Categories
Begini Saja

Cermin dan [Ber]Kaca Diri

Penolakan atau kesediaan untuk bercermin tidak dengan sendirinya menunjukkan apakah seseorang mampu berpikir kritis, berefleksi atau berkaca diri, berintrospeksi atau tidak. Berpikir reflektif tidak bisa ditentukan oleh tindakan atau perilaku saja.

Namun, jika seorang politisi secara konsisten menunjukkan perilaku yang tidak mau mengakui kesalahan, mempertimbangkan perspektif alternatif, atau tidak mau belajar dan beradaptasi, hal ini mungkin menunjukkan kurangnya pemikiran reflektif. Lebih penting lagi, pernyataan dan tindakan mereka –penampilan mereka, rekam jejak– dalam konteks yang berbeda membantu kita memahami pemikiran kritis mereka dengan lebih baik daripada situasi atau adegan tertentu dalam arti literal.

Tekanan Publik

Dalam psikologi politik, perilaku umum dan pernyataan seorang politisi sering kali memainkan peran yang lebih penting dibandingkan kasus individu. Memang benar bahwa kemampuan seorang politisi untuk berpikir secara mendalam dan introspektif sangat penting untuk memahami dan menanggapi tantangan kehidupan politik dan sosial. Jika terjadi kelalaian yang serius, bisa jadi itu pertanda bahwa para politisi akan kesulitan memahami dan menyikapi berbagai persoalan kehidupan politik, apalagi bernegara.

Untuk menilai kemampuan refleksi dan introspeksi seseorang, penting untuk mempertimbangkan faktor lain seperti tekanan publik, asumsi budaya, dan strategi politik. Berpikir jernih dan introspeksi tidak boleh terjadi karena disuruh atau dipaksa, termasuk jika dibuat “Hari Introspeksi Nasional” atau “Hari Refleksi Nasional” di kalender.

Ingatlah bahwa penolakan secara publik untuk melakukan introspeksi terkadang lebih merupakan taktik politik daripada tanda ketidakmampuan berpikir kritis. Oleh karena itu, perilaku seorang politisi harus dijelaskan secara cermat dan mempertimbangkan konteks serta faktor yang berbeda. Untuk hasil analisis yang lebih mendalam dan akurat, sebaiknya berkonsultasi dengan ahli psikologi politik atau pembaca isyarat.

‘Signifier’ dan ‘Signified’

Dari sudut pandang psikologis dan politik, menolak melakukan introspeksi atau berpikir kritis sering kali merupakan ‘signifier’ atau penanda keengganan untuk mengevaluasi dan memperbaiki perilaku diri sendiri. Bukan merupakan tanda pasti tentang ‘signified’ bahwa seseorang tidak mampu berpikir reflektif hanya karena menolak membicarakan dirinya sendiri di depan cermin.

Politisi, kalau pun pada akhirnya menunjukkan perilaku ini, melakukannya lebih karena berbagai alasan, termasuk penolakan terhadap kritik, ketidakmampuan untuk mengenali kekurangan mereka sendiri, strategi defensif di masa lalu, atau penolakan terhadap tekanan opini publik. Namun, tidak ada satu pun di antara yang penulis sebutkan secara jelas menunjukkan apakah kapasitas berpikir reflektif atau introspeksi itu kuat atau lemah.

Penting juga untuk diingat bahwa perilaku publik seseorang tidak selalu secara akurat mencerminkan kemampuan dan pemikirannya tentang privasi. Dalam beberapa kasus, seorang politisi mungkin secara sadar menunjukkan sikap tertentu untuk mengontrol dan meningkatkan citra publiknya. “Sang Flamboyan Demokrat” di gedung Senayan tidak identik dengan sosok kepala keluarga, suami, atau ayah dengan gaya pendidikan demokratis.

Kesehatan Mental?

Kesehatan mental politisi, tak terkecuali, dapat memengaruhi kemampuan mereka berpikir kritis. Sikapnya yang menolak memeriksa dirinya sendiri di depan cermin (mungkin ini metafora media) memperkuat ambiguitas situasi tersebut. Bagi sebagian orang, kemampuan mempertanyakan diri sendiri dan tindakannya di depan umum bisa menjadi pertanda kekuatan, tetapi bagi sebagian lainnya, itu bisa menjadi kelemahan atau bahkan pamer.

Setiap individu, termasuk politisi, mempunyai kompleksitas dan motif batin masing-masing yang mungkin berbeda dengan apa yang diungkapkan ke publik. Mungkin dia merasa tidak perlu memikirkannya, atau mungkin dia merasa sudah cukup memahami masalahnya dan tidak perlu memikirkannya lagi. Atau ia mungkin juga merasa tidak nyaman melakukan hal ini, apalagi di depan banyak orang. Riwayat pribadi, tekanan sosial, dan faktor lain dapat memengaruhi perilaku seperti ini.

Keengganan seorang politisi untuk melakukan introspeksi di depan cermin mungkin menunjukkan beberapa kemungkinan sikap atau pola pikir, tetapi sulit untuk menarik kesimpulan konkret dari satu tindakan tersebut. Sekalipun suatu perilaku dipahami sebagai tanda kurangnya perhatian, kesimpulan bahwa keengganan berbicara kepada diri sendiri di depan cermin tidak sepenuhnya benar atau adil untuk menilainya sebagai tidak reflektif dan introspektif.

Dalam psikologi politik, penting untuk mempertimbangkan keseluruhan konteks dan menghindari kesimpulan yang terlalu terburu-buru atau menyederhanakan.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Penulis buku “Refleksi Metodologi Riset: Panorama Survey” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

4 replies on “Cermin dan [Ber]Kaca Diri”

Terima kasih, Dr. Lerbin telah singgah dan memberikan saran.

Langsung saja saya sambut dan tanggapi.

Dalam psikologi politik, penting untuk mempertimbangkan keseluruhan konteks dan menghindari kesimpulan yang terlalu terburu-buru atau menyederhanakan.

Sebagaimana diberitakan media, psikolog dari Universitas Bhayangkara, Hanna Rahmi, menilai sikap Prabowo Subianto yang tidak mau bercermin saat acara “3 Bakal Capres Bicara Gagasan” di UGM yang dipandu Najwa Shihab, pada Selasa (19/9/2023), menunjukkan kecenderungan penyangkalan diri atau takut akan kegagalan pilpres sebelumnya. Sikap Prabowo itu juga dinilai oleh Hanna Rahmi sebagai sikap blocking dan boundaries agar orang lain jangan sampai tahu kekurangan dan kelemahan dirinya.

Dengan kesimpulan rekan Hanna Rahmi yang kemudian dijadikan “pemahaman publik” tersebut, sebagai psikolog sejauh mana Dr. Lerbin kemudian akan mengkonfirmasi bahwa penolakan PS untuk ngomong di depan cermin itu dapat diinterpretasikan sebagai “kecenderungan penyangkalan diri” atau “takut akan kegagalan pilpres sebelumnya”?

Dari premis mayor apa dan dari berapa premis minor sehingga konklusi itu muncul? Manakala muncul penilaian tentang “sikap blocking dan boundaries agar orang lain jangan sampai tahu kekurangan dan kelemahan dirinya” itu semata-mata dikaitkan dengan penolakan PS untuk melihat bayangan wajah di depan cermin (yang disaksikan publik), lantas apakah hal sebaliknya, yakni kesediaan dan sikap kooperatif GP dan AB atas instruksi Najwa Shihab, secara linear juga dapat ditafsirkan dengan konklusi yang sebaliknya pula? Satu lagi pertanyaan cilik, sejauh mana Hanna Rahmi “on professionally right track” dan tidak terjebak dalam bias?

Memahami psikologi individu dan kelompok dalam konteks politik yang kompleks boleh jadi dapat membantu dalam memahami pemikiran, tindakan, dan perilaku masyarakat dalam hal politik. Faktor seperti nilai-nilai pribadi, afiliasi politik, identitas sosial, dan pengalaman sebelumnya dapat mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap politik.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, kita dapat memahami bahwa pendekatan yang tunggal atau generalisasi sederhana (adegan di depan cermin) sering kali tidak akurat atau tidak lengkap. Penting untuk menyelidiki dan menganalisis dengan cermat konteks politik tertentu untuk memahami kompleksitas perilaku politik yang muncul dari berbagai faktor individu dan sosial.

Tindakan bercermin dalam konteks perilaku politisi tertentu, seperti menjadi latar tulisan ini, menjadi pernyataan yang populer di tengah kontestasi politis. Bercermin, mengingatkan saya tentang fase cermin. Seandainya politisi itu bercermin dalam fase cermin, kesadarannya kembali seperti bayi. Bayi yang bercermin akan tertawa melihat bayangannya sendiri. Tapi tindakan itu belum mengalami transformasi kesadaran. Bayi akan tumbuh dan kesadarannya berubah bentuk ketika ia mulai membedakan mana “bayangan cermin” dan mana “sang aku”. Komentar dari para pengamat agar politisi tertentu itu bercermin, mungkin mengarahkan kepada para pembaca agar politisi itu bisa mengukur kesadarannya, terutama sebagai kontestan calon presiden. Setuju bahwa sekalipun ia bercermin belum tentu ia akan serta merta mengalami refleksi-diri. Refleksi-diri bertautan dengan demokrasi prosedural yang luas, pemilu hanya salah satu peristiwanya, dan juga refleksi-diri bertautan dengan kemampuannya untuk mempergunakan rasio-komunikatif. Setelah “sang bayi” mengetahui bahwa “bayangan cermin” itu adalah ilusi, pemilu itu sekadar kilatan peristiwa, maka sang bayi mulai belajar pertautan bayangan cermin dengan kesadarannya untuk memahami proses deliberasi, proses komunikasi politik, proses kepemimpinan dan seterusnya.

Terima kasih, Dik Anom Surya Putra.

Kias atau analogi Anda untuk menerapkan teori Jacques Lacan secara interpretif pada acara “3 Bakal Capres Bicara Gagasan” di UGM yang dipandu Najwa Shihab, pada Selasa (19/9/2023) sangat menantang untuk saya tanggapi.

Fase bercermin yang diteorikan oleh Jacques Lacan dapat saja diterapkan dalam analisis politik dengan cara memahami bagaimana citra politik dan representasi politik dapat mempengaruhi kesadaran kolektif suatu masyarakat.

Jika ditarik konklusi lebih jauh dari metafora “reality show” Najwa Shihab tersebut, perolehan suara dalam pemilihan umum dapat dianggap sebagai refleksi atau bayangan cermin dari keinginan dan partisipasi politik rakyat. Dalam hal ini, bayangan cermin tersebut dapat dianggap sebagai ilusi yang dibentuk oleh persepsi publik terhadap pemimpin atau partai politik.

Namun, penting untuk diingat bahwa politik lebih kompleks dan tidak dapat direduksi menjadi sekadar perolehan suara. Proses politik mencakup proses pembuatan kebijakan, komunikasi politik, dan kepemimpinan yang melibatkan lebih dari sekadar bayangan cermin. Politisi dan pemimpin politik perlu memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang proses politik dan dampak keputusan politik mereka pada masyarakat.

Dalam konteks ini, “bayi” atau politisi perlu belajar bagaimana menghubungkan bayangan cermin dengan pemahaman yang lebih dalam tentang potensi dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat. Mereka perlu mengembangkan kesadaran politik yang lebih luas dan memahami bagaimana tindakan mereka dapat mempengaruhi dunia nyata. Selain itu, pemilih juga perlu melihat melampaui kilatan peristiwa dan memahami realitas politik yang lebih besar.

Intinya, fase bercermin dalam teori Lacan dapat membantu kita memahami bagaimana citra politik dan representasi politik dapat membentuk dan mempengaruhi kesadaran politik kolektif. Namun, untuk memahami secara menyeluruh proses politik, politisi dan pemilih perlu melihat melampaui ilusi yang dihasilkan oleh bayangan cermin dan memahami keterkaitan mereka dengan realitas politik yang lebih luas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *