Categories
Begini Saja

Menimang Faedah ‘Politik Keluarga’

Ketua Umum PSI Giring Ganesha, mengaku sudah meminta Kaesang Pangarep memegang tampuk kepemimpinan partai Senin (25/9/2023), dua hari setelah Kaesang Pangarep resmi terdaftar sebagai kader PSI.  Jika ini benar menjadi kenyataan, maka terpenuhi nas magis Pak Jokowi melalui nama yang ia paterikan pada bungsunya: “Kae Sang Pengarep” [Jw], yang artinya: “Dialah yang menjadi Sang Pemuka”. Lantas, celoteh bernada “konsonansi kognitif” pun terlontar dari Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang mengatakan, meski Kaesang Pangarep bergabung dengan PSI, hubungan antara Pemimpin PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Jokowi tetap baik-baik saja.

Tak hanya konsonansi kognitif, ternyata muncul juga “konsonansi administratif” yang datang dari Ketua DPP PDIP Said Abdullah. Ia menjelaskan, aturan internal PDIP mengatur bahwa seluruh kerabat dekat pengurus partai, terutama yang memegang jabatan publik, tidak boleh bekerja di partai politik lain. Namun menurut Said tidak ada masalah dalam kasus Kaesang, karena secara administratif, utamanya melalui terbitnya Kartu Keluarga (KK), Kaesang telah membentuk keluarga sendiri. Jadi bukan lagi keluarga Presiden Jokowi, meski hal ini tidak berlaku untuk kakak Kaesang, Gibran Rakabuming Raka. 

Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, turut menilai bahwa eksistensi Kaesang Pangarep sebagai anak Presiden Jokowi telah membuat PSI memberikan keistimewaan dengan melakukan ‘jemput bola’ ke Solo, yang dilakukan oleh para pengurus inti DPP PSI. Sebagaimana diberitakan, pimpinan PSI menyerahkan kartu tanda anggota PSI kepada Kaesang di kediaman Presiden Jokowi di Solo.

Adapun Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menilai Presiden Jokowi sedang mengritik PDIP melalui anaknya, Kaesang Pangarep, yang bergabung dengan PSI pada Sabtu (23/9/2023) lalu. Menurut Arya, dengan masuknya Kaesang ke PSI, Jokowi sedang mengritisi aturan satu keluarga satu partai.

Adagium “Sekeluarga-Separtai”

Ada beberapa tonggak argumentasi, mengapa jika sekeluarga, maka harus separtai politik. Pertama, sesama anggota keluarga yang bergabung dengan partai yang sama diharapkan dapat memperkuat solidaritas kepartaian dan koherensi ideologis. Hal ini juga dapat mendorong agenda politik yang sama serta mengoptimalkan upaya untuk mencapai tujuan bersama. Kesamaan partai memudahkan sesama anggota keluarga membangun pemahaman yang lebih dalam tentang isu-isu politik yang dihadapi, terutama melalui saran dan pendapat yang berharga untuk mendukung keputusan dan strategi menurut garis kebijakan partai.

Kedua, sesama anggota keluarga dapat berkontribusi pada opini publik yang saling menguntungkan karena hal ini menegaskan bahwa anggota keluarga yang menjadi politisi lebih dimudahkan untuk berkomitmen pada ideologi dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh partai yang dia wakili. Jika anggota keluarga juga bergabung dengan partai yang sama, mereka dapat dilibatkan untuk membantu kampanye dan mengorganisir dukungan politik setidaknya di tingkat lokal.

Ketiga, lewat bergabung dengan partai yang sama, keluarga dapat melanjutkan program politik yang dirintis dan dikembangkan para pendahulu atau anggota keluarga yang lebih senior. Keluarga juga dapat berbagi visi politik dan pendekatan terhadap isu-isu politik sehingga bergabung dengan partai politik yang sama memperkuat identitas politik keluarga dan memungkinkan mereka untuk merasa terikat secara emosional dan politik sebagai sesama anggota keluarga; intinya identitas diri menyatu dengan identitas politik.

Keempat, hal tersebut dapat memperkuat persepsi diri mereka sebagai bagian dari keluarga yang memiliki tujuan dan nilai politik yang sama. Dalam konteks keluarga, tekanan sosial yang menghantam cenderung mendorong untuk bergabung dengan partai politik yang sama. Tekanan difungsikan baik sebagai the same anemy, maupun sebagai point of solidarity.  Pun, kehadiran seorang politisi yang juga merupakan anggota keluarga dapat memberikan tekanan dan pengaruh kepada anggota keluarga lainnya untuk mendukung dan bergabung dengan partai politik yang sama.

Dipercayai di kalangan peminat “segregasi sealiran politik-sekeluarga” ini, bergabung dengan partai yang sama dapat memberikan lebih banyak kesempatan untuk mengakses jaringan politik yang tersedia, kalau perlu melakukan perjalanan untuk mengunjungi dan berinteraksi dengan orang-orang yang berpengaruh dalam jaringan. Dalam hal ini, keluarga politisi yang bergabung dengan partai politik yang sama dapat menunjukkan kesetiaan dan komitmen keluarga tersebut terhadap representasi identitas lain, seperti: agama, ideologi, dan nilai-nilai politik yang sama dengan politisi itu sendiri.

Dalam konteks psikologi politik, sulit dibantah adanya aspek pengaruh sosial dalam keputusan anggota keluarga untuk bergabung dengan partai politik yang sama dengan yang sudah dianut oleh salah satu anggota keluarga. Jika anggota keluarga seorang politisi memutuskan untuk bergabung dengan salah satu partai, ia mungkin merasa perlu untuk mempertahankan keputusannya selain meningkatkan komitmennya terhadap partai tersebut.

Adagium “Sekeluarga-Beda Partai”

Dalam telaah psikologi politik, keluarga yang lulus mempraktikkan pola asuh demokratik akan menegaskan dan menghormati kebebasan untuk memilih partai yang paling sesuai dengan keyakinan dan gagasan dari masing-masing anggota keluarganya. Mereka tidak hanya dibolehkan, tetapi jika perlu pantang memaksa dan dipaksa untuk bergabung dengan partai yang sama lantaran setiap individu dalam keluarga memiliki hak untuk menentukan orientasi politiknya sendiri.

Salah satu pakar dalam psikologi politik yang membahas tentang “political divergence within families” adalah Diana C. Mutz,[1] seorang profesor di Annenberg School for Communication dan Department of Political Science di University of Pennsylvania. Salah satu bukunya yang terkenal yang mencakup topik ini adalah “In-Your-Face Politics: The Consequences of Uncivil Media” (2015). Buku ini membahas tentang pengaruh media yang tidak beradab dalam memperdalam perpecahan politik di antara keluarga dan masyarakat.

Berseberangan dengan ‘pilihan berbeda partai politik di antara anggota keluarga yang sama’ atau sering juga disebut “political polarization within families”, bergabung dengan partai yang sama dapat memiskinkan debat politik secara umum dengan menghilangkan kesempatan untuk mengekspresikan pandangan yang berbeda. Pun, keluarga politisi dapat dianggap tidak independen atau hanya ingin menggunakan kekuatan politik keluarga. Sebaliknya, dengan memilih partai yang berbeda, keutamaan terletak pada  ‘pilihan berbeda partai politik di antara anggota keluarga yang sama’ adalah bahwa keluarga dapat menegaskan kompetensi dan pandangan politiknya secara independen.

Bergabung atau tidaknya keluarga politisi dengan partai yang sama merupakan keputusan pribadi dan harus didasarkan pada penilaian dan kebebasan politik masing-masing anggota keluarga. Anggota keluarga yang berpolitik mungkin ingin mempertahankan kemandirian dan otonomi pribadi mereka dalam membuat keputusan politik. Mereka mungkin memiliki pandangan politik yang berbeda atau ingin mendukung isu-isu tertentu di luar lingkaran partai yang sama dengan pandangan politik mereka.

Sulit dihindarkan bahwa bergabung dengan partai politik yang sama dapat menyebabkan identifikasi dengan politisi yang sudah jadi di keluarga itu sehingga menggerus keragaman ideologi politik dalam keluarga. Secara tak terhindarkan bahkan keputusan dan tindakan keluarga politisi dapat dinilai publik  sebagai “mencerminkan reputasi dan tindakan keluarga secara keseluruhan”, sehingga malahan dapat menjadi beban yang tidak perlu bagi beberapa individu. Dalam hal ini, keluarga yang telah matang secara politik mungkin ingin mempertahankan identitas dan pandangan politik mereka yang berbeda.

Sulit dibantah bahwa menjadi anggota partai politik yang sama dapat menyulitkan untuk membedakan dan mengekspresikan pandangan yang berbeda secara terbuka karena keluarga politik mungkin memiliki lingkungan dan kelompok sosial yang berbeda yang mempengaruhi pandangan politik mereka. Dalam perspektif psikologi politik, faktor-faktor psikologis seperti identitas, afiliasi kelompok, tekanan sosial, dan struktur kekuasaan dapat memengaruhi keputusan keluarga politik untuk bergabung dengan partai yang sama.

Namun, penting untuk disadari bahwa setiap individu memiliki otonomi dan kebebasan untuk membuat keputusan politik sesuai dengan nilai dan kepentingan pribadi mereka. Dalam analisis psikologi politik ini, penting untuk mempertimbangkan faktor psikologis dan motivasi individu dalam keputusan keluarga politisi untuk bergabung dengan partai politik yang sama.

Ketika dua atau beberapa anggota keluarga yang sama menjadi politisi dari partai politik yang berbeda, mungkin ada beberapa kesulitan yang mungkin timbul, seperti: konflik politik dapat merambah ke dalam hubungan keluarga. Dalam hal ini penting untuk menjaga komunikasi terbuka dan menghormati perbedaan politik satu sama lain dengan memisahkan perbedaan politik dari hubungan keluarga yang lain, dan menghindari perdebatan yang berlebihan.

Kadang-kadang, anggota keluarga yang berbeda partai politik harus bekerja sama atau mencapai kesepakatan dalam konteks politik. Intinya, menghormati perbedaan dan menjaga komunikasi yang sehat adalah kunci untuk mengatasi banyak kesulitan yang mungkin muncul ketika beberapa anggota keluarga menjadi politisi dari partai politik yang berbeda. Realitas politik selalu bercorak transaksional, sebaliknya kehidupan keluarga selalu relasional. Soalnya adalah bagaimana transaksi yang buruk tidak mencemarkan relasi, sama halnya relasi yang buruk tidak menelikung transaksi.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.


[1] Diana C. Mutz (2015). In-Your-Face Politics: The Consequences of Uncivil Media (Princeton University Press).

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

8 replies on “Menimang Faedah ‘Politik Keluarga’”

Politik Jokowinomic mirip.anomali…berbekal figur “baik” pak jokowi akhirnya publik mentolelir apa pun selama pak jokowi diam.atau mendukung. Bisa jadi ini bukti langkanya political leadership yg bisa dipercaya (trusted leadership). Pertanyaannya apakah ini berkesinambungan, atau memang hanya terjadi pada keluarga pak Jokowi ?

Terima kasih, Dr. Nugroho Dwi Priyohadi.
Komentar dan pertanyaan Anda sangat menarik.

Merupakan fakta bahwa Presiden Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi memiliki karisma yang kuat dan mampu membangun citra leadership yang dipercaya banyak orang. “Jokowinomics,” istilah untuk kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh Jokowi, telah berhasil membawa beberapa perubahan positif untuk Indonesia.

Namun, penting untuk diingat bahwa kepercayaan publik terhadap seorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh figur pribadi pemimpin itu sendiri, namun juga oleh integritas dan konsistensi dalam menjalankan kebijakan. Kendati gelombang kritik menghantam, publik pun cenderung mentolerir kebijakan yang bahkan kontroversial jika mereka merasa bahwa pemimpin mereka sedang berusaha dalam kebaikan dan keberlanjutan negara.

Melihat ‘trusted leadership’ muncul dalam diri Jokowi, tidak serta merta berarti hal ini hanya akan berlangsung di lingkaran keluarga Jokowi. Politik berbasis kepercayaan bisa hadir dari setiap pemimpin yang punya integritas dan konsistensi, serta kemampuan untuk membuat keputusan yang bijaksana dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip mereka. Idealnya, trusted leadership bukanlah warisan yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang, namun bisa menjadi realitas di semua level pemerintahan.

Wallahualam!

Tarik menarik antara keluarga dan partai politik memang sudah tepat diuraikan dalam analisis psikologi politik. Antara transaksional dalam partai dan relasional dalam keluarga. Keduanya mungkin berada dalam peringatan tegangan tinggi: transaksi mencemarkan relasi, relasi menelikung transaksi. Peringatan ini terjadi ketika keluarga itu masuk ke pusaran partai yang geraknya gesit di dalam SISTEM (kekuaaan negara; pasar). Ada satu pilar yang membuat keluarga itu semakin bertegangan tinggi yaitu politik WANGSA. Imajinasi sosial suatu keluarga yang bercita-cita masuk ke SISTEM adalah membangun WANGSA. Wangsa ini berdampak menyedot keluarga lain untuk ikut serta berkiprah dengannya. Wangsa yang bertahan dengan SISTEM kekuasaan negara di Indonesia jelas Wangsa Soekarno. Kiprahnya hampir semua orang tahu. Wangsa yang bertahan dengan SISTEM kekuasaan pasar di Indonesia jelas Wangsa Soeharto. Akumulasi uangnya hampir semua orang ikut mendengar meski tetap misteri jumlahnya. Nah, Wangsa SBY, Joko Widodo, dan seterusnya akan bermunculan. Apakah politik WANGSA itu mengemban cita-cita demokrasi radikal (dari, oleh dan untuk rakyat)? Tidak. Wangsa akan berproduksi dan bereproduksi pada arena demokrasi prosedural yakni kontestasi Pemilu.

Dik Anom Surya Putra,
Sangat menarik poin yang Anda sampaikan.

Fenomena “politik wangsa” sering kali terjadi dalam sistem politik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pertanyaan mengenai sejauh mana politik wangsa mengemban demokrasi substantif atau hanya berada dalam lingkup demokrasi prosedural adalah pertanyaan yang relevan dan pastinya akan berbeda tergantung kasusnya.

Seorang politikus yang berasal dari satu “wangsa” politik – terakhir kasus Kaesang – mungkin memiliki kepentingan yang lebih dalam melanjutkan agenda politik keluarganya daripada mempromosikan demokrasi yang substansial. Di sisi lain, keberadaan mereka dalam sistem demokrasi prosedural berarti mereka harus mematuhi aturan permainan politik tersebut, yang mencakup pemilihan oleh rakyat.

Secara umum, sebagai penggelut Psikologi Politik sulit bagi saya untuk memprediksi bagaimana politik wangsa akan berdampak pada demokrasi di Indonesia. Apakah mereka akan memperdalam demokrasi substantif melalui dedikasi mereka untuk melayani publik, atau apakah mereka akan lebih fokus pada pemeliharaan dan reproduksi kekuasaan dan pengaruh keluarganya di panggung politik, adalah sesuatu yang hanya dapat ditentukan melalui analisis peristiwa dan tren secara historis dan kontemporer.

Namun, di sisi negatifnya, politik wangsa cenderung mengarah ke bentuk ‘elitisasi kekuasaan’ dimana fokus terpusat pada keluarga atau kelompok tertentu, daripada distribusi kekuatan dan perwakilan yang lebih egaliter dalam masyarakat. Pengaruh ini, jika terus terjadi, dapat mengecilkan ruang bagi demokrasi substantif dan meningkatkan potensi untuk korupsi dan nepotisme.

Ulasan yang komprehensif dalam memahami dinamika politik, khususnya dalam hal memahami kebebasan dan tanggung jawab individu dalam menentukan satu pilihan partai politik apabila bersinggungan dengan perbedaan dalam pilihan partai politik yang berbeda dalam satu keluarga yang secara administratif sudah membangun keluarga masing-masing. Sebuah pilihan membawa tantangan ke depan untuk mewujudkan impian-impian yang lebih dinamis dan lebih baik. Semoga.

Terima kasih konklusinya, Dik Basuki Ismail,

Saya pikir dapat dinalar, bergabung di PSI dan menduduki jabatan Ketua Umum, Kaesang telah membangun preseden yang memungkinkan generasi muda bisa meraih cita-cita yang lebih ambisius di masa depan. Generasi muda pertama-tama diperlihatkan tauladan (exemplification) melalui tindakan Kaesang bahwa mereka tidak harus terkekang oleh preferensi politik keluarganya. Hal ini memberi mereka kebebasan untuk memilih partai politik yang sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan pribadi mereka, bebas dari tekanan teman atau keluarga.

Kedua, upaya Kaesang terjun ke dunia politik di usia muda dan kemudian menduduki jabatan pimpinan partai politik – meski ini anomali “lima juta satu” – menjadi contoh “angsa hitam di antara hampir semua angsa putih” bagi generasi muda bahwa usia bukanlah penghalang untuk mencapai tujuan politik seseorang. Dengan menumbuhkan pemahaman bahwa, baik dalam bidang politik maupun bidang lainnya, keberanian dan ketekunan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk mewujudkan cita-citanya.

Ketiga, dengan menyimak jejak Kaesang, generasi muda dapat menyadari signifikansi dirinya dalam membentuk masa depan bangsa. Sudut pandang politik yang berbeda merupakan hal yang lazim dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia. Preseden Kaesang mengajarkan generasi muda untuk menghargai perbedaan pendapat orang lain dan tetap berpegang teguh pada keyakinan politiknya masing-masing. Generasi muda kini memiliki lebih banyak peluang untuk berkontribusi dan mempengaruhi perubahan sosial dan politik yang lebih baik.

Kesimpulannya, preseden Kaesang memberi generasi muda banyak peluang untuk mewujudkan impian yang lebih baik dan menggairahkan. Generasi muda dapat berperan sebagai agen perubahan dan berkontribusi terhadap masa depan bangsa dan negara yang lebih baik dengan diingatkan akan kebebasan dan tanggung jawab individu dalam memilih partai politiknya serta terinspirasi untuk tidak menyerah pada tekanan dan pembatasan yang ada.

Satu hal lagi sebagai catatan saya: sangat boleh jadi, dalam pikiran Kaesang, partai politik yang menjadi afiliasi keluarganya ia nilai “masih dalam perjuangan” untuk mengimplementasikan demokrasi yang lebih dari sekadar demokrasi prosedural: demokrasi substantif.

Saya baru tau arti nama dari Kaesang..😁
Saya suka mengikuti podcastnya PDP. Tokoh tokoh politik di udang ke dalam podcast tak terkecuali juga capres. Obrolan santai ringan dengan bumbu roasting dari Kiki Saputri membuat obrolan sangat menarik.

Secara umum Kaesang masih sangat muda, sekitar 22th. secara pengalaman masih jauh di banding dengan kakak kakaknya, namun saya salut dengan keputusan politiknya yg berani. Apalagi menerima jabatan sebagai Ketum PSI. Selamat berproses semoga kelak menjadi penerus sang bapak.

Dear Mas James,

Koreksi data, sebagaimana saya tulis, usia Kaesang Pangarep 28 tahun, bukan 22 tahun. Ia lahir 25 Desember 1994 – persis pada Hari Raya Natal – dan menikah pada 10 Desember 2022 lalu.
Menurut hemat saya, usia bukan ukuran, kecuali sebelum balita (bayi lima tahun); dan tak terlalu ada kaitan antara usia dan pengalaman.
Lebih banyak orang berusia yang tidak berproses “menjadikan ‘yang belum merupakan alamnya’ menjadi ‘alamnya’” alias tidak mendayagunakan usianya untuk “meng-alam-i”.
Saya setuju bahwa ia “membuat keputusan politik” dan tidak sekadar “mengambil keputusan politik” melalui sambutan atas jabatannya sebagai Ketua Umum PSI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *