Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari post Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di laman Kompasiana, Opini, “Adalah Mutlak Bahwa “Tidak Ada Kebenaran Mutlak””, 13 Juli 2014.
“KPU memang tak boleh katakan putusan pada 22 Juli nanti sebagai suatu yang mutlak. Secara Undang-undang mengatur putusan tersebut bisa digugat di mahkamah banding (Mahkamah Konstitusi),” kata Husni di Komplek Pondok Labu Indah Jakarta Selatan, Sabtu (12/7/2014). Pernyataan ini bersifat tautologik –mibazir—karena ia melakukan pengulangan arti yang sama dengan kata yang berbeda; kecuali ada motif untuk seara a priori mengundang pihak tertentu untuk menggugat keputusan yang dimaksud di MK.
Putusan KPU pada 22 Juli adalah putusan dan tak dapat diperlakukan sebagai suatu yang secara tendensius diperlakukan sebagai “kebenaran”, apalagi “kebenaran mutlak”. Karena bukan “kebenaran mutlak”, putusan itu tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk mengevaluasi dirinya sendiri. Hal ini mengingat bahwa gabungan antara kosa kata “kebenaran” dan “mutlak” sudah dengan sendirinya menjelaskan tentang adanya pertentangan: “kebenaran tidak pernah menjadi kemutlakan” dan “kemutlakan tidak pernah menjadi kebenaran”; sehingga pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik bahwa ‘hasil keputusan Pilpres yang akan dilakukan KPU pada 22 Juli nanti tidak bisa dikatakan sebagai hasil yang mutlak’ adalah sebuah kemubaziran belaka. Dapat ditafsirkan bahwa yang secara tersirat ia sampaikan adalah himbauan untuk menggugat putusan tersebut di mahkamah banding (Mahkamah Konstitusi).
Pemikiran kritis memungkinkan untuk menghadapkan kosa kata “mutlak” sebagai lawan dari kosa kata “relatif” dan kosa kata “kebenaran” sebagai lawan dari kosa kata “opini”. Dengan demikian, TIDAK ADANYA “kebenaran mutlak” dapat dipahami menurut 3 kategori: Konsepsi, Definisi, dan Validasi.
Jika “kebenaran mutlak” tidak memenuhi syarat baik sebagai konsep, definisi, maupun validasi, maka “kebenaran mutlak” adalah pernyataan yang irasional, tak bermakna, tidak teruji menurut kaidah berpikir kritis, secara “presuppositionalistik” bersifat “pra-seharusnya” (pre-shouldness), dan tidak sahih (invalid). Dengan demikian, “untuk mengatakan ‘tidak ada yang mutlak’ adalah sebuah kemutlakan.
Pertanyaannya kemudian, mengapa pernyataan “putusan pada 22 Juli nanti sebagai suatu yang mutlak” harus menjadi kontra-argumen terhadap pernyataan Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi yang mengatakan “KPU salah bila mengeluarkan hasil yang tidak sama dengan hasil survei”? Mengapa kontra-argumen tersebut harus mengasumsikan seolah ada dogma tentang ADANYA KEBENARAN MUTLAK terkait urusan Pilpres? Seberapa sadar sang pembuat pernyataan telah secara sengaja melakukan penyesatan logik melalui pendasaran asumsi yang tak teruji secara konsepsional, definisional, dan validitas? Dan, pertanyaan yang lebih radikal, sejauh mana sang pembuat pernyataan menyadari motifnya sendiri dan menyadari kepekaan pihak lain yang dengan jernih menafsirkan motif di balik pernyataannya?