Categories
Begini Saja

Betapa Unik ‘Pendukung Yang Tak Menyerang’

Banyak politisi, pakar dan pembuat opini tidak secara langsung berhadapan, membantah atau meniadakan gagasan pihak lain; apalagi dengan sengaja menolak dengan menantang, menyangkal, mengerti atau bahkan mengakui keberadaan argumen pihak lain. Demikian pula pernyataan Junimart ketika ia dituding menggembosi Teman Ahok.

Kompas (Kamis 23/6/2016) menulis:

“Politisi PDI-P Junimart Girsang membantah tudingan yang menyebut dirinya menyerang bakal calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Tudingan itu setelah Junimart melontarkan informasi ihwal dugaan adanya aliran dana Rp 30 miliar ke komunitas relawan “Teman Ahok” ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Junimart mengatakan, dirinya justru mengawal Ahok agar calon petahana itu tak dikelilingi orang-orang yang memanfaatkan ketidaktahuannya. “Saya tidak pernah menyerang Ahok. Saya pendukung Ahok, pengawal Ahok,” kata Junimart di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.”

Ini adalah salah satu perbedaan antara seorang intelektual dan politisi. Dengan percaya diri, seorang intelektual cenderung menolak argumen yang menentang sembari bertumpu pada otoritas sebagai seorang intelektual. Kewewenangan intelektual seolah memberi rasa aman. Perbedaan lainnya, politisi memerlukan pemeriksaan realitas sebelum membuat sanggahan. Bisa dibayangkan, jika Junimart mengatakan bahwa dialah lawan diametral Ahok, maka mungkin ia akan kehilangan citra tentang keunggulan sebagai profesional dan intelektual, meski sejatinya dengan pernyataan tersebut ia sedang melakukan political exercise. Seolah lebih aman baginya membungkus wajah politisinya dengan topeng intelektual bak Royco yang mengemas ayam besar dan membungkusnya dalam ayam kecil.

Pola berargumentasi semacam itu dikenal sebagai konsonansi kognitif terhadap unsur kognitif yang saling disonan. Dalam musik, disonansi (Latin, dis-, “terpisah” + sonare, “terdengar”) – dianggap sebagai kondisi yang tidak stabil, jika dilawankan dengan konsonan (Latin com-, “dengan” + sonare, “terdengar”) yang merupakan kondisi harmoni, chord, atau stabil. Kognisi (Latin: cognoscere, “tahu”, “berkonsep” atau “mengakui”) mengacu pada sebuah ranah dalam pengolahan informasi, penerapan pengetahuan, dan perubahan preferensi. Kognisi adalah istilah ilmiah untuk “proses pemikiran”. Penggunaan istilah bervariasi di berbagai disiplin ilmu. Dalam ilmu psikologi dan ilmu kognitif, biasanya mengacu pada pandangan pengolahan informasi atas fungsi psikologis individu.

Disonansi kognitif adalah kontradiksi internal yang menciptakan pola perilaku. Teori disonansi kognitif mengusulkan bahwa orang memiliki drive guna mengurangi disonansi dengan mengubah, membenarkan atau merasionalisasikan sikap, keyakinan, dan perilaku mereka. Ini adalah salah satu teori yang paling berpengaruh dan dipelajari secara ekstensif dalam psikologi sosial. Tidak ada manusia yang kebal terhadap blind spot ini. Blind spot ini memungkinkan sebagian besar manusia bertahan hidup dan berfungsi karena kelumpuhan dan ketertekanan, meski mereka harus mengeluarkan biaya besar atas efek disonansi kognitif di masa depan.

Disonansi kognitif adalah perasaan tidak nyaman karena orang berpegang pada dua ide yang kontradiktif secara bersamaan. Kontradiksi antara dua keyakinan menciptakan semacam ‘tekanan vakum bola lampu’ yang secara spontan mendorongnya untuk mencari keyakinan ketiga. ‘Keyakinan ketiga’ ini adalah hasil perundingan murni secara eksistensial. Karena disonansi kognitif adalah proses yang hampir asadar; orang jarang menyadari bahwa dirinya sedang bertumpu pada dua keyakinan yang saling bertentangan di dalam sistem nilai yang bersamaan.

Dalam contoh yang disitasi dari berita di atas, penyataan “Kami dapat info ada dana pengembang reklamasi sebesar Rp 30 miliar untuk Teman Ahok. Dana tersebut disalurkan lewat Sunny dan Cyrus. Salah satu orangnya Cyrus. Kan dipecat. Kami bilang ke KPK biar ini berkembang”. Meski anggota Fraksi PDI Perjuangan ini mengaku memiliki dokumen terkait informasi tersebut, namun ia enggan menyebutkan dari mana informasi tersebut didapatkannya. Pola “ada info, tetapi menolak menyebutkan sumber info” juga merupakan framing ide yang terkait dengan disonansi kognitif yang dapat membantu Junimart teguh memegang dua keyakinan yang saling bertentangan.

Bagi Anda yang tidak sedang terkunci dalam pola pikir ini, perilaku tersebut tampaknya tidak masuk akal, bahkan dengan definisi terbaik atas rasionalitas itu. Tampak jelas bahwa Anda tidak dapat secara bersamaan percaya bahwa tindakan mendukung dilakukan bersamaan dengan menyerang meski ‘ditusuk-sate’ dengan argumentasi pertama bahwa “dukungan tersebut merupakan dukungan pribadi sebagai anggota DPR dan warga Jakarta [sehingga] dirinya ‘tidak sedang melontarkan tuduhan dengan membeberkan informasi terkait aliran dana tersebut ke publik’, tetapi ‘sedang menjalankan fungsi sebagai anggota dewan’. Juga dengan argumentasi kedua bahwa ‘hal itu dilakukan agar petahana tak dikelilingi orang-orang yang memanfaatkan ketidaktahuannya’.

Persoalannya, pertama, benarkah yang Junimart kerjakan merupakan dukungan pribadi sebagai anggota DPR dan warga Jakarta sehingga tidak ada opsi tindakan lain selain melontarkan tuduhan dengan membeberkan informasi terkait aliran dana tersebut ke publik? Apakah opsi ini akan diambil jika Teman Ahok gagal mengumpulkan sejuta KTP? Kedua, sejauh mana pemahaman publik DKI perihal fakta bahwa petahana dikelilingi orang-orang yang memanfaatkan ketidaktahuannya? Bolehkah ditafsirkan bahwa Junimart bermaksud menggeser posisi Teman Ahok dan menggantikan dirinya sebagai Sahabat Ahok? Semoga jawabannya adalah ‘Ya’.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *