Categories
Begini Saja

Kata Versus Data

Di era pasca-kebenaran, tidak ada jaminan bahwa yang diucapkan ke publik adalah selalu kata berbasis data. Sebaliknya, dengan balutan kata yang disengaja, dilakukan berbagai upaya pembenaran untuk mencegah data berbicara.

Simpulan tersebut tercermin pada pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mempersilakan bakal calon presiden (Capres) Anies Baswedan mengungkap Proyek Strategis Nasional (PSN) yang disebut berpotensi disusupi “titipan kanan kiri” (Kompas, 01/10/202).  Juru bicara bacapres Koalisi Perubahan, Surya Tjandra, menangkis pernyataan Jokowi dengan melempar balik bola panas ke Pemerintah: “Itu mestinya pemerintah sendiri yang bisa menjelaskan mana saja yang memang memenuhi syarat regulasi dan kepantasan untuk masyarakat” (CNNIndonesia.com, Senin (2/10).

Mantap dalam Ketidakmantapan

Mengabaikan benar-tidaknya pernyataan Anies Baswedan (AB), terbersit dalam pernyataan Jokowi, tuntutan agar setiap pernyataan di depan publik dilandasi data. Jika yang terjadi sebaliknya, psikologi politik memberikan beberapa penjelasan mengenai fenomena ini. Pertama, AB yang berlatar reputasi intelektual mungkin sudah pernah sukses dalam berbagai bidang dan oleh karena itu, ia merasa percaya diri untuk berpendapat tentang topik lain tanpa data yang signifikan: artinya, ia harus memantapkan diri dalam ketidakmantapannya.

Kedua, AB secara historis telah meraih sukses menggunakan narasi emosional dan menarik, yang seringkali lebih menarik bagi pemilih dibandingkan dengan fakta dan angka. AB mungkin menggunakan teknik ini untuk meraih dukungan.

Selain itu, perlu disadari, dalam politik seringkali ada tekanan untuk memberikan jawaban atau solusi segera di depan sorotan media, sementara mengumpulkan dan menganalisis data yang tepat bisa memakan waktu lama. Menyajikan argumen tanpa data yang kuat dapat menjadi cara untuk terlihat tegas, gercap, dan percaya diri di hadapan publik. Selain itu, ada keberatan bahwa analisis data yang kaku tidak selalu beresonansi di hadapan publik, tidak seperti cerita atau retorika yang membangkitkan emosi.

Berkata tanpa Data

Psikologi politik menengarai beberapa faktor yang mungkin berperan dalam pelestarian perilaku berkata tanpa data. Pertama, pentingnya narasi atau cerita yang memikat. Politisi, tak terkecuali yang berlatar belakang intelektual seperti AB sekali pun, gemar menggunakan teknik membujuk yang bergantung pada emosi dan narasi cerita yang menarik hati, daripada data dan fakta yang kaku. Cara ini seringkali lebih efektif dalam meraih dukungan publik.

Kedua, kompleksitas. Masalah politik seringkali kompleks dan melibatkan banyak variabel, sehingga sulit untuk disamakan, atau ditransformasikan, dalam bentuk data. Oleh karena itu, AB mungkin lebih memilih untuk fokus pada ide dan prinsipnya, daripada data itu sendiri. Ketiga, persepsi publik. AB mungkin saja berpendapat bahwa menggunakan bahasa yang lebih umum dan mudah dimengerti oleh publik umum akan menjadi lebih efektif daripada berbicara dalam istilah data dan analitis, yang mungkin dianggap ‘elitis’ dan sulit dipahami oleh banyak orang.

Keempat, keinginan untuk mempengaruhi. Politisi sering didorong oleh keinginan untuk mempengaruhi dan membuat perubahan. Mereka mungkin merasa bahwa pernyataan yang kuat dan berani akan lebih mungkin untuk membawa perubahan yang mereka inginkan, terlepas dari apakah pernyataan tersebut sepenuhnya didukung oleh data.

Isu-isu politik seringkali rumit dan melibatkan banyak variabel, sehingga sulit untuk membandingkan atau mengubahnya menjadi data. Oleh karena itu, AB mungkin lebih memilih berkonsentrasi pada konsep dan prinsip daripada data aktual. Dalam perspektif AB, berbicara dalam istilah yang lebih mudah diakses oleh masyarakat umum dan tidak terlalu banyak jargon akan lebih efektif dibandingkan menggunakan data dan istilah analitis, yang mungkin dianggap rumit dan sulit dipahami oleh sebagian orang. Keinginan untuk mempengaruhi opini publik dan melakukan perubahan adalah motivasi mayornya.

Alasan Psikologis

Kondisi mental-psikologis apa saja yang bisa membuat politisi, tak terkecuali AB, mencegah “data berbicara” sehingga lebih cenderung berkata-kata tanpa data? Pertama,“bias konfirmasi”, yakni mekanisme mencari informasi yang hanya mendukung pandangan mereka dan mengabaikan data yang bertentangan. Mereka mungkin lebih suka berargumentasi berdasarkan opini dan keyakinan pribadi daripada menggunakan data objektif. Kedua, pandangan populisme yang mendorong politisi merasa perlu untuk mengemukakan pandangan yang populer di kalangan pemilih mereka daripada menggunakan data yang mungkin tidak disukai atau dimengerti oleh publik.

Ketiga, penghindaran ketidakpastian karena mempertimbangkan bahwa data dapat menciptakan ketidakpastian berhubung data seringkali kompleks dan mengandung banyak variabel. Politisi mungkin lebih memilih kepastian, meskipun itu pandangan pribadi. Keempat, pandangan otoritarianisme, di mana kebenaran lebih ditentukan oleh kekuasaan, bukan data. Kecenderungan otoriter ini mungkin mengabaikan data mereka sendiri. Kelima, manipulasi. Karena data dapat disalahgunakan atau diputar oleh politisi untuk mendukung pandangan mereka, hal ini dapat membahayakan reputasi data sebagai dasar objektif untuk pembuatan keputusan sehingga politisi lebih memilih berkata-kata tanpa data.

Dengan lain ungkap, politisi tak terkecuali AB mungkin lebih suka berdebat berdasarkan keyakinan dan opini pribadi dibandingkan bukti faktual. Alih-alih menggunakan informasi yang mungkin tidak disetujui atau dipahami oleh masyarakat umum, pandangan populis justru mendorong politisi untuk merasa perlu mengungkapkan pendapat yang disukai oleh konstituennya. Sekalipun itu sarat pilihan pribadi, politisi mungkin lebih memilih kepastian. Politisi lebih suka berbicara tanpa menggunakan data karena data dapat disalahgunakan atau diubah untuk justru menentang atau melawan balik sudut pandang mereka.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

2 replies on “Kata Versus Data”

Ini puisi slengekan, Mas James:

Kota dalam Kata-Kata

Di dalam kata-kata yang tercipta,
Kota-kota tumbuh dengan indahnya.
Dalam huruf-huruf yang berdansa,
Mereka berkembang, hidup dalam rasa.

Kota tersembunyi di antara huruf-huruf,
Di dalam setiap kalimat yang kita ucap.
Mereka adalah cerita yang tak terlupakan,
Dalam dunia kata-kata yang tak terbatas.

Kota adalah rimba yang berjuta makna,
Di dalam bait-bait puisi yang menyentuh.
Mereka adalah jalan-jalan yang berliku,
Menuju hati yang ingin ditempuh.

Kota-kota dalam kata-kata itu,
Menghidupkan kisah yang tak pernah mati.
Mereka adalah tempat di mana kita berkelana,
Di dunia imajinasi yang tak terhenti.

Kota dalam kata-kata adalah keajaiban,
Tempat di mana mimpi-mimpi menjadi nyata.
Mereka adalah cermin dari jiwa kita,
Di dalam puisi-puisi yang abadi tercetak.

Jadi, nikmatilah kota-kota dalam kata-kata,
Di dalam buku-buku dan cerita-cerita.
Mereka adalah bagian dari dunia kita,
Yang selalu hidup dalam kalimat yang tercipta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *