Categories
Begini Saja

Kekerasan yang Disucikan

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono, “KEKERASAN YANG DISUCIKAN”, 6 Mei 2017.

Tanggapan atas Status Jacobus E. Lato pk 22:15, 5 Mei 2017.

Hemat saya, agama sendiri bukan penyebab kekerasan. Biang keroknya ada pada “kekerasan yang disucikan”.

Orang-orang Kristen melakukan perang salib di bawah bendera salib. Mereka tidak hanya membunuh Muslim, tetapi juga membunuh orang Kristen lainnya terkait masalah doktrin yang kelak menimbulkan gerakan anti-Semitisme sistematis berabad-abad.

Muslim Syiah dan Sunni saling membunuh selama lebih dari 1.500 tahun atas nama klaim tentang siapa yang lebih legitimate menggantikan pendiri agama mereka.

Budha yang dikenal dengan ajaran anti-kekerasan tak terkecuali. Selama Perang Dunia II, sebagian besar kelompok Buddhis di Jepang mendukung perang di negara mereka.

Hinduisme dibangun di atas perintah untuk tidak membahayakan. Namun dalam teks suci mereka, Bhagavad Ghita, Sang Krishna berpendapat bahwa kekerasan dalam membela keadilan tidak bertentangan dengan kehidupan spiritual.

Kekerasan atas nama tuhan berakar kuat dalam teks dan tradisi agama. Anehnya, mencela orang-orang yang menggunakan nama Tuhan untuk membenarkan kekerasan juga memiliki preseden religius. Artinya, baik teror dan kasih sama-sama menjadi bagian dari agama, di mana yang normatif tergantung pada mana di antara keduanya yang memenangkan hati dan pikiran para penganutnya.

Masalahnya bukan pada apakah terorisme dan fanatisme bertindak atas nama agama, tapi pada apakah mereka bertindak atas nama kemanusiaan.

Pada titik ini menjadi sangat menarik untuk dipertanyakan, jika tindakan atas nama kemanusiaan relatif lebih berdaya daripada tindakan atas nama Tuhan dalam kaitannya dengan penanggulangan kejahatan berjamaah, tidakkah lebih masuk akal jika semua tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara lebih baik dilandaskan pada sila kedua, “kemanusiaan yand adil dan beradab”?

Dalam konteks Indonesia disputasi dan keributan selalu dan senantiasa berakar dari tindak kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan.

Masalah kita ada pada sila pertama, “Ketuhanan yang maha esa” yang tak henti-hentinya dicabar –dan ditarik ke grafitasi– dengan obsesi tentang Piagam Jakarta.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *