Suhu politik nasional yang merangsak tajam usai Gibran menjadi cawapres Prabowo mendorong penulis untuk membaca ulang perbedaan antara kebenaran prosedural dan kebenaran substansial dalam kehidupan bernegara. Topik yang sama telah dibahas oleh beberapa filsuf dalam bidang politik dan hukum. Berikut adalah beberapa filsuf dan kutipan mereka yang memaparkan perbedaan tersebut:
Pertama, dalam bukunya Political Liberalism (1996: 245), John Rawls menulis: “Democracy is not a mere procedural notion to be formulated in terms of fair decision-making procedures. It is a moral idea about the equal worth of citizens“; juga pada buku yang ia ditulis 25 tahun sebelumnya, A Theory of Justice (1971: 8): “Procedural justice concerns the fairness of the processes by which decisions are made, while substantive justice concerns the fair distribution of social goods and opportunities“.
Kedua, Robert Nozick dalam bukunya Anarchy, State, and Utopia (1974: 152) menulis: “Procedural justice focuses on the fairness of the procedures or rules by which decisions are made, while substantive justice concerns the just outcomes or distribution of resources“. Selanjutnya ia menegaskan (1974: 149) menegaskan bahwa: “The primary justice is of holdings, what is DISTRIBUTED to whom and by what means it is acquired“.
Adapun, Ronald Dworkin dalam Justice in Robes (2006: 11) merumuskan kebenaran prosedural sebagai berikut: “Procedural justice emphasizes fair procedures and the rule of law, while substantive justice focuses on the fairness of outcomes and the protection of individual rights“. Adapun kebenaran substantif (Dworkin, 2006: 11) ia konklusikan sebagai berikut: “Substantive justice requires that the legal system be based on principles of fairness and equality, not just on formal rules and procedures“.
Dengan demikian, kebenaran prosedural berkaitan dengan keadilan dalam proses dan aturan pengambilan keputusan, sementara kebenaran substansial berkaitan dengan keadilan dalam distribusi sumber daya dan peluang sosial. Kebenaran prosedural menekankan pada kesetaraan proses, sementara kebenaran substansial menekankan pada kesetaraan hasil atau distribusi yang adil.
Kalkulasi Substansi
Penentuan usia minimum untuk capres-cawapres memang menjadi isu penting dalam konteks demokrasi di Indonesia. Secara substantif, melalui putusan MK, muncul peluang-peluang baru bagi generasi muda, termasuk Gibran, untuk berpartisipasi secara aktif dalam pemerintahan.
Pertama, terkait legacy yang dalam banyak kesempatan menjadi mimpi besar Presiden Jokowi, yakni IKN dan Hilirisasi, keputusan tersebut dapat mengamankan pelaksanaan kedua agenda tersebut. Gibran, sebagai bagian dari generasi muda dan kebetulan keluarga Jokowi, mungkin memiliki keinginan yang sama untuk melanjutkan proyek-proyek penting ini.
Kedua, dari perspektif preseden hukum, keputusan ini juga membuka peluang bagi lebih banyak pemuda untuk berkontribusi dalam pemerintahan. Namun, ini juga menimbulkan pertanyaan tentang apakah usia saja dapat menjadi penentu kesiapan seseorang untuk memegang posisi publik yang penting seperti wapres.
Dari sudut pandang kebenaran substantif, di satu sisi, keputusan ini tampaknya dimaksudkan untuk mendorong partisipasi pemuda dan memperbaharui wajah politik Indonesia, meski kebenaran prosedural mungkin dipertanyakan oleh sejumlah pihak yang menganggap keputusan tersebut sebagai langkah untuk menjaga kepentingan tertentu. Di sisi lain, harus diakui bahwa kemungkinan penunjukan cawapres berdasarkan kelompok keluarga atau dinasti dapat merusak prinsip meritokrasi. Ini dapat membatasi kemampuan pemilih untuk memilih pemimpin berdasarkan kompetensi dan kualifikasi, bukan berdasarkan hubungan keluarga.
Kalkulasi Prosedur
Dari sisi prosedural, proses pengambilan keputusan harus transparan dan akuntabel untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Jika terdapat penunjukan cawapres yang predominan berbasis dinasti atau keluarga, maka kemungkinan besar terjadi resistensi dari publik dan peningkatan debat mengenai reformasi prosedural dan konstitusional.
Selain itu, keputusan MK akan dilihat dari perspektif kesetaraan dan keadilan dalam proses pengambilan keputusan. Jika proses pengambilan keputusan tersebut dianggap adil dan mengikuti aturan yang berlaku, maka hal itu mendukung kebenaran prosedural. Namun, jika ada keraguan terhadap prosedur tersebut, ada kemungkinan kebenaran prosedural menjadi perdebatan.
Sebagai sebuah preseden, keputusan MK ini dapat memberikan ketentuan yang dapat mengatur batas bawah usia capres-cawapres secara tegas di masa depan. Ini dapat memperjelas persyaratan dan menghindari segala kontroversi yang timbul terkait usia para calon pemimpin negara. Namun, keputusan MK dalam kasus ini mungkin juga memunculkan pertanyaan dan polemik seputar pengaruh politik dalam pengambilan keputusan hukum. Oleh karena itu, penting bagi pengambil keputusan politik untuk menimbang kebenaran substantif dan prosedural dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pemilihan presiden dan wakil presiden. Diskusi publik dan transparansi adalah kunci dalam memastikan bahwa proses ini dijalankan dengan adil dan efektif. Dalam jangka panjang, penting bagi Indonesia untuk menimbang antara kebutuhan regenerasi kepemimpinan dan pentingnya pengalaman serta kompetensi dalam memegang jabatan tinggi di pemerintahan.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.