Categories
Begini Saja

Ideologik? No! Survive? Yes!

Kenapa Anis Matta harus mengatakan bahwa koalisi Merah Putih PDIP-PKS itu indah? Jika harus memilih antara kelaparan, kekalahan, ancaman kematian atau sejenisnya, mekanisme pertahanan diri akan bertindak mirip refleks. Dari refleks ini muncul seribu pembenaran dan pemaafan diri sebagai cara bertahan hidup menghadapi tekanan psikologik.

Kenapa seseorang harus melakukan dua hal yang diametral, misalnya mencerca tetapi kemudian berbalik dengan melakukan kerjasama dengan pihak yang dicerca? Ketika dipersoalkan, mungkin ia akan menjelaskan tindakannya dalam rangka membuat diri dan anak buahnya tetap hidup. Penggunaan dalih fungsi sebagai alasan melindungi diri sendiri jauh lebih kuat daripada kesetiaan ideologik. Tidak ada seorangpun yang menghadapi masalah pahit yang sama kemudian memiliki pendapat obyektif tentang apa yang telah ia lakukan sendiri dalam situasi yang sama. Kebanyakan orang akan berkompromi ketika ancaman dan tekanan mental kian menguat.

Ancaman dan tekanan mental yang menghimpit membuat orang berkebutuhan untuk beristirahat sejenak, untuk menutup mata, atau untuk menjauh diri dari suara-suara membingungkan membuatnya orang kehilangan keseimbangan dan rasa percaya diri. Ia merindukan untuk dapat tidur sehingga masih dapat melakukan banyak hal lain, kecuali menyerah kalah. Keinginan kekanak-kanakan (infantile) untuk turut menjadi bagian dari mesin kekuasaan merupakan dorongan penggerak yang jauh lebih menentukan daripada untuk menang. Yang menarik di sini adalah menguatnya motif “tidak menang, tetapi pantang menyerah” yang dilambari dengan penalaran silogistik berupa “perlakukan saya semaumu, karena sekarang saya di pihakmu”.

Ketika mendapatkan gempuran yang sama, kebanyakan orang cenderung menunjukkan pola yang sama. Mereka mengalami perubahan respon emosional yang terlihat melalui perubahan dari euforia menjadi depresi, kekesalan, atau kegelisahan; dan yang utama ialah ketidakpedulian terhadap dilakukannya tindakan yang sebelumnya tidak biasa dan bukan merupakan atribut dari jati dirinya. Hanya sedikit orang yang kuat, independen, dan memiliki kepribadian mandiri, yang mampu menaklukkan kebutuhan ketergantungan seperti ini; sehingga tetap dapat berdiri tegak di tengah tekanan dan, jika perlu, berani mati.

Secara antropologik mekanisme pertahanan diri dengan tema survive ini ditunjukkan dengan ungkapan bahasa tubuh tertentu, seperti: berkali-kali menepuk atau memukul dada untuk menunjukkan diri sebagai pihak yang salah, dan diikuti dengan menyerah tanpa syarat pada aturan yang ditentukan para tetua. Penyerahan ini didasarkan pada keyakinan tentang adanya kekuasaan yang lebih tinggi meski penyerahan dilakukan dalam bungkusan emosi bernada keputusasaan –sebagai sebuah “credo quia absurdum” (“saya percaya karena itu tidak masuk akal”). Sebab yang mendesak dan menjadi bobot kepentingan adalah bertahan hidup.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas Soalsial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *