Categories
Begini Saja

Bias Kognitif

Sejak Pilkada Kota Solo tahun 2005, Pilkada DKI 2012, dan Pilpres 2014, para pengamat politik memberikan ulasan positif kepada Jokowi atas keterlibatannya dalam politik. Mereka yakin Jokowi bisa membawa perubahan dan inovasi positif pada sistem politik yang ada. Namun, arus balik terjadi ketika sebagian pengamat politik kemudian berubah pandangan dan menjadi negatif terhadap Jokowi karena partisipasi politik anak-anak Jokowi.

Keterlibatan anak-anak Jokowi dinilai sebagai bentuk nepotisme atau penggunaan kekuasaan politik untuk kepentingan pribadi, meski perlu dicatat bahwa anak-anak Jokowi, sama halnya dengan anak-anak muda lain, tidak dilarang berpolitik. Penilaian negatif atas mereka lebih terkait dengan aspek moral dan etika politik, termasuk keyakinan bahwa keterlibatan keluarga dalam politik melemahkan prinsip-prinsip transparansi dan demokrasi, atau kekhawatiran mengenai penggunaan nepotisme dalam pengambilan keputusan politik.

Dalam psikologi politik, perbedaan persepsi dan penilaian terhadap Jokowi karena keterlibatan politik anak-anak Jokowi dikenal sebagai ‘bias kognitif’[1], yang berbarengan dengan manipulasi beberapa faktor, termasuk preferensi politik, sikap pribadi terhadap Jokowi, dan perasaan umum terhadap keluarganya. Penilaian yang tidak konsisten seperti ini sering terjadi dalam dunia politik, di mana perbedaan pendapat, ide, dan kepentingan mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap situasi politik.

Trauma

Para pengamat cenderung membandingkan antara partisipasi anak-anak Jokowi dan anak-anak Soeharto yang terjun ke dunia politik di era Orde Baru. Di balik yang terungkap sebagai kekhawatiran atas terkikisnya transparansi, prinsip demokrasi, dan penggunaan nepotisme dalam pengambilan keputusan politik, turut berperan juga efek dari trauma politik di masa lalu.

Meskipun terdapat beberapa kesamaan antara keterlibatan anak-anak Jokowi dan Soeharto, seperti isu transparansi dan kekhawatiran terhadap nepotisme, terdapat juga perbedaan penting di antara keduanya. Dalam konteks trauma politik, bisa saja ketika pengamat membandingkan keterlibatan anak-anak Jokowi dengan masa Orde Baru, mereka mengembangkan kekhawatiran dan ketidakpercayaan terhadap prinsip demokrasi dan transparansi.

Dampak dari bentuk trauma politik ini bisa berbeda-beda pada setiap individu, tergantung pengalaman dan cara pandangnya. Pun, trauma politik akibat keterlibatan anak-anak Soeharto dalam dunia politik pada masa Orde Baru merupakan topik yang menyengat dan melibatkan sudut pandang berbeda. Dalam konteks perbandingan tersebut, penting untuk diingat bahwa setiap situasi politik memiliki karakteristik dan perbedaannya masing-masing, baik dari segi ukuran maupun keadaan politik.

Relevansi

Perbandingan dengan masa lalu yang traumatis mungkin masih relevan dalam konteks tertentu. Membandingkan diri kita dengan masa lalu yang traumatis juga dapat membantu kita mengambil keputusan yang bijaksana. Ketika seseorang dihadapkan pada situasi atau peristiwa yang mirip dengan pengalaman traumatis sebelumnya, perbandingan tersebut dapat membangkitkan perasaan dan reaksi emosional yang serupa. Dengan menyadari pengalaman negatif di masa lalu, seseorang dapat belajar dari kesalahan, menghindari bahaya serupa, atau mengambil berbagai langkah untuk menghindari penyakit mental.

Oleh karena itu, jika ada kekhawatiran mengenai keterlibatan anak-anak Jokowi dalam politik, maka perbandingan dengan kemungkinan masa lalu yang traumatis harus dianalisa secara cermat dan objektif. Hanya dengan memahami lebih baik dampak pelibatan anak dalam politik, kita dapat menemukan cara untuk lebih efektif memperkuat prinsip-prinsip demokrasi dan transparansi di masa depan.

Penting juga untuk dicatat bahwa tidak semua perbandingan dengan masa lalu yang traumatis selalu relevan atau bermanfaat. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan secara hati-hati konteks dan potensi dampaknya sebelum menggunakan kriteria pembanding tersebut.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.


[1] Bias kognitif adalah fenomena yang memengaruhi semua orang, mulai dari orang biasa hingga peneliti paling berpengalaman. Ini mengacu pada berbagai cara otak menafsirkan informasi dan membuat keputusan berdasarkan informasi itu.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

2 replies on “Bias Kognitif”

Naiknya pak Jokowi sebagai presiden adalah bukti “kegagalan” demokrasi ideologi, digantikan dengan demokrasi non ideologi, setidaknya yang nampak adalah demikian. Pak Jokowi adalah tipe pekerja yang “tidak bermain-main” dengan ideologi politik, sedangkan politisi lain berbuih dengan referensi ideologi merah kuning hijau dan sebagainya.
Anak-anak beliau juga “murni entrepreneurship” yang dibuktikan dengan bisnis kuliner atau sejenisnya.
Rakyat yang sedang “bosan ideologi” akhirnya memang berani memilih; ya sudah biarkan saja pak Jokowi dan keluarga berkuasa, toh semua juga atas pilihan bersama.
Jika tidak suka ya tinggal tidak memilih.

Bisa saja itu bentuk apatisme baru di tengah kegalauan bahwa negara kita masih berpusing-pusing dengan – ternyata – tidak ada kader pemimpin yang tersiapkan.

Para pemikir politik sering dicurigai sebagai kaki tangan keberpihakan.
Jadinya…ya sudah mengalir lah semuanya.

Salam

Smart comment!
Terima kasih Dr. Nugroho DP!

Fenomena terpilihnya Jokowi sebagai presiden, menurut Anda, merupakan pertanda kegagalan demokrasi ideologis dan gilirannya demokrasi non-ideologis kini sedang bangkit. Anda menghormati Jokowi sebagai politisi yang pragmatis dan lebih mementingkan hasil dibandingkan ideologi politik tertentu. Gaya hidup wirausaha keluarganya adalah contoh lain dari hal ini.

Ingatlah bahwa penilaian seperti ini biasanya juga subjektif dan berdasarkan interpretasi Anda sebagai pengamat. Fenomena politik dapat dilihat dan dipahami dalam berbagai cara. Jokowi dan keluarganya, misalnya, mungkin dipandang oleh sebagian orang sebagai ilustrasi kapitalisme tanpa ideologi dan oleh sebagian orang lain sebagai studi kasus tentang bagaimana kerja keras dan etos kerja yang kuat dapat membawa kemajuan sosial.

Penting untuk mempertimbangkan bahwa semua kebijakan politik sebenarnya didasarkan pada beberapa jenis ideologi, bahkan jika itu tidak selalu secara eksplisit. Yang artinya, bahkan pendekatan yang tampaknya “non-ideologis” mungkin sebenarnya menunjukkan preferensi ideologis tertentu. Ini bisa jadi topik yang sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut.

Jadi, whatever, whyever, however, sudut pandang Anda ‘out of the box’, namun penting untuk diingat bahwa ada banyak sudut pandang lain yang berbeda dan sah mengenai isu kompleks seperti ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *