Categories
Bagaimana Kalau

Hierarki Ketidaksepakatan

Sumber: Graham’s Hierarchy of Disagreement https://en.wikipedia.org/wiki/File:Graham%27s_Hierarchy_of_Disagreement.svg.

‘Hierarki Ketidaksepakatan’ (Hierarchy of Disagreement) adalah sebuah konsep yang diusulkan oleh Paul Graham, seorang programmer, penulis, dan investor di perusahaan rintisan (startup). Konsep ini pertama kali dipublikasikan bukan dalam bentuk buku atau jurnal ilmiah, tetapi dalam sebuah esai di situs pribadinya paulgraham.com. Esai yang berjudul ‘How to Disagree’[1] ini diterbitkan pada Maret 2008.

Paul Graham mengembangkan ‘Hierarki Ketidaksepakatan’, yang menggambarkan tingkatan yang berbeda dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi dalam hal kualitas dan konstruktivitas argumen. Hal ini sebagai tanggapan atas pengamatannya tentang kualitas diskusi di internet, di mana banyak diskusi yang berakhir dengan serangan pribadi dan argumen tanpa substansi. Tujuannya adalah untuk mendorong perdebatan yang lebih sehat dan lebih produktif, dan untuk melakukannya dengan mengidentifikasi cara-cara berdebat berdasarkan logika dan bukti, bukan pada tanggapan yang tajam dan emosional.

Graham mengidentifikasi tujuh tingkatan dalam hierarki ini, mulai dari tingkat terendah yaitu serangan pribadi (pelecehan) hingga tingkat tertinggi yaitu sanggahan langsung dengan argumen yang kuat (sanggahan terhadap isu utama). Ketujuh tingkatan ini dimaksudkan untuk memandu individu agar dapat berpartisipasi dalam debat dan diskusi dengan cara yang lebih dewasa dan konstruktif.

Prinsip Ketidaksepakatan

Prinsip Paul Graham tentang ‘hierarki ketidaksepakatan’ menguraikan berbagai cara orang berbeda pendapat, dari yang primitif hingga yang beradab. Konsep ini digambarkan sebagai piramida tujuh tingkat,[2] dengan setiap tingkat menunjukkan kualitas dan validitas ketidaksepakatan.

Di bagian bawah piramida adalah ‘Mengutuk’ (Name-Calling), yang merupakan bentuk argumentasi yang paling dasar dan belum matang. Pada tingkat ini, seseorang hanya mengkritik pihak lain tanpa memberikan argumen yang substantif. Contoh sederhananya adalah “Hanya orang bodoh yang akan berpikir seperti itu”.

Naik satu tingkat, tingkat kedua adalah ‘Ad Hominem’ (Against a person rather than the position they are maintaining). Di sini, alih-alih menyerang argumen, seseorang menyerang karakter dan atribut pribadi individu yang membuat argumen. Sebagai contoh, “Tentu saja Anda akan mengatakan bahwa, Anda adalah seorang sosialis”.

Tingkat ketiga adalah ‘Tanggapan Terhadap Nada’ (Responding to Tone). Pada tingkat ini, kritik diarahkan bukan pada konten, tetapi pada cara orang tersebut menyampaikan argumen. Misalnya, “Anda terlalu emosional, jadi saya tidak bisa menerima argumen Anda dengan serius”.

Beranjak ke tengah piramida, tingkat keempat dikenal sebagai ‘Kontradiksi’ (pertentangan, persilangan). Pada tingkat ini, orang menyangkal klaim lawan tanpa memberikan bukti. Hal ini agak lebih baik, karena setidaknya ada upaya untuk berinteraksi dengan ide tersebut, meskipun tanpa bukti yang kuat. Misalnya, “Itu tidak benar”.

Tingkat kelima selanjutnya adalah ‘Sanggahan’ (Counterargument). Tingkat ini ditandai dengan penyangkalan argumen dengan menyajikan bukti atau logika. Sanggahan bersifat substantif dan langsung berinteraksi dengan poin-poin lawan. Misalnya, “Klaim Anda bahwa vaksin menyebabkan autisme tidak didukung oleh data ilmiah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara vaksinasi dan perkembangan autisme”.

Pada tingkat keenam, ada ‘Sanggahan yang merinci kekeliruan klaim lawan’ (Refutation). Ini lebih persuasif karena menjelaskan secara rinci apa yang salah dengan argumen lawan. Misalnya, “Klaim Anda bahwa gig ekonomi (sistem tenaga kerja bebas di mana perusahaan hanya mengontrak pekerja independen dalam jangka waktu pendek) menurunkan upah pekerja dapat dibantah dengan melihat data Biro Statistik Tenaga Kerja yang menunjukkan bahwa upah rata-rata meningkat”.

Di bagian puncak piramida adalah ‘Sanggahan terhadap Titik Pusat’ (Refuting the Central Point). Pada tingkat ini, argumen dikritik dengan merinci bagaimana titik pusat argumen tersebut adalah salah atau tidak valid, dan dengan secara langsung menyoroti kesalahan logika dan data yang paling serius. Misalnya, jika seseorang berargumen bahwa perubahan iklim adalah tipuan karena cuaca di tempat tinggalnya sangat dingin, maka pembaca dapat membalas, “Argumen Anda mengabaikan prinsip dasar perubahan iklim global, yang menilai tren suhu rata-rata global jangka panjang, bukannya variasi cuaca lokal jangka pendek”.

‘Pesan Sponsor’ Penulis

Konsep ‘hierarki ketidaksepakatan’ ini tidak hanya membantu mengidentifikasi cara berdebat yang tidak efektif atau tidak matang, tetapi juga memberikan panduan untuk meningkatkan kualitas debat dan menghasilkan dialog yang lebih produktif dan saling menghormati. Merangkum heading terakhir dari artikel Paul Graham, ada 7 hal yang dapat kita pelajari.

Pertama, Pentingnya Menghindari Serangan Pribadi. Salah satu pelajaran utama dari gagasan Paul Graham adalah bahwa serangan pribadi atau name-calling berada di bagian paling bawah hierarki ketidaksepakatan. Ini mengajarkan kita untuk menghindari menyerang orang secara pribadi saat berbeda pendapat. Sebaliknya, kita harus fokus pada argumen itu sendiri tanpa melibatkan emosi atau prasangka terhadap individu.

Kedua, Kritik Harus Bersifat Konstruktif. Tingkat yang lebih tinggi dalam hierarki menunjukkan pentingnya menyampaikan kritik atau keberatan dalam bentuk yang konstruktif. Merespons dengan kontra-argumen yang berbasis data atau logika, bukan emosi atau insinuasi, menghasilkan diskusi yang lebih produktif dan meningkatkan kemungkinan memahami perspektif lawan bicara.

Ketiga, Perlunya Menyelidiki Klaim. Sebelum membantah, penting untuk memverifikasi kebenaran dan konteks klaim yang dibuat. Melalui hierarki ini, kita diajarkan untuk mengevaluasi dasar argumen yang dipresentasikan, yang pada gilirannya membantu dalam membentuk respons atau kritik yang tepat dan berbasis fakta.

Keempat, Menghargai Kerapian Argumen. Menghormati argumen yang baik, walaupun kita tidak setuju dengannya, membantu menciptakan lingkungan diskusi yang lebih matang. Pengakuan terhadap kerapian dan struktur argumen orang lain menunjukkan kesiapan untuk melakukan dialog yang konstruktif.

Kelima, Penolakan Pusat Argumen. Tingkat tertinggi dari hierarki adalah menolak poin utama argumen seseorang dengan bukti atau logika yang kuat. Ini menggarisbawahi pentingnya memahami secara penuh apa yang dibahas sehingga kita bisa menawarkan balasan yang relevan dan kuat.

Keenam, Belajar Tidak Menyerah pada Emosi. Salah satu tantangan terbesar dalam debat atau diskusi adalah menjaga agar emosi tidak menguasai diri. Hierarki ketidaksepakatan mengajarkan kita bahwa argumen yang baik harus didasarkan pada logika dan bukti, bukan pada ketidaksenangan pribadi atau kegeraman.

Terlepas dari kenyataan bahwa konsep ‘hierarki ketidaksepakatan’ berasal dari sebuah esai di internet dan bukan dari buku atau jurnal formal, konsep ini telah mendapat perhatian dan pengakuan luas tidak hanya dalam komunitas online tetapi juga dalam debat akademis dan profesional mengenai retorika, komunikasi, dan debat.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.


[1] Paul Graham (2008), “How to Disagree”. Diakses 18 Maret 2024. Terdapat di https://paulgraham.com/disagree.html.

[2] Graham’s Hierarchy of Disagreement. Diakses 18 Maret 2024. Terdapat di https://en.wikipedia.org/wiki/File:Graham%27s_Hierarchy_of_Disagreement.svg

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

One reply on “Hierarki Ketidaksepakatan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *