Categories
Begini Saja

Sensor dan Legislator

Layar perak adalah raksasa komunikasi massa yang bekerja dengan ajaib membentuk dan mengubah opini pemirsanya. Dengan menonton film, orang dapat berhubungan dengan perasaan, sikap, dan keyakinan orang lain. Sebagai contoh, film His Only Son mungkin telah menyulut keyakinan seorang anggota parlemen dan membuatnya melobi pemerintah untuk melarang film tersebut.

Dari perspektif psikologi politik, film penting karena beberapa alasan.

Pertama, film mencerahkan dan membujuk. Perjalanan film membawa kita ke dunia paralel dan membawa kita ke dalam kontak langsung dengan pandangan dan ideologi yang berbeda. Melalui wawasan baru, keyakinan penonton dapat terguncang.

Kedua, film sebagai alat empati. Film dapat menciptakan ikatan emosional dan empatik antara penonton dan karakter. Kita menjadi ikut merasakan kebingungan dan penderitaan para tokoh, serta menerima keyakinan dan posisi politik mereka.

Ketiga, film sebagai normatifisasi keyakinan: film memainkan peran penting dalam menormatifkan keyakinan dan ideologi tertentu. Penonton dapat menerima karakter film sebagai sesuatu yang normatif jika mereka melihat pelakunya adalah orang yang sama yang memegang keyakinan tertentu.

Beberapa legislator mungkin khawatir bahwa pandangan mereka akan dipengaruhi oleh daya persuasif film. Di sini, jelas bahwa larangan pemutaran film di bioskop ditujukan untuk mencegah penyebaran ideologi yang dianggap ‘berbahaya’ atau ‘merugikan’.

Film-film seperti His Only Son memiliki potensi untuk mempengaruhi pemikiran dan keyakinan masyarakat melalui berbagai mekanisme. Tiga cara utama di mana film semacam itu memengaruhi kepercayaan masyarakat dan mengapa para legislator merasa perlu meminta pemerintah untuk melarang film ini telah dijelaskan.

Namun, konsep ‘baik’ dan ‘buruk’ bersifat subjektif dan cenderung berbeda dari satu orang ke orang lain dan dari satu kelompok ke kelompok lain. Di sinilah letak teka-teki demokrasi dan kebebasan berekspresi. Dalam lingkungan demokrasi yang ideal, setiap orang harus memiliki akses ke berbagai informasi dan hak untuk membentuk pandangan mereka sendiri, selama mereka tidak melanggar atau mengganggu hak-hak orang lain. Pemerintah dan politisi harus merefleksikan hal ini sebelum mengambil tindakan tegas.

Juga harus diakui bahwa pelarangan tidak selalu merupakan solusi terbaik. Ada bahaya bahwa penyensoran oleh pemerintah melanggar hak atas kebebasan berekspresi dan menjadi instrumen kontrol yang digunakan untuk tujuan politik. Oleh karena itu, selalu penting untuk menjaga keseimbangan antara melindungi masyarakat dari konten yang berpotensi membahayakan dan memastikan kebebasan berekspresi dan berkreasi.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Penulis buku “Refleksi Metodologi Riset: Panorama Survey” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

2 replies on “Sensor dan Legislator”

Menurut saya, film HOS dibuat berdasarkan konteks dr kita suci agama kristen, katolik. Terlihat agak aneh jika oknum legislator memprotes tidak sesuai dgn ajaran yg dianut. Ini jelas berbeda dgn ajaran agama yg dianut. Kemudian salahnya dimana?

Jika oknum tidak setuju mungkin bisa dibuat tayangan bandingannya.

Klo menurut saya ambil sisi positifnya dr film ini tentang iman, kasih, pengorbanan dll yg juga merupakan nilai nilai universal, tanpa mempermasalahkan yg ada.

Mas James yang baik,

Mungkin sulit bagi siapa pun yang eksklusif membalik telapak tangannya dan tiba-tiba menjadi sosok inklusif.
Benar bahwa masih sulit – dan perlu usaha – bagi orang yang inklusif untuk toleran pada keberagaman pandangan, tetapi akan jauh-jauh lebih sulit bagi orang yang eksklusif untuk toleran pada keberagaman keyakinan bahkan keyakinannya sendiri; apalagi jika konten keyakinan itu sempat mengusiknya.
Jadi masalahnya ada pada perasaan terusik yang tidak bisa dijabarkan. Jika ini dialami oleh siapa pun, dan tidak ada upaya untuk menjabarkan keterusikan mereka, “boro-boro” mereka akan sadar bahwa eksklusifitas mereka pun mengusik pihak lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *