Categories
Begini Saja

Logika dan Psikologi Politik Indonesia Hari Ini

Sejumlah catatan Edy Suhardono mengenai Logika dan Psikologi Politik yang dihimpun dari Facebook Soalsial.

Catatan via posting 13 April.

Siapa pun pemenang Pemilu 2014 tetap dapat dikatakan inkonstitusional. Pasalnya, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Januari 2014 menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga UU ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat; sementara MK menyatakan bahwa “dasar hukum pemilu ini bisa dilaksanakan pada 2014 dan baru mulai berlaku pada 2019 dan pemilihan umum seterusnya.”

Kalau begitu, apa faktor yang dapat diperhitungkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusuhan?

http://jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/60121/mantan-kepala-bais-ungkap-kemungkinan-chaos-pasca-pilpres

Catatan via posting 14 April.

Kawan, perhatikan bahwa:

  1. kita cenderung bersikap dan bertindak menurut pemaknaan terhadap sesuatu (apa dan siapa) yang kelak membangun keyakinan kita;
  2. interaksi sosial kita dengan orang lain, kelompok, dan masyarakat dapat menguatkan atau melemahkan pemaknaan terhadap sesuatu (apa dan siapa) ini; dan
  3. pemaknaan yang kita bangun bersama kita, orang lain, kelompok, dan masyarakat merupakan konsekuensi logis dari proses interpretatif (menafsir) ketika berurusan dengan sesuatu (apa dan siapa).

Ketiga hal itu dapat membuat kita masuk jurang bersama-sama, jika:

  1. Kita terlalu terpaku pada kesamaan dalam memandang sesuatu (apa dan siapa) sehingga kita menghindari perbedaan pendapat, apalagi terjebak pada “stagnasi elite” atau paradigma dominan yang dianut orang lain, kelompok, masyarakat.
  2. Kita berada pada kelompok yang sangat kohesif sehingga kita harus berpikir, berpendapat, dan bertindak seturut dengan lini kelompok.
  3. Kita terisolasi dari pendapat-pendapat yang bertentangan. Kita perlu menyeberangi batas-batas paradigmatik kita dan mau membaca pandangan orang lain yang masih obyektif (tidak terlibat) tentang sesuatu (apa dan siapa). Hanya sedikit orang yang melakukan hal ini.

Semoga Anda mau melakukannya, mulai dari membaca artikel berikut ini.

http://nasional.kontan.co.id/news/antiklimaks-jokowi

Catatan via posting 15 April.

Pemberitaan yang mengabarkan safari politik Jokowi tidak mengarah ke PAN mungkin dilatari asumsi bahwa orang cenderung mencari keadaan seimbang ketika berhadapan dengan situasi hubungan antar orang yang dilatari oleh kesukaan atau ketidaksukaan pada sesuatu. Apakah pola berpikir seperti ini yang dimaksud dengan “koalisi”? Dalam contoh, “jika A dan B sama-sama menggemari sambal pedas, maka A dan B akan cocok satu sama lain; sama halnya dengan jika A dan B sama-sama tidak menggemari sambal pedas”.

Terganjalnya koalisi antara A dan B terjadi jika A gemar sambal pedas, sebaliknya B tidak suka. Jika logika koalisi sebegitu naif, lantas apakah bakal terjadi ikatan yang sama kuat antara yang ikatan dilatari oleh ketidaksukaan versus kesukaan? Apakah koalisi adalah sesuatu yang didorong oleh ketidaksukaan terhadap sesuatu?

Dalam contoh lain, jika cowok A menyukai cewek B pada pandangan pertama, sementara belakangan A yang sangat menggemari sambal pedas tahu bahwa B sama sekali tidak menyukai sambal pedas; apakah kemudian A juga akan menganulir rasa sukanya pada B? Dengan pola berpikir seperti ini, apakah berkoalisi itu tak lebih dari sekadar intelektualisasi ketika orang sedang mengamini distorsi pemikiran ketika menghadapi realitas?

Klik:
http://www.merdeka.com/politik/faktor-besan-buat-jokowi-menjauh-dari-hatta.html

Catatan via posting 16 April.

SILAHKAN UJI LOGIKA ANDA

Pikiran kita cenderung berasumsi bahwa orang selalu logik dalam menilai diri sendiri dan perilaku orang lain. Kenyataannya, pikiran kita cenderung membuat kesalahan dalam mengaitkan antara sebab dan akibat dari suatu perilaku.

Menurut hasil-hasil studi psiko-politik yang mengadopsi teoritisasi dalam psikologi sosial (Edward E. Jones & Victor Harris, 1967; Lee Ross, 1977), pikiran kita mudah terpeleset ke popa berpikir Correspondence Bias atau Overattribution Effect, yakni kecenderungan ekstrim untuk lebih menekankan faktor disposisional /basis kepribadian atau faktor situasional ketika menjelaskan perilaku yang diamati.

Artinya, kita cenderung membenarkan tindakan seseorang sebagai akibat dari “ke-siapa-annya” atau akibat dari kekuatan-kekuatan sosial dan lingkungan eksternal yang mempengaruhi orang tersebut.

Mau contoh? Coba kita baca artikel “kompor gas “ berikut ini:

http://tikusmerah.com/?p=1204&wpmp_tp=3&wpmp_switcher=desktop

Baca lebih lanjut catatan-catatan Edy Suhardono lainnya di Facebook Soalsial.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *