakzulan sebagai presiden?”

RI  : “Jika terbukti bahwa Jokowi memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peran Jokowi ada. Peran Jokowi dalam pencapresan Gibran bisa dikatakan ada, karena sebagai presiden, Jokowi tentu memiliki pengaruh dan kekuatan politik yang dapat mempengaruhi keputusan politik yang diambil. Namun, apakah Jokowi secara langsung terlibat dalam penentuan Gibran sebagai cawapres tidak dapat dipastikan semata dengan pemikiran konspirasi, tetapi memerlukan investigasi.”

RI  :  [Berhenti beberapa detik] “…Konsekuensi pemakzulan sebagai presiden bergantung pada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Jokowi dalam proses pencapresan Gibran. Jika terbukti bahwa Jokowi secara melanggar hukum mempengaruhi pencapresan Gibran, maka mungkin ia harus dipertanggungjawabkan dengan pemakzulan sebagai presiden. Jika ia secara pribadi terlibat dalam mendukung atau memengaruhi pencapresan, argumen bisa dibuat bahwa ini bukan bagian dari tugas resmi presidensialnya. Namun, jika kebijakan atau tindakan resmi yang ia ambil mendorong pencapresan ini, bisa saja ada konsekuensi hukum. Konsekuensi pemakzulan Jokowi sebagai presiden haruslah didasarkan pada bukti-bukti yang kuat mengenai keterlibatannya secara langsung dalam pencapresan Gibran.”

PI  : “Apakah pencapresan Gibran dapat dikategorikan sebagai bentuk nepotisme? Apakah argumentasi dan kontra-argumentasinya?”

RI  : “Pencapresan Gibran dapat dikategorikan sebagai bentuk nepotisme jika terbukti bahwa Gibran dipilih hanya karena hubungan keluarganya dengan Jokowi, tanpa mempertimbangkan kompetensinya dan tanpa melalui proses seleksi yang adil. Namun, terlepas dari putusan Mahkamah Konstitusi, sulit untuk memberikan argumen yang kuat untuk atau melawan tuduhan nepotisme yang terkait dengan pencapresan Gibran. Hal ini karena argumen tentang nepotisme akan sangat tergantung pada konteks dan fakta yang ada. Jadi, jika Gibran dipilih semata-mata berdasarkan keterkaitannya dengan Jokowi, maka itu bisa dianggap nepotisme.”

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.


[1] Pewawancara Imajiner.

[2] Responden Imajiner.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

8 replies on “Wawancara Imajiner”

Ketika membaca uraian wawancara imajiner di atas, ada pemikiran saya sebagai berikut:
1. Kaderisasi kepemimpinan nasional di NKRI masih sarat dengan kepentingan elite politik.
2. Jenjang kaderisasi kepemimpinan nasional dalam benak saya yaitu ada pengalaman langsung memimpin dari level desa, Kota, Kabupaten, Propensi sampai Pusat.
3. Jauh yang sangat dirasakan kehadiran pemimpin yaitu memberikan solusi untuk kepentingan yang lebih luas bukan untuk hanya semata kepentingan diri dan kelompok.

Mas Sugeng,

Saya mengafirmasi bahwa keprihatinan Anda tak sekadar berangkat dari kesan, tetapi fenomena; dan fenomena terbentuk dari pola fakta yang berulang dan mengarah ke habituasi. Bolehkan saya “menendang” butiran fenomena yang Anda kemukakan dengan menunjukkan fakta.

Fakta pertama adalah bahwa dalam jenjang kaderisasi kepemimpinan nasional, memang tidak ada prasyarat yang mengharuskan individu memiliki pengalaman langsung memimpin di level desa, kota, kabupaten, provinsi, hingga pusat. Sebagai akibatnya, mereka mungkin tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang masalah yang dihadapi oleh masyarakat di setiap tingkatan, dan hal ini dapat mengakibatkan kepentingan politik elit yang lebih diprioritaskan daripada kepentingan nasional yang lebih luas. Hal ini mengakibatkan kaderisasi menjadi lebih terpusat pada kepentingan kelompok politik tertentu daripada pada kepentingan nasional secara keseluruhan.

Fakta kedua adalah bahwa kaderisasi yang ada hampir tidak menghiraukan kepentingan nasional yang lebih luas. Proses kaderisasi yang sarat dengan kepentingan elit politik dapat mengakibatkan pemimpin yang terpilih cenderung memprioritaskan kepentingan kelompok politik daripada kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Lanjutkan. Bagus. Pembaca mendapat gambaran: apakah ada unsur nepotisme dalam pencawapresan Gibran. Setelah pembaca paham, selanjutnya pembaca dapat menentukan sikapnya dalam pemilu 14 Feb 2024.

Basuki Ismail,

Terima kasih apresiasinya. Saya berusaha memancang sejak dari pikir sanubari untuk tetap imparsial, ‘open-minded’, dan mengulas secara ‘sufficient, appropriately responsive, as needed’. Jika saya inkonsisten dalam intensi ini mohon ditegur.

Salam NKRI!

Pertanyaan sy apakah Jokowi dalam memutuskan meninggalkan Ganjar hanya disebabkan oleh pertimbangan bahwa Ganjar adalah petugas Megawati.
Sy kira tidak, sebab sdh lama, menurut sy, Jokowi sdh tidak nyaman disebut petugas partai (termasuk tingkah Mak Banteng sangat melecehkan Presiden RI).
Siapa yg membesarkan Jkw? Bukan PDIP, jutru PDIP lah yg dibesarkan oleh JKW.

Pak Rusmusi IMP,

Terima kasih telah menyampaikan opini.

Opini Pak Rus sejauh ini tampak ‘fair’ dalam arti bahwa Jokowi memiliki popularitas politik yang kuat dengan sendirinya, yang dapat mempengaruhi partainya. Opini Pak Rus juga menunjukkan pandangan yang menarik dan cukup kontroversial terhadap dinamika antara Jokowi, Ganjar Pranowo, dan partai politik PDIP. Sebagai sebuah hipotesa, hal ini tentu saja dapat diuji berdasarkan fakta dan data yang ada.

Pertama, tentang pendapat bahwa Jokowi merasa tidak nyaman sebagai “petugas partai” dan mendapatkan perlakuan yang melecehkan. Saya pikir ini pendapat subyektif, dalam arti sulit dibuktikan kebenarannya, kecuali ada pembenarannya datang dari Jokowi sendiri. Namun, dalam konteks politik partai, secara normatif setiap anggota diharapkan untuk menjalankan perannya, dan petugas partai terkadang perlu menerima kritik dan pandangan dari komisi partai, yang dalam konteks ini adalah Megawati.

Kedua, mengenai pernyataan bahwa ‘bukan PDIP yang membesarkan Jokowi, tetapi PDIP yang dibesarkan oleh Jokowi’. Berdasarkan data pemilihan, fakta bahwa pemilih Jokowi lebih banyak dibandingkan pemilih PDIP dalam pemilu 2019 mungkin benar. Tetapi pernyataan ini mungkin mengabaikan fakta bahwa Jokowi mulai dikenal secara nasional ketika dia menjadi calon presiden dari PDIP. Jadi, bisa dikatakan bahwa hubungan antara Jokowi dan PDIP bersifat saling menguntungkan, bukan satu arah.

Diskursus ini akan semakin menarik jika dikaitkan dengan (1) aspek politik..semua adalah sah (2) aspek hukum, semua salah jika sudah diterapkan asas praduga tidak bersalah, namun ada pembuktian lain di lapangan (3) aspek psikologi, yakni prasangka, semua akan selesei jika rakyat punya prasangka baik, namun semua akan hiruk pikuk jika setiap lawan politik punya prasangka buruk – misal adanya serangan balik jika kubunya kalah, atau ada pemakzulan jika kandidat pro group kalah, dan seterusnya. Menjadi kewajiban bagi para ahli untuk menjamin bahwa semua prosesi ini adalah kewajaran dalam konteks demokratisasi.

Mas Dr. Nugroho Depe yang imparsial,

Saya sejalan dengan koridor yang Anda tawarkan manakala terjadi saling berkelindan bahkan pertarungan antara premis politik, hukum dan psikologi.

Kewajiban para ahli, ilmuwan, dan cendekiawan adalah untuk menganalisis dan menyampaikan penjelasan yang obyektif terhadap proses pertarungan tersebut, berdasarkan pengetahuan dan metodologi yang mereka miliki. Mereka perlu menyelidiki dan menyajikan fakta-fakta serta argumen-argumen yang relevan, sehingga publik dapat memahami dan mengevaluasi proses pertarungan tersebut secara lebih baik.

Kewajaran dalam konteks dan alam demokratisasi dapat dipahami sebagai menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi, seperti kebebasan berpendapat, partisipasi politik yang adil, perlindungan hak asasi manusia, dan negara hukum. Para ahli dan ilmuwan hendaknya memastikan bahwa proses pertarungan politik tetap berada dalam batas-batas demokrasi dan mekanisme hukum yang berlaku.

Namun, penting untuk diingat bahwa pendapat para ahli dan cendekiawan dapat berbeda satu sama lain, tergantung pada perspektif, tolak ukur dan paradigma yang mereka gunakan. Oleh karena itu, kewajiban utama mereka adalah menyajikan berbagai sudut pandang dan pemikiran yang beragam, memberikan pemahaman mendalam tentang proses pertarungan politik, dan menghindari penyelewengan atau bias yang tidak objektif.

Jadi, kewajiban para ahli dan cendekiawan adalah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang proses pertarungan politik dalam konteks demokrasi, melalui analisis obyektif, penyajian fakta, dan pemikiran yang kritis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *