Categories
Begini Saja

Pergeseran Pemenang Paslon Pasca-PSU

Pemilu presiden tahun 2024 diwarnai dengan kejadian yang mengejutkan. Pemungutan suara ulang (PSU) yang dilakukan di TPS 32 Pakuncen, Wirobrajan, Kota Yogyakarta, DIY menghasilkan perubahan drastis dalam hasil suara. Pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, mampu menjadi peraih suara terbanyak (49/98 – dari sebelumnya 55/144 suara).

Hal ini menjadi sorotan publik karena hasil penghitungan riil pada 14 Februari 2024 menunjukkan dominasi dari pasangan calon Ganjar Pranowo-Mahfud MD (72/144 yang menciut ke 35/98 per 24/02/24). Dengan demikian perbandingan proporsi antara hasil pemungutan suara 14/02/24 dan PSU 24/02/24 untuk ketiga paslon capres-cawapres di TPS 32 Pakuncen, Wirobrajan, Kota Yogyakarta, DIY adalah sebagai berikut:

  1. Pasangan nomor urut 01 bergeser dari 12% ke 15%;
  2. Pasangan nomor urut 02 bergeser dari 38% ke 50% suara;
  3. Pasangan nomor urut 03 bergeser dari 50% ke 36% suara.

Dari Statistik ke Psikologi Politik

Dari perspektif statistik, perubahan drastis dalam hasil suara menunjukkan pergeseran pemilih yang signifikan. Meningkatnya suara untuk pasangan nomor urut 02 dari 38% ke 50% pada PSU mengindikasikan bahwa setengah dari pemilih TPS tersebut memilih pasangan tersebut, yang merupakan peningkatan yang signifikan dibandingkan penghitungan sebelumnya. Pasangan nomor urut 01 mengalami peningkatan yang lebih kecil, dari 12% ke 15%, sementara pasangan nomor urut 03 mengalami penurunan yang paling besar, dari 50% ke 36%.

Dalam Psikologi Politik, perubahan preferensi pemilih ini DAPAT DIANGKAT MENJADI Studi Kasus yang mendasarkan pada beberapa faktor teoretik.

Pertama, Efek Pemungutan Suara Ulang (PSU) itu sendiri. Terkait hal ini bukan merupakan konklusi yang serampangan untuk mengatakan bahwa PSU adalah tindakan yang tautologik, yakni tindakan yang secara substansial tidak memberikan informasi baru atau benar-benar berguna karena mengulang kembali atau mengulang apa yang telah dikerjakan sebelumnya. Tindakan tautologik menghadirkan pengulangan yang tidak perlu dan tidak memberikan informasi baru yang signifikan bahkan perlu dihindari karena dianggap sebagai perulangan yang dapat membingungkan atau memboroskan waktu dan sumber daya.

Dalam hal PSU, pengumuman PSU mungkin telah mengubah persepsi keadilan atau legitimasi proses elektoral, yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih. Jika pemilih merasa bahwa PSU adalah respons terhadap adanya ketidakadilan atau kesalahan pada perhitungan sebelumnya, mereka mungkin cenderung berpartisipasi dengan lebih aktif dan mungkin berubah pendirian sebagai bentuk protes atau dukungan terhadap sistem.

Kedua,Dinamika Kampanye. Periode antara pemungutan suara pertama dan PSU bisa dimanfaatkan oleh kampanye calon-calon untuk memperkuat pesan mereka atau menargetkan pemilih dengan lebih presisi. Karisma calon, pesan yang relevan dengan isu lokal, atau kegagalan pihak lain dalam mengelola isu mungkin mempengaruhi perubahan suara ini. Pasangan calon yang kalah dalam pencoblosan pertama dapat melakukan kampanye dan meluncurkan propaganda yang lebih efektif untuk mempengaruhi pemilih dalam waktu antara pencoblosan pertama dan pencoblosan ulang. Hal ini dapat menyebabkan perubahan preferensi pemilih.

Ketiga,Diseminasi Informasi. Informasi baru yang muncul di antara dua pemungutan suara dapat mengubah pandangan pemilih. Isu-isu yang mungkin awalnya tidak terlalu diperhatikan bisa menjadi pokok pembahasan yang menentukan pilihan pemilih pada saat PSU. Dalam waktu antara pencoblosan pertama dan pencoblosan ulang, pemilih memiliki kesempatan untuk mempertimbangkan kembali pilihan mereka. Pemilih yang sebelumnya memilih Paslon capres-cawapres nomor urut 03 mungkin berubah pikiran dan memilih Paslon capres-cawapres nomor urut 02.

Keempat,Efek Bandwagon. Pemilih mungkin dipengaruhi oleh tren yang terlihat dari hasil pemungutan suara awal. Mereka yang tidak ingin ‘memilih pihak yang kalah’ bisa jadi beralih dukungan ke kandidat yang tampaknya lebih populer berdasarkan hasil baru atau perkembangan politik terkini.

Kelima, Pengaruh Sosio-psikologis. Tekanan sosial, diskusi keluarga, atau pengaruh peer group juga bisa memengaruhi perubahan pilihan. Dalam lingkup yang lebih kecil seperti TPS, efek dari faktor sosial ini bisa sangat menonjol.

Keenam,Efek Polarisasi. Kadang-kadang, ketika ada pencoblosan ulang, dukungan pemilih terhadap pasangan calon menjadi lebih mengarah ke polarisasi. Dalam kasus ini, dukungan terhadap Paslon capres-cawapres nomor urut 02 mungkin saja menjadi lebih kuat atau lebih terorganisir daripada sebelumnya, sementara dukungan terhadap Paslon capres-cawapres nomor urut 03 mungkin menjadi lebih lemah.

Ketujuh,Konsistensi dan Kegigihan. Dalam beberapa kasus, pemilih yang tidak konsisten dengan pilihan awal mereka mungkin memilih untuk tidak berpartisipasi dalam PSU, atau mereka yang gigih dengan dukungan mereka mungkin diinspirasi untuk memobilisasi dukungan yang lebih besar.

Tujuh poin di atas adalah penjelasan yang dapat penulis konklusikan berdasarkan data dan literatur yang tersedia. Betapa pun, perubahan seperti ini juga memerlukan penelitian untuk mengidentifikasi adanya potensi kecurangan atau kesalahan dalam proses pemungutan suara itu sendiri. KPU dan Bawaslu sebagai pihak berwenang biasanya akan melakukan investigasi untuk memastikan integritas proses pemilihan jika ada bukti atau tuduhan manipulasi.

Perubahan dalam faktor-faktor di atas dapat menyebabkan perubahan dalam komposisi suara dan perolehan suara antara pencoblosan pertama dan pencoblosan ulang.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

6 replies on “Pergeseran Pemenang Paslon Pasca-PSU”

Biasanya PSU menghasilkan perolehan suara: yang menang bertambah dan suara yang kalah menurun. Saya amati dalam beberapa kali PSU. Sedapat mungkin dihindari PSU. Lebih baik dibatalkan hasil semua suara di TPS yang ada kecurangan, karena ada kesalahan dari Petugas TPS. Dengan ketentuan seperti ini petugas TPS menjadi hati- hati dan tidak terulang lagi untuk Pemilu di masa mendatang. Pendapat ini dapat dieksplore lagi, namun itu yang saya amati.

Saudara saya Basuki Ismail yang baik,

Terima kasih atas kesediaan membaca dan menanggapi ulasan singkat di atas.

Menurut Anda, biasanya PSU (pemungutan suara ulang) menghasilkan perolehan suara, di mana yang menang bertambah dan yang kalah menurun. Menurut Anda, sedapat mungkin PSU dihindari. Lebih baik semua hasil semua suara di TPS yang ada kecurangan dibatalkan, karena ada kesalahan dari Petugas TPS. Dengan ketentuan seperti ini petugas TPS menjadi hati- hati dan tidak terulang lagi untuk Pemilu di masa mendatang.
Saya tertarik untuk menanggapi pendapat Anda karena – sejauh dan sepanjang pengetahuan saya – pendapat tersebut mengabaikan beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengambil keputusan terkait PSU.
1. Ketidakadilan bagi pemilih. Jika semua suara di TPS yang ada kecurangan dibatalkan, maka akan ada pemilih yang tidak memiliki kesalahan dalam memberikan suara mereka namun tetap menjadi korban pembatalan suara secara keseluruhan. Hal ini bisa dianggap tidak adil bagi mereka yang memberikan suara dengan benar.
2. Hilangnya hak suara. Pembatalan suara secara keseluruhan juga berarti menghilangkan hak suara pemilih secara keseluruhan, termasuk mereka yang memberikan suara dengan benar. Ini bisa merugikan dan membuat pemilih kehilangan kepercayaan terhadap proses demokrasi.
3. Pemungutan suara ulang sebagai opsi. PSU sebenarnya merupakan solusi yang bisa dipertimbangkan dalam menjamin integritas pemilu. Meskipun PSU bisa memakan waktu dan biaya tambahan, namun jika hasil suara mencurigakan dan ada dugaan kecurangan yang signifikan, PSU bisa memberikan keadilan bagi para pemilih.

Selain ketiga gagasan yang menyanggah pendapat Anda tersebut, ada pula gagasan alternatif yang bisa dilakukan untuk meningkatkan integritas pemilu:
1. Memperkuat pelatihan petugas TPS: Memberikan pelatihan yang lebih intensif dan meningkatkan pendidikan pemilu kepada petugas TPS untuk mengurangi jumlah kesalahan yang terjadi di TPS. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik, petugas TPS akan lebih berhati-hati dan dapat menghindari kesalahan di masa mendatang.
2. Menggunakan teknologi pemilihan yang lebih canggih: Mengadopsi teknologi pemilihan seperti pemungutan suara elektronik (e-voting) yang lebih aman dan akurat. Hal ini bisa mengurangi potensi kesalahan manusia dan meningkatkan efisiensi dalam proses pemungutan suara. Opsi ini belum diambil sebagai solusi di Pilpres kali ini, (mungkin) mengingat spektrum diversitas medan dan budaya di Indonesia yang sedemikian tinggi.
3. Meningkatkan pengawasan pemilu: Memperkuat mekanisme pengawasan pemilu dengan melibatkan pihak yang independen dan terpercaya (bukan partisan). Peningkatan pengawasan ini dapat membantu mendeteksi dan mencegah kecurangan serta memberikan jaminan kepada pemilih bahwa pemilihan berjalan dengan adil dan transparan.
4. Sanksi hukum yang tegas: Memberlakukan sanksi hukum yang tegas bagi pelaku kecurangan pemilu untuk memberikan efek jera dan mendorong pemahaman akan seriusnya pelanggaran pemilu. Dengan adanya sanksi yang memadai, diharapkan kecurangan akan senantiasa dihindari.
Dengan implementasi langkah-langkah ini, diharapkan dapat meningkatkan integritas dan kepercayaan pemilih terhadap proses pemilu dan mengurangi risiko kesalahan dan kecurangan di masa mendatang. Semoga.

Menggunakan teknologi pemilihan yang lebih canggih: Mengadopsi teknologi pemilihan seperti pemungutan suara elektronik (e-voting) yang lebih aman dan akurat. Hal ini bisa mengurangi potensi kesalahan manusia dan meningkatkan efisiensi dalam proses pemungutan suara. Gagasan alternatif kedua yang Mas Edy sampaikan diatas, menarik untuk dikembangkan diskusinya, terutama pada saat-saat ini berkaitan dengan penggunaan teknologi oleh KPU dalam rangka keterbukaan publik dalam perhitungan suara yang dikenal dengan Sirekap. Yang terbaru bahwa data Sirekap menunjukkan ada kenaikan signifikan di PSI dengan Ketum putra Presiden Jokowi.
Adapun yang menarik untuk didiskusikan yaitu:
1. Apakah KPU sebagai penyelenggara pemilu dengan menggunakan teknologi perlu ada badan pengawas independen yang ketika menemukan kejanggalan dan penyalahgunaan langsung bertindak memutuskan.
2. Siapa yang layak sebagai operator teknologi tersebut agar tidak bisa diintervensi untuk diarahkan memenuhi kepentingan “kekuasaan”?
3. Metode cek dan ricek seperti apa yang perlu diterapkan agar asas pemulih luber dan jurdil bisa semakin baik terwujud.

Psu di wirobrajan ini sangat menarik, mungkin mas Edi juga bisa mengkombinasikan historis pemilih , wirobrajan yg dari dulu basis merah bisa tergerus dengan sangat luar biasa pada pemilu 2025

Mas Wisnu yang baik,
Terima kasih telah membaca dan mengomentari ulasan singkat ini.
Saya sepakat, Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang dilakukan di TPS 32 Pakuncen, Wirobrajan, Kota Yogyakarta memiliki potensi untuk menjadi topik analisis yang menarik, khususnya jika terdapat indikasi bahwa suara untuk PDIP, sebuah partai yang secara historis mempunyai dukungan kuat di wilayah tersebut, mengalami penurunan yang signifikan. Berbagai faktor potensial bisa dijelaskan dalam bentuk hipotesis tentatif (berbasis curah gagasan) mengapa fenomena ini bisa terjadi:
1. Hipotesis “Perubahan Demografis”: Mungkin terjadi perubahan dalam komposisi penduduk di Wirobrajan, yang mempengaruhi pola pemungutan suara. Misalnya, adanya migrasi penduduk yang memiliki latar belakang atau preferensi politik yang berbeda atau adanya perubahan dalam demografi (seperti usia, pendidikan, dll) yang mempengaruhi preferensi politik mereka.

2. Hipotesis “Isu Lokal yang Spesifik”: Terdapat kemungkinan bahwa isu-isu tertentu yang sangat relevan bagi pemilih di TPS 32 Pakuncen telah muncul, yang membuat pendukung tradisional PDIP beralih ke partai lain yang dianggap lebih mampu menangani isu tersebut.

3. Hipotesis “Cadangan Politik”: Kandidat-kandidat dari partai lain mungkin memiliki keterkaitan yang kuat dengan wilayah tersebut atau mungkin berhasil membangun hubungan yang lebih baik dengan pemilih, yang menjadikan mereka pilihan yang lebih menarik daripada kandidat PDIP.

4. Hipotesis “Kinerja Partai”: Kinerja PDIP secara nasional atau lokal mungkin menimbulkan kekecewaan di kalangan pemilih. Jika partai tersebut dinilai tidak memenuhi harapan atau janjinya, pemilih mungkin mencari alternatif lain.

5. Hipotesis “Kampanye Negatif”: Mungkin terjadi kampanye negatif atau black campaign yang efektif dari pihak oposisi yang berhasil mempengaruhi persepsi pemilih terhadap PDIP.

6. Hipotesis “Efek Kepemimpinan”: Perubahan dalam sikap kepemimpinan lokal PDIP atau kepemimpinan di tingkat nasional yang kontroversial dapat mempengaruhi dukungan pemilih di level lokal.

7. Hipotesis “Dinamika Pemilu”: Terjadi perubahan dalam dinamika pemilihan yang tidak terprediksi, seperti munculnya isu baru atau kejadian nasional yang besar yang berpengaruh terhadap pandangan politik pemilih.

8. Hipotesis “Fenomena Politik Nasional”: Isu nasional atau kontroversi yang melibatkan PDIP mungkin memiliki efek domino yang mempengaruhi persepsi pemilih di tingkat lokal.

9. Hipotesis “Perubahan Sentimen Pemilih”: Terjadi perubahan dalam nilai dan sentimen masyarakat Wirobrajan, dimana pemilih mungkin mencari perubahan dan tidak lagi merasa bahwa PDIP mewakili kepentingan mereka.

10. Hipotesis “Kesalahan Strategi Kampanye”: PDIP mungkin melakukan kesalahan dalam strategi atau kurang adaptif dalam menerapkan taktik kampanye yang efektif, yang membuat mereka kehilangan daya tarik di mata pemilih.

Sebagai hipotesis, ke-10 poin ini perlu diuji dengan pengumpulan dan analisis data yang lebih terperinci, meliputi survei pemilih, informasi demografis, analisis lingkungan politik lokal dan nasional, serta studi mendalam tentang trend pemilu di Wirobrajan. Berbagai faktor tersebut seringkali saling berinteraksi dan kompleksitas inilah yang menjadi alasan perubahan perilaku pemilih dalam suatu pemilu.

Semoga memantik pemikiran.

Psu dengan jeda waktu yang sangat pendek , menjadi sangat menarik, prosentasi pemilih di area tersebut dengan migrasi yg begitu drastis, saya lebih prefer pada point pertama Mas, tapi apapun ini menjadi studi kasus yang sangat menarik , matur nuwun mas Edi, saya harus banyak belajar lagi ini 😁🙏

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *