Fenomena yang terjadi dalam contoh kasus berikut berkaitan dengan konsep-konsep psikologi kepemimpinan dan pengambilan keputusan, seperti “favoritisme”, “kesalahan atribusi”, dan “kognisi yang dipengaruhi oleh kekuasaan”. Penulis lebih suka cenderung menyebutnya sebagai “Efek Anak Sulung”. Fenomena ini mengacu pada kecenderungan pemimpin atau otoritas untuk mendiskreditkan atau mengabaikan “anak sulung” atau individu yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang lebih tinggi dalam hal suksesi atau pemimpinan.
Contoh 1: Seorang raja dengan dua putra mengecam dan mendiskreditkan putra sulung di depan publik seraya memuji dan mempromosikan putra kedua untuk menjadi penerus tahta, tetapi rakyat malahan memberontak dan mendaulat si sulung sebagai penerus tahta.
Contoh 2: Seorang wirausahawan sukses suatu perusahaan keluarga tiga generasi tidak ingin mewariskan perusahaannya ke salah satu anggota keluarga, tetapi malahan mempromosikan salah seorang anggota organisasi senior untuk menjadi memimpin perusahaan dengan alasan bahwa salah satu anaknya telah berhasil mendirikan perusahaan baru dan menjadi pesaing perusahaan keluarga tersebut.
Contoh 3: Pemimpin partai sebuah partai politik menolak mentah untuk mempromosikan salah seorang anggota partai yang dalam survei memiliki elektabilitas tinggi untuk mengikuti kontestasi pemilihan presiden dan lebih memilih anggota partai yang lain yang dianggap lebih setia dan bisa dikendalikan oleh pemimpin partai.
Dalam studi psikologi politik dan kepemimpinan, ‘efek anak sulung’ di mana pemimpin membuat keputusan yang tidak selaras dengan keinginan atau kebutuhan kelompok yang mereka pimpin dan berakhir dengan hasil yang kontraproduktif atau negatif bisa dijelaskan melalui beberapa konsep dan teori.
Salah satunya adalah ‘Groupthink‘, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh psikolog Irving Janis pada tahun 1972. ‘Groupthink‘ mengacu pada situasi di mana keinginan untuk keseragaman dalam kelompok dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang buruk karena kelompok tersebut menekan perbedaan pendapat, mengritik gagasan baru, dan mengisolasi diri terhadap informasi dari luar. Meskipun ini lebih pada dinamika kelompok, mekanisme ini dapat terjadi dalam struktur hierarki di mana sang pemimpin mempunyai kontrol kuat atas anggotanya dan mencegah perbedaan pandangan.
‘Efek anak sulung’ juga mungkin terkait dengan konsep ‘Overconfidence Bias‘, di mana pemimpin terlalu percaya diri dalam kemampuan mereka sendiri dan keputusan mereka sehingga tidak mempertimbangkan informasi yang bertentangan atau risiko yang ada. Ini bisa berujung pada kegagalan karena pemimpin tidak dengan akurat menilai situasi. Selain itu, konsep ‘Authoritarian Personality‘ dapat menjadi relevan. Ini merujuk pada kepribadian individu yang cenderung menunjukkan ketaatan absolut kepada otoritas dan mendukung tindakan represif terhadap subordinat atau anggota kelompok yang tidak patuh. Pemimpin dengan tipe kepribadian ini mungkin menolak saran atau kritik dan sebagai akibatnya, membuat pilihan yang tidak selaras dengan keinginan atau kebutuhan anggota atau pendukung.
Konsep lain yang dapat menjelaskan ‘efek anak sulung’ yaitu ‘Confirmation Bias‘, yaitu kecenderungan untuk mencari, memilih, atau menafsirkan informasi yang mengonfirmasi keyakinan yang sudah ada sebelumnya. Pemimpin yang mengalami bias konfirmasi sering kali mengabaikan informasi yang bertentangan dengan pandangan mereka dan hanya memperhatikan informasi yang mendukung pandangan mereka. Ini dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang buruk karena tidak semua informasi yang relevan dipertimbangkan.
Tak mengherankan, secara spesifik ‘efek anak sulung’ adalah suatu bentuk lain dari ‘Nepotism‘ atau ‘Cronyism‘, di mana pemimpin memberikan favoritisme kepada kerabat atau orang yang dekat dengannya daripada memilih individu yang paling berkualitas atau paling populer di mata publik atau anggota kelompok.
Yang menarik, tuduhan “melakukan nepotisme atau kolusi” sering digunakan oleh pihak/kubu yang secara inheren memberlakukan praktik tersebut kepada pihak/kubu lawan yang dianggap sebagai ancaman yang dapat mengalahkan mereka. Hal ini terkait dengan konsep pertahanan diri yang disebut “proyeksi”. Dalam proyeksi, individu cenderung mengatribusikan sifat, niat, atau perilaku yang tidak disukai pada orang lain agar dapat membersihkan diri mereka sendiri dari tanggung jawab atau mengalihkan kritik yang ditujukan kepada mereka.
Dalam konteks politik, dengan menuduh pihak lawan melakukan nepotisme atau kolusi, pihak yang menuduh merasa lebih mampu menyalahkan lawan politik mereka, sedangkan mereka sendiri mengabaikan atau menghindari pengakuan terhadap praktik yang sama yang mereka terapkan. Hal ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian dan melindungi diri mereka sendiri dari penyelidikan atau kritik yang mungkin dilakukan oleh pihak lain.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
3 replies on “Efek Anak Sulung”
Terima kasih mas Edy ini materi yg baru bagi saya
Menarik untuk melakukan elaborasi pernyataan Mas Edy bahwa ‘efek anak sulung’ adalah suatu bentuk lain dari ‘Nepotism‘ atau ‘Cronyism’, di mana pemimpin memberikan favoritisme kepada kerabat atau orang yang dekat dengannya daripada memilih individu yang paling berkualitas atau paling populer di mata publik atau anggota kelompok.
Uraian diatas membuat saya membayangkan apakah ada pemimpin yang dapat benar-benar memilih yang tidak ia kenal, memang pembeda yang jelas yaitu pribadi yang berkualitas. Tetapi bagaimana kalau pribadi yang berkualitas dan dikenal publik adalah kerabat atau individu yang dikenal pemimpin?
Saya berpendapat dengan imajinasi bahwa seorang pemimpin parpol, misal sebagai contoh: Hary Tanoesudibyo (Partai Perindo), melakukan kesempatan kaderisasi yang sama bagi putra putrinya dan anggota partai perindo lainnya dengan tujuan memberikan bekal keterampilan komunikasi dan strategi dalam merumuskan kebijakan.
Ditunjang dengan memberikan kesempatan berinteraksi langsung dari jenjang paling awal bertahap sampai ke jajaran pengurus pusat.
Sehingga ketika telah melewati dan merasakan dari level awal sampai Pusat akan membuat semakin berkualitas pemimpin berikutnya.
Bisa jadi pendapat saya masih dapat didiskusikan dengan perspektif lain.
Mas Sugeng, terima kasih poin diskusinya.
Konsep “efek anak sulung” yang saya kaitkan dengan nepotisme atau kronisme memang dapat dipandang sebagai praktik yang tidak ideal dalam kepemimpinan politik. Pandangan umum masyarakat cenderung menganggap bahwa pemimpin yang memberikan favoritisme kepada kerabatnya daripada memilih individu yang paling berkualitas atau populer di mata publik adalah praktik yang tidak adil dan merugikan. Namun, dalam realitas politik, seringkali individu yang berkualitas dan dikenal publik justru berasal dari lingkaran kerabat atau orang terdekat sang pemimpin. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kompleksitas dalam menilai apakah suatu praktik kepemimpinan dapat dikategorikan sebagai nepotisme atau bukan. Aspek-aspek seperti transparansi proses kaderisasi, penilaian kemampuan yang objektif, dan manfaat yang diberikan kepada publik perlu menjadi pertimbangan dalam mengevaluasi praktik tersebut.
Dalam kasus yang Anda paparkan mengenai kaderisasi yang dilakukan oleh Partai Perindo, dapat dilihat sebagai upaya untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin yang berasal dari internal partai, termasuk kerabat atau orang terdekat pemimpinnya. Jika proses kaderisasi tersebut dilakukan secara terbuka, transparan, dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua anggota partai, maka praktik ini dapat dipandang sebagai bentuk pembangunan kepemimpinan yang berkelanjutan, bukan semata-mata nepotisme. Pendekatan ini dapat membangun loyalitas dan kapabilitas calon-calon pemimpin yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi konstituennya kelak. Namun, tetap penting untuk mempertahankan meritokrasi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan politik.