Pakar psikologi politik dari berbagai aliran dan pandangan telah mengemukakan berbagai teori dan pendapat terkait titik simpang atau titik temu yang mengharuskan seorang negarawan untuk mengambil sikap dan tindakan yang berseberangan dengan partai, koalisi, atau relawan pendukungnya, bahkan jika risiko pemakzulan harus dihadapi.
Perspektif kognitif lebih menitikberatkan pada bagaimana ketika berada pada posisi berseberangan dengan partai, koalisi, atau pendukungnya, sang negarawan harus menghadapi tekanan dilematis antara memilih menjaga integritas dan prinsip versus mempertahankan dukungan politik. Adapun perspektif Etika-Integritas lebih menekankan bahwa integritas dan prinsip etis merupakan faktor penting yang harus dipertahankan oleh seorang negarawan.
Dalam konteks ini, seorang negarawan yang menghadapi titik simpang dapat menggunakan karisma kepemimpinannya yang kuat dan inspiratif untuk meyakinkan partai, koalisi, atau pendukungnya bahwa tindakan yang berseberangan itu sebenarnya dalam kepentingan yang lebih besar dan pada akhirnya akan membawa perubahan positif bagi masyarakat.
Titik simpang atau titik temu di mana seorang negarawan harus mengambil sikap dan tindakan yang berseberangan dengan partai, koalisi, atau relawan pendukungnya merupakan konflik psikologis dan sosial yang kompleks. Tetapi integritas, etika, kepemimpinan transformatif, dan komitmen pada kepentingan nasional cenderung menjadi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keputusan negarawan dalam menghadapi situasi semacam ini.
Rasionalitas dan Integritas
Sebagai pemimpin negara, seorang negarawan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya kepentingan partai, koalisi, atau relawan pendukungnya. Terkadang kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat memerlukan sikap dan tindakan yang berbeda dengan posisi politik yang dipegang.
Sebagai contoh, seorang negarawan yang mengetahui adanya korupsi yang melibatkan anggota partainya sendiri harus mengambil sikap tegas dan menindak pelaku korupsi tersebut, meskipun tindakan itu akan berseberangan dengan partainya. Mengabaikan korupsi atau tidak bertindak akan merugikan negara dan masyarakat.
Dalam situasi seperti ini, seorang negarawan harus memiliki integritas pribadi yang kuat, serta keberanian dan kemandirian untuk bertindak sesuai kepentingan nasional. Risiko pemakzulan atau kehilangan dukungan politik dapat menjadi konsekuensi yang harus dihadapi, tetapi tetap harus dihadapi dengan keberanian dan tekad untuk melakukan yang benar.
Pemahaman akan pentingnya integritas, pengabdian kepada masyarakat secara bertanggung jawab, serta keberanian untuk mengambil keputusan yang memihak kepada kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat adalah kualitas yang harus dimiliki oleh seorang negarawan sejati.
Kenneth Janda
Pendapat salah satu pakar psikologi politik yang relevan dengan situasi yang penulis ulas adalah pendapat Kenneth Janda. Dia telah mengembangkan teori konflik politik yang dapat merujuk pada titik simpang atau titik temu yang mengakibatkan seorang negarawan harus mengambil sikap dan tindakan yang berseberangan dengan partai, koalisi, atau relawan pendukungnya, bahkan jika berisiko menghadapi pemakzulan.
Kenneth Janda telah banyak meneliti tentang konflik politik dan kepemimpinan negara. Salah satu karyanya yang relevan dengan gagasan ini adalah bukunya yang berjudul “The Challenge of Democracy: American Government in Global Politics” yang ditulis bersama dengan Jeffrey M. Berry dan Jerry Goldman.
Dalam bukunya yang mengambil latar negara demokrasi ala Amerika ini, Janda menjelaskan bahwa konflik politik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses politik dalam suatu negara. Menurutnya, setiap pemimpin negara akan menghadapi konflik politik dalam berbagai bentuk dan intensitas selama masa jabatannya. Konflik politik dapat bersifat individual atau kekelompokan, serta dapat berkaitan dengan kepentingan politik, ideologi, atau perbedaan arah kebijakan.
Janda menyadarkan bahwa konflik politik merupakan hal yang wajar dalam sistem demokrasi karena ia memperlihatkan adanya dinamika dalam pembentukan kebijakan publik. Konflik politik juga dapat mendorong adanya perdebatan dan persaingan yang sehat untuk mencapai keputusan yang paling baik bagi kepentingan masyarakat.
Meskipun Janda tidak secara spesifik menguraikan konflik politik yang dialami seorang pemimpin negara di dalam karya-karyanya, ia memperhatikan konflik politik sebagai fenomena yang signifikan dalam analisis politiknya. Banyak karya tulis dan jurnal yang membahas konsep konflik politik secara lebih rinci, tetapi tidak secara eksklusif seperti Janda.
Menurut Janda, konflik politik dapat timbul antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan, nilai-nilai, dan tujuan politik. Dalam konteks ini, seorang negarawan yang menghadapi titik simpang akan mengalami konflik antara mempertahankan loyalitas kepada partai, koalisi, atau relawan pendukungnya, versus menjalankan tanggung jawabnya sebagai pemimpin negara untuk mengambil tindakan yang dianggap terbaik untuk kepentingan umum.
Seorang negarawan mungkin mengalami tekanan dan konflik internal akibat ketidaksesuaian antara sikap dan tindakan yang diinginkan partai atau pendukungnya dengan keputusan yang dianggapnya diperlukan untuk kebaikan nasional.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
4 replies on “Integritas dan Ancaman Pemakzulan”
Lanjutkan. Informatif.
Terima kasih.
Kata “negarawan” menjadi perhatian kita bersama dengan pertimbangan bahwa sosok “negarawan” di negara kita bisa dikatakan semakin sulit ditemukan. Sosok “negarawan” menurut hemat saya adalah sosok pemimpin yang mengayomi semua perbedaan dan bertujuan memikirkan kebijakan untuk kesejahteraan semua golongan.
Terima kasih Mas Sugeng Pram,
Pendapat Anda tentang sulitnya menemukan sosok “negarawan” di NKRI dan definisi yang Anda berikan untuk sosok tersebut mungkin merupakan opini pribadi. Validitas pendapat Anda tergantung pada sudut pandang dan pengalaman pribadi Anda dalam mengamati dan mengevaluasi pemimpin-pemimpin yang ada di dalam maupun di luar negeri.
Namun, penting juga untuk diingat bahwa penilaian terhadap sosok “negarawan” dapat bervariasi tergantung pada nilai-nilai, keyakinan, dan harapan individu. Definisi “negarawan” yang Anda berikan mungkin merupakan interpretasi yang berlaku bagi Anda sendiri, namun belum tentu berlaku secara universal atau menyeluruh.
Terkait dengan catatan atau pengecualian dari pemahaman Anda, penting untuk mengakui bahwa tidak ada pemimpin yang sempurna dan setiap pemimpin memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Seseorang yang dianggap sebagai sosok “negarawan” oleh satu kelompok masyarakat mungkin tidak dianggap demikian oleh kelompok yang lain. Perbedaan pandangan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan nilai, pandangan politik, atau pengalaman hidup masing-masing individu.
Selain itu, pemahaman sosok “negarawan” juga dapat bervariasi tergantung pada konteks sosial, politik, dan ekonomi yang sedang dihadapi oleh suatu negara. Apa yang dianggap sebagai karakteristik pemimpin yang baik atau “negarawan” dalam satu waktu mungkin tidak relevan dalam situasi yang berbeda.
Dalam kaitan ini, penting untuk mendorong dialog dan diskusi yang terbuka dan inklusif dalam masyarakat untuk mendiskusikan dan mengevaluasi pemimpin-pemimpin yang ada serta memberikan ruang untuk memahami perspektif dan nilai-nilai yang berbeda. Dengan adanya pemahaman dan apresiasi yang lebih dalam terhadap pemimpin-pemimpin yang ada, kita dapat memperbaiki dan memperkuat sistem demokrasi dan kepemimpinan yang lebih baik di masa depan.