Dalam perspektif Psikologi Politik, hoaks dapat digunakan sebagai bentuk ‘politicking’ atau pertunjukan politik untuk mencapai tujuan tertentu. Caranya adalah dengan menyebarkan informasi yang tidak akurat atau menyesatkan guna mempengaruhi persepsi publik. Ini dapat digunakan untuk menggerakkan dukungan, merusak reputasi lawan politik, atau menciptakan ketakutan atau rasa tidak aman untuk memanipulasi opini publik. Hoaks yang dirancang dengan efektif dapat mengeksploitasi bias ini dan memiliki dampak yang signifikan pada opini publik. Hoaks yang sejalan dengan pandangan politik seseorang bisa jadi diterima dan disebarluaskan walaupun tidak memiliki basis fakta yang kuat.
‘Menteri Mencekik Wamen’
Kemarin, Selasa 19 September 2023, ramai diberitakan di media sosial bahwa seorang menteri yang juga capres mencekik dan meninju Wakil Menteri Pertanian. Disebut dalam narasi sang menteri marah karena wamen pertanian tidak mendukung program food estate yang menjadi tanggung jawab menteri itu.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membantah laporan yang beredar di media sosial bahwa ia mencekik dan menampar Wakil Menteri Pertanian Harvick Hasnul Qolbi dalam sebuah acara sebelum rapat kabinet. Prabowo bahkan mengaku tidak mengenal Wakil Menteri Pertanian tersebut. Pun Presiden Jokowi membantah berita tersebut dan mengatakan bahwa isu tersebut sengaja dihembuskan di tengah iklim politik saat ini.
Namun, sering kali sulit untuk menentukan apakah suatu pernyataan atau berita adalah hoaks atau bukan, yang semakin memperumit masalah ini. Hoaks sering kali digunakan sebagai alat untuk mengubah opini dan sikap publik demi tujuan politik. Misalnya, selama masa pra-pemilu, dapat saja capres atau partai politik menggunakan hoaks untuk menurunkan citra lawan dan meningkatkan dukungan mereka.
Dalam konteks politik, hoaks juga dapat digunakan untuk memperkuat atau menghancurkan narasi. Misalnya, hoaks yang dirancang untuk memprovokasi kemarahan atau ketakutan dapat mendorong orang untuk bertindak mendukung partai politik tertentu. Selain itu, dalam dunia informasi yang chaotic, hoaks dapat digunakan untuk mengonkretkan “kebenaran lain” atau “fakta lain” yang menguntungkan partai politik yang menggunakan taktik tersebut.
Namun, perlu dicatat bahwa penggunaan hoaks sebagai alat politik tidak menjadikannya etis atau dapat diterima. Penggunaan hoaks dalam kegiatan politik adalah masalah serius yang perlu ditangani, misalnya melalui pelatihan literasi media dan digital, serta transparansi dan akuntabilitas para aktor politik.
Kemanjuran Hoaks
Dari perspektif psikologi politik, hoaks merupakan jurus yang manjur untuk merusak citra seseorang atau kelompok. Pertama, karena hoaks dapat mengubah persepsi masyarakat. Ada berbagai contoh historis di mana hoaks telah digunakan secara efektif untuk mengubah opini publik tentang orang atau isu politik tertentu. Misalnya, perdebatan politik dapat dipicu hanya dengan menyebarkan berita palsu.
Kedua, hoaks dapat meningkatkan intensitas emosional dan menciptakan polarisasi. Manusia adalah makhluk emosional dan emosi sering kali lebih kuat daripada rasionalitas. Hoaks dapat mempengaruhi emosi publik dengan membangun prasangka dan bias yang sudah ada dan mempengaruhi persepsi, misalnya, terhadap capres. Dampak emosional dari hoaks, seperti ketakutan, kemarahan, dan kebencian, dapat digunakan untuk membentuk opini negatif terhadap capres tertentu.
Ketiga, hoaks berfungsi untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu yang benar-benar penting atau kontroversial. Fungsi mengalihkan perhatian dari isu-isu ini menjadi lebih efektif dengan adanya “efek ruang gema”. Di era media sosial, hoaks dengan mudah menyebar dan berkembang di “ruang gema” (kelompok orang yang memiliki prasangka dan opini yang sama). Hal ini memperkuat dan memperluas dampak hoaks. Efektivitas dari pengalihan perhatian dalam ruang gema tersebut dilipatgandakan oleh “kredibilitas hoaks”. Banyak orang yang mempercayai hoaks karena kata-katanya sederhana dan mudah dimengerti, terutama karena rendahnya tingkat berpikir kritis.
Namun, hoaks tidak selalu menjadi alat yang efektif. Pertama, mungkin akan ada serangan balik terhadap partai, kelompok politik, atau koalisi yang melakukan hoaks, terutama jika hoaks tersebut terungkap. Hal ini dapat merusak reputasi dan citra para pelaku hoaks dan menyebabkan kerugian secara politik dan hukum. Kedua, ketidakpercayaan publik, terutama jika publik merasa ditipu atau dibohongi, dapat merusak kepercayaan terhadap sistem politik secara keseluruhan dan bahkan menimbulkan ketidakpercayaan dan apatisme terhadap proses politik. Ketiga, hoaks yang berbahaya juga dapat menimbulkan sikap negatif terhadap politik secara umum karena pandangan negatif terhadap politik terbentuk dalam jangka panjang.
Sangat penting untuk menjaga integritas proses demokrasi dengan mencegah penyebaran hoaks dan kecurangan serta menunjukkan transparansi dan kejujuran dalam semua aspek politik. Hoaks dapat digunakan sebagai taktik untuk membentuk opini publik, tetapi konsekuensi jangka panjangnya dapat merusak citra capres dan kredibilitas proses demokrasi. Karena konsekuensi negatif ini, penggunaan hoaks merupakan strategi politik yang tidak etis.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Penulis buku “Refleksi Metodologi Riset: Panorama Survey” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
4 replies on “Hoaks dan ‘Politicking’”
Lanjutkan Doktor Edy Suhardono. Saya suka dengan tulisan ringan untuk mencerdaskan bangsa. Kita lihat ke depan agar hoax berkurang. Perlu alternatif cara membuat strategi pemenangan pemilu yang elegan, baik utk pilpres atau pileg. Terima Kasih.
Terima kasih apresiasinya, Dik Bas.
Berikut tulisan lain tentang hoaks:
1. http://soalsial.com/hoax-dan-budaya-massa/?fbclid=IwAR0IPZ1PHC84JdKdazxgJMUxTmbwY2BmJj-0WJKw8uOoQgLjo_yNtdZmgLM
2. http://soalsial.com/anosognosia-dan-penyebaran-hoax/?fbclid=IwAR0HwsfzNbvVkkgPhT7rKdBj2l7SZ23EsL9yTUQ9VdzNNkNJRK6IXAmZXgc
dan masih banyak lagi.
Manusia adalah makhluk emosional, dan emosi lebih kuat dari rasional. Ini adalah sebuah fakta yg disadari oleh pembuat hoax utk memancing emosi dari yg dituju. Seringkali kebanyakan kita, ketika mendengar adanya sebuah berita cenderung utk lebih percaya hoax daripada mengkritisi lebih dulu. Mungkin ini dipengaruhi oleh kognitif miser manusia.
Saya salut dgn salah satu channel YouTube Kanal Anak Bangsa. Kemarin dalam salah satu podcastnya menampilkan berita tentang isu ini, namun hari ini sang pemilik channel men-take downnya karena sudah ada klarifikasi dari pihak Istana. Dia berani mempertanggungjawabkan dan tidak mau menyebarluaskan berita hoax di Chanel YouTube nya.
Sy kira ini sebuah contoh pembelajaran yg apik yg patut kita contoh agar tidak langsung percaya kepada sebuah berita.
Kita harus mengkajinya terlebih dahulu, menggali informasi mungkin bisa bertanya langsung kepada sumbernya ketimbang, penyampai berita yg kadang-kadang bisa dilebihkan atau dikurangkan.
Mas James,
Kita semua bisa tertipu oleh hoaks dan terpancing untuk menyebarkannya karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi.
Pertama, manusia cenderung ingin tahu informasi terbaru dan menarik, sehingga kita mudah tergoda oleh judul yang menarik perhatian dan cenderung tidak melakukan verifikasi faktual sebelum menyebarkannya.
Kedua, banyaknya informasi yang beredar di dunia maya membuat kita sulit membedakan hoaks dengan berita yang sebenarnya. Beberapa hoaks dibuat dengan sangat meyakinkan dan sulit untuk dideteksi oleh orang awam.
Ketiga, adanya bias konfirmasi menyebabkan kita lebih cenderung mempercayai informasi yang sesuai dengan pandangan dan kesadaran kita. Kita ingin membenarkan keyakinan daripada meyakini kebenaran.
Keempat, adanya faktor emosi seperti rasa takut, kemarahan, atau kegembiraan yang mendorong kita untuk segera bertindak dan menyebarkan informasi tanpa berpikir panjang.
Akhirnya, kurangnya kesadaran dan literasi digital yang memadai menyebabkan banyak orang tidak memiliki keterampilan untuk memeriksa dan memahami keaslian suatu informasi sebelum menyebarkannya.
Semua faktor ini membuat kita rentan terhadap hoaks dan mudah terpancing untuk menyebarkannya tanpa pertimbangan yang matang.