Categories
Begini Saja

Personalisasi Kekuasaan

“Personalisasi kekuasaan” [personalization of power] adalah istilah yang digunakan dalam psikologi politik untuk mendeskripsikan kondisi di mana karisma dari seorang sosok pemimpin jauh melebihi kekuasaan partai politik. Istilah ini mengacu pada fenomena di mana pemimpin politik menjadi pusat kekuatan dan otoritas yang dominan, bahkan melebihi kekuatan institusi politik yang seharusnya.

Salah satu peneliti yang mengulas fenomena personalisasi kekuasaan ini adalah Juan J. Linz dalam bukunya yang berjudul “The Perils of Presidentialism” (1990), di mana Linz membahas konsekuensi negatif dari personalisasi kekuasaan, yang dapat merusak stabilitas politik dan demokrasi dalam suatu negara. Ia membahas risiko-risiko yang melekat dalam sistem pemerintahan presidensial, khususnya dalam konteks negara-negara baru demokratis. Linz menganalisis bagaimana sistem presidensial dapat menghadapi tantangan-tantangan, seperti konflik antara eksekutif dan legislatif, potensi untuk otoritarianisme, kurangnya akuntabilitas yang memadai, serta ketidakstabilan politik.

Membandingkan antara sistem presidensial dan parlementer, Linz menunjukkan keunggulan dan kelemahan masing-masing. Dia juga menyoroti bagaimana sistem presidensial cenderung mendorong polarisasi politik dan konfrontasi, terutama ketika presiden berasal dari partai politik yang berbeda dengan mayoritas legislatif.

Kultus Pribadi

Selain Personalisasi Kekuasaan, istilah lain dalam psikologi politik yang sering digunakan untuk mendeskripsikan fenomena di mana karisma seorang pemimpin sangat mendominasi hingga melebihi kekuatan partainya adalah “kultus kepribadian” atau “cult of personality.” Cakupan konsep ini lebih luas daripada psikologi politik, karena bersinggungan juga dengan studi tentang otoritarianisme dan kepemimpinan karismatik.

Konsep kultus kepribadian dikembangkan oleh para ilmuwan seperti Max Weber, yang berbicara tentang “kepemimpinan karismatik” dalam karyanya “The Theory of Social and Economic Organization.” Weber menjelaskan bahwa pemimpin karismatik memiliki kualitas yang membuat mereka tampak luar biasa di mata pengikutnya dan sering kali memiliki otoritas yang tidak konvensional karena karisma mereka.

Konsep kultus pribadi mengacu pada penciptaan gambaran ideal dan seringkali mistis tentang seorang pemimpin yang secara sengaja dibentuk dan dipromosikan melalui propaganda, retorika, seni, media, dan aksi-aksi spektakuler. Ini adalah praktik di mana pemimpin tersebut digambarkan memiliki kualitas-kualitas yang melebihi kemampuan manusia biasa, menuntun pengikutnya untuk memberikan pujian dan penghormatan yang secara umumnya ditujukan pada tokoh-tokoh agama atau mitologi.

Dinamika politik yang berpusat pada kultur pribadi dapat memiliki efek yang mendalam pada struktur dan fungsi institusi politik. Institusi tersebut bisa menjadi kurang efektif dan berkurang kesempatannya untuk bertindak independen sebagai pemimpin karena:

1. Pemusatan Kekuatan: Semakin kuat citra pemimpin, semakin mungkin kekuatan dikonsolidasi dalam tangan individu tersebut, menyampingkan proses demokratis atau pengambilan keputusan kolektif.

2. Lemahnya Kapasitas Institusional: Institusi menjadi lemah karena kurangnya inovasi dan adaptasi yang independen. Pejabat dan struktur organisasi sering kali diisi oleh loyalis daripada individu yang kompeten.

3. Kerusakan Sistem Hukum: Sistem hukum dan regulasi dapat diabaikan atau dimanipulasi untuk melayani kepentingan pemimpin, bukan kepentingan negara atau masyarakat secara umum.

4. Stagnasi Politik: Kultus kepribadian dapat menghambat perubahan politik atau sosial, mempersulit pergerakan menuju antar-pemimpin atau mempertahankan status quo.

Pemimpin dengan kultus kepribadian yang kuat dapat menggunakan karisma mereka untuk mengejar agenda politik, tetapi pada akhirnya, hal ini dapat mengarah pada pengurangan akuntabilitas dan pemerintahan yang otoriter. Dalam sejarah, kultus kepribadian telah dikaitkan dengan efek destruktif, termasuk represi politik dan pelanggaran hak asasi manusia.

Ketika pemimpin atau tokoh politik dihormati, dipuja, dan dikagumi dengan intensitas yang berlebihan, citra pemimpin menjadi sangat penting dan seringkali melebihi kebijakan dan pencapaian nyata mereka. Dalam sejarah, banyak pemimpin politik dari berbagai negara telah diidentifikasi dengan kultus pribadi, seperti Adolf Hitler, Joseph Stalin, Mao Zedong, dan Kim Jong-un, meskipun fenomena ini juga bisa ditemukan dalam skala yang lebih kecil dalam konteks politik lokal atau organisasi sosial.

Kultus Jokowian?

Pertanyaan menggelitik, dalam sudut tinjau kultus pribadi, apakah Jokowi dapat disandingkan Adolf Hitler, Joseph Stalin, Mao Zedong, atau Kim Jong Un? Sejauh cermatan penulis, meskipun hasil survei (LSI) Denny JA menyebut tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencapai 90 persen, popularitas Presiden Jokowi tidak sepenuhnya dapat dijadikan eksemplifikasi tentang fenomena kultus pribadi seperti yang sering disebut dalam literatur Psikologi Politik.

Meskipun Jokowi memiliki basis dukungan yang kuat di Indonesia, popularitasnya lebih didasarkan pada pencapaian politik dan kebijakan yang diterapkan daripada pada karakteristik kepribadian yang karismatik. Merujuk pada data LSI, mayoritas responden adalah pendukung dari calon presiden (Capres) Prabowo Subianto. Survei yang digelar selama periode 30 Mei-12 Juni 2023 ini menggunakan multistage random sampling yang melibatkan 1.200 responden yang diwawancarai secara tatap muka dan diklaim memiliki margin of error sebesar +/- 2.9%.

Dalam konteks negara-negara yang mungkin mengalami kultus pribadi, pemimpin cenderung menjadi pusat dari simpati politik atau otoritas yang berlebihan. Karisma pribadi, pengaruh emosional, dan pemujaan terhadap pemimpin tersebut menjadi faktor utama dalam mempengaruhi massa. Namun, dalam kasus Presiden Jokowi, popularitasnya lebih banyak terkait dengan efektivitas kebijakan dan pencapaian pembangunan ekonomi.

Meskipun demikian, ada beberapa elemen dalam kepemimpinan Presiden Jokowi yang masih dapat dikaitkan dengan konsep kultus pribadi. Misalnya, ia sering kali menjadi tokoh sentral dalam citra publik dan media, dan identifikasi emosional terhadapnya cukup kuat di antara pendukungnya. Selain itu, kampanye komunikasi pemerintah sering kali menekankan citra personal Presiden Jokowi sebagai agen perubahan positif.

Namun, penting untuk dicatat bahwa popularitas Jokowi lebih didasarkan pada kinerja dan kebijakan politiknya, meskipun ada beberapa elemen kekuatan personal dalam pencitraannya. Ini menandakan bahwa popularitasnya tidak sepenuhnya mencerminkan dinamika kultus pribadi sebagaimana yang dijelaskan oleh Max Weber. Dengan demikian, sementara terdapat beberapa elemen kemiripan, popularitas Presiden Jokowi tidak sepenuhnya mencerminkan fenomena kultus pribadi seperti yang sering dijelaskan dalam literatur Psikologi Politik.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

7 replies on “Personalisasi Kekuasaan”

Terima kasih sdh dikirimi tulisan njenengan. Menarik tinjauan dari sisi psikologi, membuat sy tambah paham ttg psikologi.
Mungkin perlu ditambahkan implikasinya. Nuwun

Pak Rusmusi yang terhormat,

Terima kasih telah membaca artikel di atas.

Untuk sementara, sejauh ini informasi yang penulis serap, menurut hemat penulis popularitas Jokowi lebih banyak terkait dengan efektivitas kebijakan dan pencapaian pembangunan ekonomi, meskipun ada beberapa elemen dalam kepemimpinan Presiden Jokowi yang masih dapat dikaitkan dengan konsep kultus pribadi. Pun, sejauh informasi yang penulis serap, ada 2 implikasi yang dapat penulis sebut berkenaan dengan gerakan yang mendorong ke arah pemakzulan dengan berbagai alasan yang berbasis pada alasan teoritik: kultus pribadi.

(1) Meskipun JKW ingin mencari penerus yang mumpuni untuk mengimplementasikan program-program menuju Indonesia Emas 2045, menempatkan PS sebagai menteri dalam kabinet tidak secara langsung menjamin kecakapan atau kesuksesan PS sebagai calon presiden di masa depan.

(2) Apakah wacana dan implementasi pemakzulan JKW memenuhi syarat koherensi logis? Menurut hemat penulis, tidak; kecuali dilogis-logiskan. Meskipun ada keberpihakan JKW terhadap pasangan PS-GRR, hal ini tidak secara langsung membuatnya memenuhi syarat untuk dilakukan pemakzulan. Pemakzulan membutuhkan alasan yang jelas dan tindakan yang melanggar hukum atau konstitusi yang signifikan. Jika tidak ada bukti kejahatan atau pelanggaran yang jelas dan terbukti terhadap JKW, maka wacana dan implementasi pemakzulan tidak memenuhi syarat logis. Lagi pula, panitia pemakzulan seharusnya datang dari pelangi aktivis di luar cecunguk Paslon 1 dan Paslon 3. Kalau tidak, mereka mengritik MK yang diperalat, tetapi mengamini diri mereka yang di ujungnya akan memperalat MK. Apa bedanya?

Menjadi relevan tulisan di atas untuk membaca dinamika peristiwa politik di negara kita tercinta Republik Indonesia baru-baru ini. Ada pernyataan publik Bang Ara ketika mengundurkan diri dari PDIP bahwa alasannya antara lain akan ikut Pak Jokowi yang dibuktikan bahwa tingkat kepuasaan warga terhadap pemerintahan Jokowi, Pak Jokowi berani tentang hilirisasi.
Memang dipandang dari sudut pandang pengkultusan pribadi masih perlu dikaji lagi.
Pernyataan publik Bang Ara bahwa dia mundur dari PDIP dan ikut Pak Jokowi menarik untuk dijelaskan lebih lanjut. Terlepas itu bahwa pengingat bahwa pengkultusan pribadi lebih cenderung banyak sisi negatif. Maka, perlu kita semua untuk tetap kritis terhadap peristiwa sekitar.

Sugeng yang baik,

Terima kasih telah mengaitkan antara hengkangnya Maruarar Sirait dengan tulisan tentang pengkultusan pribadi ini.

Menurut hemat saya, pernyataan publik Bang Ara (Maruarar Sirait) yang keluar dari PDIP dengan alasan mengikuti jalan politik Pak Jokowi tidak secara langsung mengarah pada pengkultusan pribadi Jokowi. Kedengarannya lebih mirip dengan dukungan terhadap arah politik yang ditempuh oleh Jokowi dan keputusannya untuk mendukungnya. Pengaruhnya bagi publik yang sedang memasuki kampanye Pilpres 2024 adalah kemungkinan munculnya diskusi dan perdebatan tentang alasan di balik keputusan tersebut, serta dampaknya terhadap posisi politik Bang Ara dan potensi pengaruhnya dalam konteks Pilpres 2024.

Pernyataan tersebut juga dapat memiliki pengaruh terhadap karir politiknya sebagai politisi pasca-hengkang dari PDIP. Keputusan untuk meninggalkan partai politik tertentu dan menyatakan dukungan terhadap arah politik yang berbeda dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap Bang Ara. Ini bisa menghasilkan dukungan atau penolakan tergantung pada pandangan masyarakat terhadap keputusannya tersebut. Pengaruh ini juga dapat berdampak pada karir politiknya di masa depan, baik dalam hal keterpilihan maupun posisi dan peran politik yang mungkin dipegangnya.

Dalam konteks Pilpres 2024, pernyataan dan tindakan Bang Ara dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi dinamika politik dan opini publik terhadap calon-calon presiden, partai politik, dan koalisi politik yang terlibat. Meskipun tidak langsung berkaitan dengan pengkultusan pribadi Jokowi, keputusan politik tersebut bisa menimbulkan ketertarikan dan perhatian sehubungan dengan konstelasi politik menjelang Pilpres 2024. Menariknya, pernyataan dan tindakan Bang Ara juga dapat merangsang debat yang sehat dan memberikan kesempatan bagi partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik yang demokratis.

Jika ditinjau dari pengertian ini, Berarti Wacana pemakzulan Jokowi bisa dikatakan usaha dari lawan politiknya untuk menjatuhkan citra Jokowi. Semoga hal tidak terjadi, dan Pemilu Kita aman dan damai.

“Namun, penting untuk dicatat bahwa popularitas Jokowi lebih didasarkan pada kinerja dan kebijakan politiknya, meskipun ada beberapa elemen kekuatan personal dalam pencitraannya”.

Narasi di atas akan diuji dalam Pilpres 2024 ini, di mana sebagian pendukung Pak Jokowi menyatu ke Paslon No. 2, yang notabene adalah linkage dengan anak biologis Pak Jokowi Gibran, sedangkan sebagian melepuh gaduh ke paslon 1 dan 3, yang hasilnya adalah salam 4 jari, dikatakan konon adalah anak-anak ideologi Pak Jokowi telah memecah jati dirinya ke 2 paslon sekaligus: 1 dan 3, sama dengan 4.

Namun demikian, sebagaimana lazimnya pemilih +62 yang bisa sulit ditebak, belum dapat dipastikan siapa nanti yang menjadi presiden terpilih, atau presiden terlantik.

Salam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *