Categories
Begini Saja

Netralitas atau Pencitraan?

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari post Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di laman Kompasiana, Opini, “Netralitas atau Pencitraan?”, 5 Juli 2014.

Tampilan netralitas lebih sering digunakan untuk mengesankan tentang kedewasaan, kebijaksanaan, imparsialitas, atau menunjukkan sudut pandang yang secara pencitraan mencerminkan superioritas dari penampilnya. Ketika menangkap basah dua orang siswa yang sedang berkelahi, Kepala Sekolah berujar: “Tidak peduli siapa yang memulai perkelahian, rasakan ini!” sembari melayangkan tamparan ke pipi dua pekelahi. Padahal, bukankah penting untuk tahu siapa yang memulai perkelahian, syukur-syukur tahu siapa yang lebih bersalah?

Kepala sekolah mungkin tak memiliki akses informasi yang memadai sehingga ia harus menampik pentingnya siapa yang memukul pertama kali, dan menggantikannya dengan sekadar upaya menghentikan perkelahian. Jika posisi Kepala Sekolah itu digantikan dengan sosok otoritas lain, misalnya, TNI, Polri, Presiden, Bawaslu, atau DKPP, kita akan melihat seberapa kuat argumentasi “tidak peduli siapa yang memulai perkelahian” mampu membantah fakta yang umum terjadi bahwa otoritas mana pun hampir selalu tidak menyukai faksi yang berkonflik. Mereka bahkan merasa nyaman jika konflik tidak pernah terjadi dan, kalau pun terjadi, segera harus diakhiri secepat mungkin. Tidak peduli dengan faksi yang memulainya – yang memprovokasi, atau yang menanggapi proporsional provokasi – karena ketidaknyamanan yang dirasakan pihak otoritas merupakan fungsi dari konflik yang sedang berlangsung.

Sok Bijaksana

Tindakan dengan asumsi “tidak peduli siapa yang memulai perkelahian” inilah yang saya sebut “sok bijaksana”, berpura-pura biar kelihatan bijaksana. Padahal, ada banyak cara untuk menjadi bijaksana. Berpura-pura bijaksana dengan menolak untuk menginvestigasi –menolak untuk mengungkap bukti, menolak untuk memberikan penilaian, menolak untuk mengambil posisi—dan melakukan pembiaran dan tak melakukan sesuatu bukanlah netralitas, tetapi sebentuk tindakan inkonstitusional dari pihak otoritas yang sebenarnya memiliki kewenangan konstitusional. Adalah Paulo Freire yang pernah mengatakan, “melakukan cuci tangan dari konflik yang melibatkan pihak yang kuat, yang memiliki sarana lebih berdaya, dan yang menunjukkan sinyal berpihak kepada yang kuat, tidaklah netral.”

Kampanye Pilpres sebagai rentetan pesta demokrasi dapat menjadi wahana yang bagus bagi pemfitnah, tetapi juga menjadi wahana yang mengerikan bagi korban fitnah, jika TNI, Polri, Presiden, Bawaslu, DKPP atau KPI tidak peduli tentang siapa yang memulai dan hanya sekadar mengeluarkan pernyataan bahwa TV One dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sama-sama salah dalam kasus penyerangan terhadap kantor TV One oleh kader dan simpatisan partai berlambang banteng moncong putih itu.

Demikian juga soal yang terkait peran TNI, Polri, Presiden, Bawaslu, DKPP dan KPI. Ketika otoritas-otoritas itu menolak untuk memihak dan sekadar menuntut agar segera terjadi rujuk asal rujuk, pesta demokrasi akan menjadi surga bagi pemfitnah dan tempat yang mengerikan bagi yang difitnah. Tapi, tentu saja, pesta demokrasi juga akan menjadi dunia yang sangat nyaman bagi TNI, Polri, Presiden, Bawaslu, DKPP, atau KPI. Jadi, perilaku yang dibawakan oleh sosok otoritas ini bukanlah kebijaksanaan tetapi “keegoisan yang pro status-quo”.

Sok Superior

Jika ditelisik lebih cermat, apa sebenarnya yang dipikirkan TNI, Polri, Presiden, Bawaslu, DKPP atau KPI tentang “berpihak” atau “netral” terhadap kontestan Pilpres? Apalagi jika salah satu sisi pemikiran mereka adalah asumsi bahwa para kontestan Pilpres adalah tukang bikin onar, sementara TNI, Polri, Presiden, Bawaslu, DKPP atau KPI menempatkan diri mereka sebagai pihak yang superior?

Hal yang sama terjadi dengan hampir semua otoritas dan tetua tua yang dihormati –bisa CEO, pengamat politik, akademisi bergengsi, atau pendiri milis– yang reputasi mereka dalam keadilan tergantung pada sejauh mana mereka menolak untuk memberikan penilaian sendiri ketika pihak lain memilih posisi tertentu. Artinya, posisi yang mereka ambil untuk menjadi wasit hampir selalu sia-sia sebab mereka dihormati sebagai wasit pada kondisi di mana mereka hampir tidak pernah benar-benar menjadi wasit. Dengan pengambilan peran semacam itu sejatinya mereka telah hanya menjadi pihak lain yang turut bersengketa dan turut meramaikan konflik. Mereka tidak lebih baik daripada pihak yang mereka tuduh sebagai “pihak yang sedang berkonflik”.

Anehnya, wasit dalam sistem konstitusi yang telah berulang menjatuhkan vonis abal-abal ini tak pernah kehilangan reputasi mereka sebagai “wasit yang tidak memihak”. Nampaknya pameo yang berlaku adalah “asal sudah menjalankan peran normatif sebagai penilai, maka mereka telah menjalankan pekerjaan”. Namun, ada kasus di mana atribut “rasional” masih dapat diterima ketika mereka menangguhkan penilaian, sehingga pihak-pihak yang akhirnya diadili di pengadilan karena bias pemikiran mereka. Hal ini seperti yang dikatakan Michael Rooney, “…Ketika dihadapkan pada alasan untuk menjadi skeptis, orang malah menjadi relativis. Artinya, ketika kesimpulan rasional dimanfaatkan untuk menangguhkan penilaian tentang suatu masalah, maka terlalu banyak orang yang justru menyimpulkan bahwa apa pun penilaiannya adalah sama-sama masuk akal.”

Dekonstruksi Netralitas

Lantas, bagaimana kita bisa menghindari perilaku pseudo-rasionalis yang seolah mengabarkan tentang ketidakberpihakan dengan mengklaim bahwa keseimbangan merupakan bukti dari netralitas? Yang perlu kita sadari, netralitas adalah penilaian yang pasti, tanpa motif, tanpa topangan di atas pamrih apa pun. Tetapi, ketika terbetik adanya motif dan pamrih, yang seolah netral atau diargumentasikan dengan netral sebenarnya merupakan posisi yang diambil dan dimaksudkan justru untuk membela salah satu pihak yang sedang bersengketa. Di sini netralitas perlu didekonstruksi.

Demikian juga dengan argumen tentang kebijaksanaan. Jika otoritas mengatakan bahwa “TV One dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sama-sama salah dalam kasus penyerangan terhadap kantor TV One oleh kader dan simpatisan partai berlambang banteng moncong putih”memiliki poin yang sama-sama baik sehingga TV One dan PDI-P harus benar-benar mencoba untuk berkompromi dan menghormati satu sama lain, maka sejatinya otoritas tidak mengambil posisi di atas kedua belah pihak. Mereka, tak lebih dan tak kurang, sebenarnya hanya menempatkan keputusan mereka secara semena-mena pada kepastian bahwa merekalah pihak yang paling bijaksana meski hanya bermodal postulasi bahwa TV One dan PDI-P harus berkompromi dan menghormati satu sama lain; sementara pertikaian tetap saja berlangsung dan tanpa penyelesaian.

Apa pun dalihnya, sebagaimana contoh tentang Kepala Sekolah yang menampar dua siswa yang kedapatan berkelahi, para pemegang otoritas melalui peran TNI, Polri, Presiden, Bawaslu, DKPP atau KPI justru berpotensi memecah belah karena keterbatasan sumber daya informasional mereka, yang berakibat bahwa tindakan yang mereka lakukan sekadar berdasarkan disinformasi, predisposisi, stereotipe, bahkan prasangka. Padahal, tanggung jawab pokok yang telah mereka deprioritaskan adalah sumber daya informasi yang terbatas. Jadi, tidak selayaknya mereka berjualan netralitas sekadar untuk memamerkan kedewasaan, kebijaksanaan, imparsialitas, atau menunjukkan sudut pandang yang secara pencitraan superior.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *