Categories
Begini Saja

Character Assassination

Richard R. Lau dan David P. Redlawsk dalam buku mereka berjudul “How Voters Decide: Information Processing during Election Campaigns[1] meneliti bagaimana pembunuhan karakter (character assassination) dapat mempengaruhi pemilih dalam mengambil keputusan politik. Mereka mendapati bahwa pembunuhan karakter dapat mempengaruhi opini pemilih, terlepas apakah informasi negatif tersebut akurat atau tidak. Namun, Lau dan Redlawsk juga mencatat bahwa efek pembunuhan karakter dapat berkurang jika pemilih sudah memiliki keyakinan yang kuat terhadap kandidat yang mereka dukung.

Analisis psikologi politik tentang kecenderungan tim sukses untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap kandidat lawan adalah suatu strategi yang umum digunakan dalam kampanye politik. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi popularitas atau kredibilitas yang dimiliki oleh kandidat lawan di mata para pendukungnya, sehingga mereka beralih mendukung kandidat yang sedang disokong oleh tim sukses tersebut.

Pertama-tama, pembunuhan bertujuan untuk merusak citra atau reputasi kandidat lawan dengan melekatkan label negatif pada dirinya. Tim sukses bisa menggunakan berbagai strategi, seperti menyebarkan informasi palsu, memperbesar kesalahan yang pernah dilakukan, atau memanfaatkan aksi atau ucapan kontroversial dari masa lalu kandidat lawan. Para pendukung kandidat lawan yang terpapar pembunuhan karakter ini mungkin akan meragukan kepercayaan mereka terhadap kandidat lawan, dan tidak akan melihatnya sebagai calon yang layak untuk dipilih.

Namun, peluang sukses pembunuhan karakter dalam meraih dukungan sangat bergantung pada beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah kredibilitas pihak yang menyebarkan informasi negatif tersebut. Jika tim sukses yang melakukan pembunuhan karakter tidak memiliki kredibilitas yang tinggi di mata publik, maka pendukung kandidat lawan mungkin akan meragukan kebenaran informasi yang mereka terima.

Selain itu, psikologi politik juga menunjukkan bahwa pembunuhan karakter dapat menguatkan polarisasi di kalangan pemilih. Dalam sebuah kampanye politik, pendukung setia kandidat biasanya memiliki pandangan politik yang sangat kuat dan tidak mudah berpindah dukungan. Ketika mereka melihat pembunuhan karakter terhadap kandidat yang mereka dukung, hal ini mungkin hanya akan menguatkan keyakinan mereka dan membuat mereka semakin memperkuat dukungan mereka terhadap kandidat tersebut. Jadi, peluang sukses pembunuhan karakter tergantung pada seberapa besar pemilih mereka terpengaruh oleh strategi ini.

Pilihan Strategi

Alasan teoritik dan empirik mengapa tim sukses dari paslon capres-cawapres menggunakan pembunuhan karakter terhadap kandidat lawan dalam kampanye politik dapat bervariasi tergantung pada konteks dan situasi tertentu. Secara umum, terdapat beberapa faktor yang mungkin memengaruhi keputusan tim sukses untuk menggunakan strategi ini.

Pertama, karena keputusasaan (Desperation). Dalam beberapa kasus, keputusan untuk menggunakan pembunuhan karakter dapat timbul dari keputusasaan. Tim sukses mungkin merasa bahwa lawan politik mereka memiliki keunggulan atau popularitas yang sulit untuk dikalahkan secara langsung melalui kampanye politik biasa. Oleh karena itu, mereka memilih strategi pembunuhan karakter sebagai upaya terakhir untuk merusak citra dan reputasi kandidat lawan, dengan harapan dapat mengubah opini dan sikap pendukungnya.

Kedua, karena rasionalitas (Rationality). Di sisi lain, keputusan untuk menggunakan pembunuhan karakter juga bisa dipandang sebagai tindakan yang rasional. Tim sukses mungkin percaya bahwa dengan merusak citra dan reputasi kandidat lawan, mereka dapat mengurangi popularitas dan dukungan yang dimiliki oleh kandidat tersebut. Dengan demikian, mereka berharap dapat mempengaruhi pemilih, terutama pendukung kandidat lawan, agar beralih mendukung paslon yang mereka sokong.

Namun, perlu diingat bahwa kedua alasan tidak selalu menjadi landasan keputusan tim sukses secara eksklusif. Terdapat kemungkinan adanya beberapa faktor tambahan atau distorsi yang memengaruhi pemilihan strategi character assassination, seperti:

Pertama, adanya Personal Handicap yang mempengaruhi internal di dalam tim sukses, terutama kelemahan individu dalam tim ketika membuat keputusan. Jika salah satu anggota tim sukses memiliki kecenderungan untuk melakukan pembunuhan karakter atau memiliki pemahaman yang kurang benar tentang etika politik, maka hal ini dapat memengaruhi keputusan tim secara keseluruhan.

Kedua, fenomena Groupthink, yakni fenomena di mana anggota tim dalam proses pengambilan keputusan mengabaikan keragaman pendapat dan cenderung mencapai konsensus tanpa secara kritis mengevaluasi ide-ide alternatif. Jika tim sukses mengalami gejala groupthink, ini dapat menekan kemampuan mereka untuk mempertimbangkan secara kritis strategi lain yang lebih konstruktif atau beretika, mengarah pada keputusan untuk melakukan pembunuhan karakter sebagai cara yang dianggap paling mudah dan efektif.

Efektivitas

Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa serangan pembunuhan karakter yang dilakukan oleh tim sukses paslon capres-cawapres kadang-kadang dapat mengakibatkan kenaikan elektabilitas kandidat lawan yang diserang. Meskipun ini tidak berlaku untuk semua situasi.

Pertama, simpati publik. Serangan pembunuhan karakter yang terlalu agresif dan sering tanpa empati malahan dapat memicu simpati publik terhadap kandidat yang diserang. Pemilih mungkin merasa bahwa serangan semacam itu tidak adil, tidak bermoral, atau mencerminkan ketidakmampuan tim sukses untuk menyajikan argumen dan gagasan yang substansial. Akibatnya, pemilih dapat menganggap kandidat yang diserang sebagai korban, dan ini menguatkan loyalitas mereka terhadapnya.

Kedua,  terjadi Efek Balik (Backlash Effect). Pemilih mungkin menilai serangan pembunuhan karakter sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang lebih substansial atau kelemahan yang dimiliki oleh paslon yang menyerang. Ketika pemilih merasa bahwa serangan tersebut tidak adil atau manipulatif, mereka mungkin malahan memberikan reaksi balik dengan meningkatkan dukungan mereka terhadap kandidat yang diserang.

Ketiga, identifikasi dengan kandidat. Serangan pembunuhan karakter yang terlalu agresif atau tidak bermoral juga dapat menghasilkan identifikasi pemilih dengan kandidat yang diserang. Pemilih mungkin merasa bahwa mereka memiliki kesamaan nilai atau pengalaman dengan kandidat yang diserang, dan oleh karena itu, mereka menjadi lebih terikat secara emosional dan cenderung untuk mendukungnya.

Selain ketiga efek, ada sisi lain yang perlu dicermati oleh pihak kandidat lawan yang mengalami durian runtuh dari pembunuhan karakter yang diterpakan terhadap mereka. Meskipun serangan pembunuhan karakter dapat meningkatkan elektabilitas kandidat lawan dalam jangka pendek, belum tentu hal tersebut akan berlanjut hingga hari pemilu. Kenaikan elektabilitas yang timbul sebagai respons terhadap serangan tersebut mungkin bersifat sementara dan tidak menjadi perolehan voter yang langgeng. Ini karena pemilih dapat saja terpengaruh oleh berbagai faktor selama masa kampanye, termasuk tema-tema kampanye, performa debat, dan peristiwa terkini yang dapat mempengaruhi opini dan keputusan mereka.

Selain itu, pembunuhan karakter dapat memengaruhi opini pemilih yang belum mengenal kandidat dengan sangat baik. Namun, pemilih yang telah memiliki keyakinan politik yang kuat atau mendukung kandidat dengan setia mungkin akan cenderung mempertahankan dukungannya terlepas dari serangan yang dilakukan oleh tim sukses paslon capres-cawapres.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.


[1] Richard R. Lau, & David P. Redlawsk, diterbitkan Cambridge University Press, 2006. Online publication date: September 2012, DOI: https://doi.org/10.1017/CBO9780511791048

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

12 replies on “Character Assassination”

Taktik GaMa menyerang kebijaksanaan Jokowi, mampu menurunkan elektabilitas GaMa, menaikan elektabilitas PraGi

Amarah Megawati lebih disebabkan oleh perginya Jkw dari PDIP (ada rasa takut kalah di 2024)

Komentar Bapak singkat, padat tetapi berat. Bolehkan saya menanggapi.

Sulit untuk membantah bahwa serangan pasangan GaMa atas kebijaksanaan Jokowi dapat menurunkan elektabilitas mereka. Serangan tersebut dapat memicu salah satu respons dari pendukungnya dan pemilih yang tidak setuju dengan strategi tersebut, yang dapat menggeser dukungan dari GaMa ke kandidat lain seperti PraGi.

Jika serangan terhadap Jokowi tidak dipandang sebagai perdebatan politik yang logis, tetapi sebagai taktik pemecah belah atau pembentukan persepsi negatif secara tidak adil, maka publik bisa jadi malah semakin solid mendukung GaMa. Selain itu, faktor lain seperti agenda kampanye, pesan yang disampaikan, dan isu-isu utama yang diangkat juga dapat mempengaruhi turunnya elektabilitas pasangan GaMa atau sebaliknya naiknya elektabilitas PraGi.

Terkait amarah Megawati yang diasumsikan karena Jokowi meninggalkan PDIP, jika yang digunakan adalah analisis psikologi politik, maka yang sebenarnya terjadi adalah dinamika yang kompleks dalam politik identitas dan afiliasi partai. Namun, perlu dicatat bahwa reaksi emosional tunggal tidak selalu mencerminkan pola pemilihannya, dan faktor-faktor lain seperti keyakinan ideologis, isu-isu politik utama, dan tawaran pihak lain juga dapat memengaruhi dukungan publik.

Meskipun ada kemungkinan bahwa menyerang kebijaksanaan Jokowi dapat menurunkan elektabilitas GaMa dan amarah Megawati disebabkan oleh kepergian Jokowi dari PDIP, terdapat pula faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi dinamika dukungan elektoral yang lebih luas. Marilah kita antisipasikan dengan kepala dingin.

Analisa teori yang menginspirasi bahwa pembunuhan karakter memang dapat muncul di peristiwa kampanye.
Kajian teoritis di atas juga memberikan pemikiran bahwa dalam waktu kampanye seyogianya yang dikedepankan adalah penjelasan program aksi ketika memimpin menjadi presiden dan wakil presiden.
Adapun uraian penjelasan program aksi dapat mencakup informasi dasar hukum, waktu, sumber dana, pelaksanaan, dan evaluasi serta pertanggungjawaban.
Sehingga ketika kita masyarakat mendapat uraian demikian akan memberikan keputusan yang rasional realistis.

Terima kasih, Mas Sugeng.

Sebagaimana yang Anda aksentuasikan, penting untuk menekankan penjelasan program aksi dalam kampanye politik untuk memfasilitasi pengambilan keputusan yang rasional dan realistis oleh masyarakat.

Dengan menyediakan informasi yang jelas tentang dasar hukum, waktu, sumber dana, pelaksanaan, evaluasi, dan pertanggungjawaban program, calon pemimpin dapat membangun kepercayaan dan kredibilitas mereka di mata pemilih. Hal ini dapat mempromosikan partisipasi publik yang berdasarkan pemahaman yang lebih baik tentang rencana dan janji calon pemimpin, dan bukan tergantung pada karakterisasi dan serangan pribadi yang dapat mengalihkan perhatian dari substansi politik.

Dengan demikian, kampanye yang fokus pada penjelasan program aksi dapat membantu menciptakan lingkungan politik yang lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat dan keputusan yang lebih rasional.

Kebenaran teori dapat diverifikasi setelah hasil resmi Pilpres 2024 diumumkan, tentu sedapat mungkin dengan mempertimbangkan alternatif yang disampaikan di atas sebelum kesimpulan verifikasi itu dibuat.

Terima kasih Dr. Lerbin Aritonang,

Saya sepemahaman dengan Anda bahwa kebenaran teori Richard R. Lau dan David P. Redlawsk (2006) tentang character assassination ketika diterapkan dalam konteks Pilpres Indonesia 2024 baru dapat diverifikasi setelah hasil resmi Pilpres 2024 diumumkan; meskipun teori tersebut telah mempertimbangkan alternatif yang disampaikan di atas sebelum kesimpulan verifikasi itu dibuat.

Dalam perspektif psikologi politik, teori Richard R. Lau dan David P. Redlawsk tentang character assassination dapat memberikan panduan analitis yang bermanfaat dalam memahami fenomena yang mungkin terjadi dalam konteks Pilpres Indonesia 2024.

Teori tersebut mengakui adanya kemungkinan alternatif yang dapat mempengaruhi hasil verifikasi karakterisasi politik dalam kampanye. Dengan mempertimbangkan alternatif-alternatif tersebut, hasil resmi Pilpres 2024 kemudian bisa digunakan sebagai titik verifikasi untuk melihat sejauh mana strategi character assassination terjadi dan efeknya terhadap hasil pemilihan.

Penting untuk memahami bahwa teori tersebut tidak dapat memberikan kepastian mutlak tentang penyebab dan akibat dalam konteks Pilpres 2024. Namun, teori ini dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika serangan karakter dan dampaknya dalam konteks politik, yang dapat digunakan sebagai landasan untuk menginterpretasi hasil pemilihan.

Dengan mempertimbangkan penjelasan alternatif, termasuk faktor-faktor seperti program aksi, pendekatan kampanye, dan reaksi publik terhadap serangan karakter, hasil pemilihan yang dipastikan dapat memberikan indikasi tentang sejauh mana strategi tersebut berhasil atau tidak dalam memengaruhi preferensi pemilih.

Terima kasih atas uraian tentang Pembunuhan Karakter yang disampaikan. Saya dapat memahami uraian tersebut. Saya mengamati, ada karakter bikinan atau yang sengaja dibuat untuk mendapat umpan balik, “bad news is good news” untuk memperoleh simpati, agar dapat menaikkan popularitas atau menaikkan survai yang sudah direncanakan hasilnya. Maka perlu eksplorasi terhadap karakter yang sesungguhnya dari para kandidat, sehingga pemilih tidak keliru memilih salah satu pasangan, agar pilihan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Saudara Basuki Ismail,

Terima kasih Anda telah menarik konklusi atas artikel ini. Anda melihat pentingnya mengeksplorasi karakter yang sesungguhnya dari para kandidat untuk memastikan bahwa pemilih dapat membuat keputusan yang rasional dan mempertanggungjawabkan dalam memilih pasangan capres-cawapres.

Strategi character assassination dapat mengaburkan pandangan pemilih mengenai karakter asli para kandidat dan mempengaruhi preferensi mereka berdasarkan serangan pribadi yang tidak relevan. Oleh karena itu, pemilih perlu memiliki akses terhadap informasi yang objektif dan terpercaya mengenai karakter, nilai-nilai, kapabilitas, dan rekam jejak para kandidat agar mereka dapat membuat evaluasi yang akurat dan rasional dalam memilih calon pemimpin.

Penjelasan mengenai karakter sejati dari para kandidat juga penting agar mencegah pemilih terjebak dalam persepsi yang bias atau manipulasi informasi yang dilakukan oleh tim pemenangan. Dengan pemahaman yang lebih holistik tentang karakter dan integritas calon, pemilih memiliki kesempatan untuk mengevaluasi calon berdasarkan kecocokan nilai, visi kepemimpinan, dan kompetensi mereka dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan.

Hal ini akan membantu pemilih dalam membuat keputusan yang lebih informan dan transparan, serta dapat mempertanggungjawabkan pilihannya secara rasional dalam upaya mendorong terpilihnya pemimpin yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat.

Kampanye negatif (negative campaign-menyampaikan fakta ttg kelemahan lawan) lazim dilakukan dalam komunikasi politik secara terbuka (siapa pelaku/penyerangnya). Yang banyak terjadi adalah black campaign (fitnah, tanpa bukti) dilakukan oleh anonim di media sosial. Efek dari keduanya a.l. tergantung pd literasi warga/pemilih atas isu tersebut.

Dr. Phil. Lukas S. Ispandriarno,

Terima kasih telah singgah dan pemberian ulasannya.

Anda mengingatkan bahwa kampanye negatif (negative campaign), yakni menyampaikan fakta tentang kelemahan lawan lazim dilakukan dalam komunikasi politik secara terbuka, di mana jelas siapa pelaku dan siapa penyerangnya. Yang banyak terjadi adalah black campaign (fitnah, tanpa bukti) dilakukan oleh anonim di media sosial. Efek dari keduanya tergantung pada literasi warga/pemilih atas isu tersebut.

Saya sepemahaman bahwa black campaign di media sosial cenderung dilakukan oleh anonim, di mana penyebar informasi fitnah atau disinformasi bersembunyi di balik akun palsu atau tanpa mengungkap identitas mereka. Terutama dengan perkembangan teknologi dan anonimitas yang diberikan oleh media sosial, individu atau kelompok dapat dengan mudah menyebarkan narasi negatif secara tidak bertanggung jawab tanpa harus mempertanggungjawabkan aksi mereka. Hal ini memungkinkan penyebaran pesan negatif yang merusak karakter atau reputasi seseorang dengan sedikit atau tanpa bukti yang jelas.

Dalam menghadapi disinformasi dan black campaign yang dapat mempengaruhi pemilihan, Bawaslu dapat mengambil beberapa langkah selama masa kampanye.

Pertama, Bawaslu dapat meningkatkan pemantauan terhadap media sosial dan internet untuk mendeteksi dan menangani konten yang berpotensi merugikan atau menyebarluaskan informasi palsu.
Bawaslu juga dapat meningkatkan edukasi dan literasi pemilih, menggalakkan kampanye “notifikasi dan verifikasi” untuk mendorong pemilih agar skeptis terhadap informasi yang muncul di media sosial, serta memberikan informasi yang akurat dan faktual tentang kandidat dan isu-isu politik.
Selain itu, Bawaslu dapat bekerja sama dengan platform media sosial dan agensi lainnya untuk mengatasi akun palsu, penyebaran konten palsu, dan kampanye negatif yang melanggar aturan dan etika kampanye.
Melalui pengawasan yang ketat dan partisipasi aktif dari seluruh pihak terkait, Bawaslu dapat meminimalkan dampak disinformasi dan black campaign terhadap integritas pemilihan dan memastikan pemilih dapat membuat keputusan yang cerdas dan berdasarkan informasi yang akurat dan jujur.

Catatan tebalnya, semua yang disebut tidak dapat dilakukan oleh Bawaslu sebagai pemegang otoritas tentang hal tersebut, jika Bawaslu terjebak menjadi partisan.

Selamat pagi, Pak Edy. Tks atas tulisannya yang bernas ini. Sangat inspiratif. Sebagai sebuah bahasan yang berfokus pada persoalan internal; yang menginti pada motif dan orientasi seorang tokoh dan kelompok, tulisan ini menurut saya sudah tepat memotret situasi masa kini kita, ketika kekuasaan tidak lagi berorientasi pada pelayanan yang senantiasa ramai diklaim.

Memang, harus diakui bahwa kekuasaan pasca-kolonisasi mempunyai jebakannya sendiri. Ia menjebak para pencari kekuasan untuk “berusaha mendapatkan dengan cara apapun kalau bisa dengan cara menjarah sekalipun berbagai sumberdaya negara secara maksimal demi kepentingan kelompok atau pribadi.” Pada titik ini, kampanye pembunuhan kharakter lawan menjadi bagian yang tidak terelakkan dari perebutan kekuasaan.

Ciri ini sangat kuat karena fanatisme para pion, yang dalam konteks feodalisme Indonesia, senantiasa dicari akarnya pada masa lalu. Politisi yang merepresentasikan sisa-sisa feodalisme masa lalu harus diakui berpeluang lebih besar untuk mendapatkan fanatisme sempit dari para pendukungnya yang mungkin rela mati demi kepentingannya.

Fanatisme sempit seperti ini hanya bisa dikikis oleh para politisi atau penguasa baru jika mereka memberikan sesuatu yang menjadi kebutuhan utama masyarakat masa kini; bukan sekedar kekuasaan tetapi uang dan lain-lain. Tanpa itu, saya cenderung meragukan efektivitasnya. Fenomena ini saya kiri menjadi akar terdalam dari jalinan rumit korupsi di negeri kita ini.

Dalam kondisi semacam ini, kampanye tanpa pembunuhan kharakter menjadi sulit terwujud. Soalnya, kekuasaan dengan seluruh perjuangan dan kerumitan rivalitasnya bukan lagi sekedar soal perjuangan untuk menjarah sumberdaya negara dan bangsa, tetapi sekaligus upaya untuk melanggengkan feodalisme masa lalu. Selama kemiskinan, kekurangan kemampuan intelektual, kurangnya akses terhadap jalinan politik masih ada di negeri ini massa yang cenderung tidak berpikir tetap berupaya mempertalikan diri dengan sebuah figur atau kelompok, karena bagaimanapun, pertalian diri ini memungkinkan mereka membayangkan hidup mereka lebih baik. Namun mereka akan putus asa taktaka tersadar bahwa kekuasaan senantiasa ditandai oleh jarak sosial.

Jarak sosial membuktikan bahwa kekuasan tidak punya intimacy, keakraban. Dia hanya memilin kepentingan, interests-nya sendiri.
Pada titik ini, saya cenderung memprediksi bahwa politik kekuasaan di Indonesia akan senantiasa mengulangi praktek pembunuhan kharakter.

Semoga cermatan saya tidak terlalu salah ya. Wassalam.

Pak Jacobus yang senantiasa reflektif dan tajam.

Terima kasih atas pengayaan gagasan atas artikel tersebut sehingga tidak berlebihan kalau tanggapan Pak Jacobus layak dan utuh sebagai satu tesis tentang kondisi politik kekinian kita via fenomena pembunuhan karakter.

Perkenankan saya mengunyah dan menarik benang merah.

Pertama, Anda menulis, kekuasaan tidak lagi berorientasi pada pelayanan, namun terjebak dalam praktek menjarah sumberdaya negara dan melibatkan kampanye pembunuhan karakter lawan sebagai bagian dari perebutan kekuasaan. Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa politisi di Indonesia memiliki motivasi yang lebih condong pada kepentingan kelompok atau pribadi daripada melayani masyarakat secara keseluruhan.

Kedua, Anda mengidentifikasi adanya ciri kekuasaan dalam konteks feodalisme Indonesia dengan fanatisme para pion politik. Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa politisi yang merepresentasikan sisa-sisa feodalisme masa lalu cenderung memiliki pendukung yang fanatik, yang mungkin rela melakukan tindakan ekstrem demi kepentingan politisi tersebut.

Ketiga, Anda menunjukkan adanya fanatisme sempit para pendukung politisi yang bisa dikikis dengan memberikan sesuatu yang menjadi kebutuhan utama masyarakat saat ini, seperti uang. Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa politisi atau penguasa baru dapat mengurangi fanatisme sempit pendukung mereka dengan memberikan insentif materi untuk mempertahankan kekuasaan mereka, yang sebelumnya hanya berfokus pada perjuangan untuk menjarah sumberdaya negara.

Keempat, Anda menengarai bahwa kekuasaan saat ini bukan hanya tentang menjarah sumberdaya, tetapi juga tentang upaya untuk melanggengkan feodalisme masa lalu. Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa kekuasaan di Indonesia memiliki tujuan yang lebih mendalam daripada konsep konvensional, yaitu mempertahankan dan memperluas sistem kekuasaan yang berakar dari masa lalu.

Kelima, menurut pemetaan Anda, kemiskinan, kekurangan kemampuan intelektual, dan kurangnya akses terhadap jalinan politik masih ada di Indonesia, sehingga massa masih mempertalikan diri dengan figur atau kelompok tertentu. Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa tingkat kesadaran politik dan partisipasi masyarakat masih rendah, dan mereka masih bergantung pada figur atau kelompok sebagai penyelesaian bagi kondisi hidup mereka.

Kalau disimpulkan lebih jauh, politik kekuasaan di Indonesia memiliki kompleksitas dan tantangan tersendiri. Inilah isu utama yang perlu diatasi, seperti penyalahgunaan kekuasaan, fanatisme, kemiskinan, kurangnya akses politik, dan kurangnya kesadaran politik masyarakat. Dengan demikian, upaya perbaikan dan pembenahan yang komprehensif diperlukan untuk mengatasi praktek-praktek yang negatif dalam politik kekuasaan di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *