Dalam studi psikologi politik, ‘argumentasi promptal’ dikenali sebagai alasan yang bertujuan untuk menyakinkan atau mempengaruhi publik agar melakukan suatu tindakan atau mengubah pendapat. Argumentasi ini seringkali digunakan dalam situasi persuasif, seperti dalam debat atau penulisan esai argumentatif. Sementara itu, argumentasi substansial adalah alasan yang berfokus pada substansi atau isi argumen yang diberikan.
Argumentasi promptal bertujuan untuk memberikan lambaran dalam mendukung suatu klaim atau pendapat. Sedang argumentasi substansial cenderung lebih fokus pada bukti dan logika daripada upaya untuk mempengaruhi orang lain. Sama seperti tidak ada hubungan linear antara argumen substansial dan karakterisasi negatif atau merendahkan, tidak ada hubungan linear antara argumen yang promptal dan karakterisasi positif.
Afirmasi dan Negasi
Pernyataan “Anda sebagai anggota PDIP harus tetap loyal terhadap partai ini. Jokowi dan anak-anaknya mungkin telah meninggalkan kita, tetapi kita harus tetap bersatu dan mempertahankan kekuatan politik kita. Jangan biarkan lontaran ‘dinasti politik’ merusak citra partai ini hanya karena keluarga itu bercokol di sini” adalah pernyataan yang dilambari argumentasi promptal yang memiliki karakterisasi negatif.
Berdasarkan pernyataan tersebut, apa sebenarnya muatan argumentasi substansial yang terbetik? Jika di–restatement–kan ke dalam argumentasi substansial dengan karakterisasi negatif, para elite PDIP bermaksud menyatakan: “Jokowi dan anak-anaknya telah mengabaikan visi dan misi PDIP dalam keputusan politik mereka. Mereka lebih mendahulukan kepentingan pribadi dan membangun brand mereka sendiri daripada mendukung agenda partai. Kita bisa melihat hal ini dari langkah-langkah mereka yang cenderung bermotif politik dan tidak mencerminkan kepentingan partai”.
Karakterisasi negatif bukan merupakan satu-satunya formula argumentasi. Tanpa mengalami kerugian moral-politik pernyataan dengan karakterisasi negatif para elite PDIP dapat dikemas ke dalam pernyataan dengan argumentasi promptal dengan karakterisasi afirmatif berikut: “Marilah kita relakan Jokowi dan anak-anaknya. Mereka mungkin merasa memiliki pengalaman dan kapasitas untuk memimpin bangsa ini. Jangan biarkan tuduhan ‘dinasti politik’ menghalangi kemajuan yang telah mereka capai. Yang jauh-jauh lebih penting, kita harus tetap bersatu tanpa harus mengganjal kepemimpinan mereka”.
Dari pernyataan dengan argumen promptal afirmatif tersebut sebenarnya para elite PDIP sedang mengomunikasikan gagasan substantial yang afirmatif dan lebih produktif berikut: “Kita harus secara kritis mengevaluasi dampak dari dominasi politik Jokowi dan anak-anaknya terhadap demokrasi dan keadilan politik. Dinasti politik dapat menghasilkan kekuatan yang terkonsentrasi pada segelintir orang, yang pada gilirannya dapat memicu korupsi, nepotisme, dan tidak adanya persaingan yang sehat di dalam partai. Kita harus mempertimbangkan apakah kepentingan partai lebih penting daripada kepentingan individu tertentu”.
Kalkulasi Politik
Dalam contoh di atas, argumentasi promptal berfokus pada retorika persuasif untuk mempengaruhi anggota partai agar tetap setia tanpa harus menghujat Jokowi dan anak-anaknya. Di sisi lain, argumentasi substansial lebih berfokus pada fakta dan analisis dampak dari dominasi politik Jokowi dan anak-anaknya terhadap partai dan demokrasi secara keseluruhan.
Mengapa pembedaan antara formulasi argumentasi promptal dan substansial perlu diputuskan secara seksama? Dalam konteks ini, ada beberapa alasan realpolitik dan substansial-teoritis yang tidak diungkapkan tetapi dapat merugikan PDIP sebagai partai besar yang memenangkan dua kali pemilu berturut-turut.
Salah satu poin realpolitik yang mungkin tidak diungkapkan adalah bahwa over-reliance pada Jokowi dan keluarganya dapat menyebabkan kebergantungan dan ketidakstabilan politik dalam partai. Jika partai hanya bergantung pada satu atau beberapa individu –dan ini diungkapkan dalam ungkapan para elite partai yang penuh kekecewaan lantaran merasa ditinggalkan sembari melakukan stigmatisasi bahwa Jokowi sekeluarga yang meninggalkan adalah pengkhianat– maka ketidakstabilan politik dapat terjadi jika ada perubahan dalam peta kekuasaan atau pemimpin PDIP mengalami penurunan popularitas. Hal ini dapat merugikan PDIP dalam jangka panjang karena risiko hilangnya basis dukungan dan kekuatan politik yang kuat.
Secara substansial-teoritis, peleburan yang terlalu kuat antara kepentingan pribadi/keluarga Jokowi dan partai dapat menjadi ancaman bagi martabat partai dan citra demokratisnya sehingga lepasnya Jokowi sekeluarga dari PDIP adalah “sabda alam” alias alamiah-logis. PDIP perlu berpikir jauh, jika terlalu banyak kebijakan dan keputusan politik yang diarahkan untuk kepentingan pribadi atau keluarga politisi tertentu, termasuk Jokowi dan anak-anaknya yang masuk sebagai anggota partai PDIP, ini dapat mengurangi kepercayaan masyarakat pada partai dan merusak hubungan dengan pemilih, khususnya jika pemerintahan yang dipimpin oleh partai tersebut terlibat dalam skandal korupsi atau self-enrichment.
Satu masalah lain yang mungkin tidak diungkapkan secara terang benderang melalui berbagai pernyataan elite PDIP adalah bahwa dominasi keluarga yang kuat dalam partai dapat mengakibatkan kurangnya kesempatan bagi kader-kader yang berkualitas dan potensial untuk berkembang. Jika pengambilan keputusan dalam partai sangat terpusat pada satu keluarga atau kelompok individu tertentu, maka hal ini dapat menimbulkan rasa ketidakpuasan dan frustrasi bagi kader yang berbakat dan berkompeten yang tidak diberikan kesempatan yang setara untuk berkembang. Hal ini bisa merugikan partai secara keseluruhan dalam jangka panjang karena kehilangan potensi kader-kader yang mampu membantu membangun dan memperkuat partai.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
5 replies on “Argumentasi Promptal”
Iyaaa mas, jika partai PDIPerjuangan ingin menjadi Partai Pelopor atau Partai modern semestinya harus segera di rubah dan mengacu pada ad/art partai..mekanisme caleg dan lain lain sesuai dengan jamannya …. Mestinya peringgi2 Partai sudah ada konsep terkait hal ini sayang hingga saat ini harapan yang kami tunggu belum ada realisasinya
Mas Wisnu,
Terima kasih atas keterbukaan dan introspeksi Mas Wisnu sebagai pemerhati yang paham tentang kondisi internal PDIP.
Saya sepakat, tentu saja, partai politik seperti PDIP harus selalu beradaptasi dengan situasi dan kondisi sosial-politik yang terus berubah. Saya mencoba ‘membaca’ berdasarkan yang Mas Wisnu sampaikan.
PDIP sebagai partai besar dengan sejarah panjang mungkin memiliki struktur dan mekanisme yang sulit untuk diubah secara cepat. Perubahan yang signifikan dalam AD/ART dan mekanisme caleg akan membutuhkan konsensus dari seluruh anggota partai dan pemimpin tertinggi. Jika ada perbedaan pendapat atau ketegangan internal, proses perubahan dapat terhambat.
Perubahan dalam AD/ART dan mekanisme partai juga perlu mempertimbangkan dinamika politik dan regulasi yang ada di luar partai. Misalnya, perubahan aturan pemilu atau persyaratan hukum yang harus dipatuhi oleh semua partai politik. Ketika aturan-aturan ini berubah, partai-partai mungkin perlu menyesuaikan konsep dan strategi mereka untuk tetap relevan.
Ada kemungkinan bahwa beberapa petinggi partai atau anggota partai yang konservatif mungkin tidak ingin mengubah status quo atau menolak ide-ide baru yang dapat membawa perubahan. Hal ini dapat memperlambat proses perubahan dan mencegah realisasi konsep pelopor atau partai modern.
Masyarakat dapat memiliki pandangan atau harapan tertentu terhadap partai-partai politik. Jika masyarakat mendukung partai modern yang terbuka dan inovatif, tekanan tersebut dapat mendorong PDIP untuk mengadopsi perubahan dalam konsep dan praktiknya.
Jadi, meskipun belum ada realisasi konsep pelopor atau partai modern dalam PDIP saat ini, proses perubahan dalam partai politik sering kali membutuhkan waktu dan upaya yang signifikan. Selama partai terus beradaptasi dengan perubahan sosial-politik dan membuka diri terhadap ide-ide baru, ada potensi untuk mencapai tujuan tersebut di masa depan.
Jika partai PDIPerjuangan ingin menjadi partai pelopor / modern sejatinya memang harus di buka ruang untuk diskusi dengan berbagai akademisi .. tatanan , mekanisme harus mengikuti jaman…. Tidak bersandar pada satu figur … bersandar pada sistem yang baku sesuai dengan platform poliiknya
Mas Wisnu yang baik,
Komentar dan kepedulian Anda senada dengan tanggapan Pak @Jacobus E. Lato yang memberikan tanggapan via Facebook:
“Terima kasih, atas pencerahannya Pak Edy Suhardono. Sangat bermanfaat. Tulisan di atas membuat para sahabat jadi lebih pahami kemungkinan praktek internal partai yang kerapkali ditutupi. Cuma dinamika partai kita memang khas kita, khas Indonesia. Soalnya, dia kerap mencirikan budaya kita.
Akibatnya, partai kita, kerapkali menjadi perpanjangan tangan dari seorang tokoh yang dalam konteks Indonesia dilanggengkan dalam kultus, yang tentu saja berjalan iring dengan budaya Indonesia yang paternalistik dan tentu saja feodalistik. PDIP pun tidak imun. Dia sangat menikmati suasana kultis ini, bukan saja mempertautkan visi dan misi politik perjuangannya pada Soekarno tetapi juga keturunannya.
Dalam partai semacam ini, kehadiran tokoh lain dalam sebuah partai, bisa saja dicurgai sebagai perebutan pengaruh politik. Akibatnya, wacana-wacana negatif cenderung lebih banyak berkembang. Saya sendiri, tidak yakin bahwa bakal ada perubahan internal partai. Soalnya, pada tataran tertentu, sang figur pun menjadi donatur utama partai juga.
Persoalan kita, adakah peluang untuk memobilisasi dana masyarakat yang transparan sehingga partai bukan lagi sekedar perpanjangan tangan tokoh, tetapi juga perpanjangan tangan dan sarana perjuangan publik sehingga beragam tokoh bakal muncul dan prestasi seorang tokoh tidak tercapai dengan upaya menghancurkan pihak lain.”
Tanggapan balik saya untuk Pak Jacobus semoga juga menjadi tanggapan saya untuk Mas Wisnu.
Pak Jacobus,
Terima kasih atas tanggapan yang menetak pada inti yang sedang menjadi pusat kepedulian bangsa dan negeri ini.
Saya sepemikiran bahwa dalam konteks budaya Indonesia yang cenderung paternalistik dan feodalistik, memobilisasi dana masyarakat secara terbuka dan transparan dapat menjadi langkah penting dalam mengubah peran partai politik dari sekadar refleksi dan kepanjangan tangan tokoh sehingga menjadi medium perjuangan publik yang inklusif.
Pertama, partai dapat membangun mekanisme pengumpulan dana yang transparan dan akuntabel, seperti dengan menerapkan sistem donasi publik yang terbuka untuk masyarakat umum. Hal ini dapat menumbuhkan rasa kepemilikan dan partisipasi aktif dari masyarakat dalam perjuangan politik, dan mengurangi ketergantungan pada donatur individual atau figur sentral.
Kedua, penting bagi partai untuk meningkatkan transparansi penggunaan dana yang terkumpul, dengan mengadopsi praktik akuntabilitas yang ketat, seperti melaporkan secara terbuka dan periodik mengenai pengeluaran dan pemasukan partai. Dengan demikian, masyarakat dapat melihat bagaimana dana tersebut digunakan sesuai dengan tujuan partai dalam memperjuangkan kepentingan publik.
Ketiga, partai juga dapat menggencarkan pendidikan politik kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya partisipasi politik yang inklusif. Dengan menjelaskan bahwa partai bukanlah hanya milik tokoh tertentu, tetapi medium bagi perjuangan masyarakat secara keseluruhan, diharapkan akan ada peningkatan minat dan partisipasi masyarakat dalam mendukung dan bergabung dengan partai sesuai dengan visi dan nilai yang diusung.
Dalam upaya ini, partai harus memiliki komitmen yang kuat untuk menghadirkan perubahan dan mengubah citra partai yang terlalu tergantung pada tokoh-tokoh sentral. Dengan memobilisasi dana secara terbuka dan transparan, partai dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam perjuangan politik dan membuka ruang bagi tokoh-tokoh dengan kapasitas kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia yang luas.
Mengutip paparan ide dari Pak Edy bahwa partai juga dapat menggencarkan pendidikan politik kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya partisipasi politik yang inklusif.
Pertanyaannya, pendidikan politik seperti apa? Bagaimana cara rekrutmen masyarakat utk mengikuti pendidikan politik? Darimana sumber dana untuk pendidikan politik?
Realita yang dirasakan, individu tertarik menjadi anggota dan kader partai difasilitasi dengan teknologi bisa online. Setelah mendaftar secara online, terus terdaftar tetapi untuk selanjutnya ingin berbagi pandangan atau diskusi ke mana? Terjadi kebingungan. Apakah teknologi ini hanya sebagai cara Parpol mendapat jumlah anggota yang banyak tetapi prose partisipasinya?