Individu yang pada akhirnya memilih bergabung dengan kelompok dan ideologi ekstremis selalu dilandasi alasan, entah keterasingan, penindasan, ideologi, atau petualangan. Secara khusus, dukungan terhadap ekstremitas yang diwarnai penganiayaan brutal dan ketidakadilan terhadap orang lain hampir selalu terkait dengan faktor identitas berbasis kelompok yang disertai dengan dinamika identitas antar-kelompok.
Studi psikologi sosial sebelumnya hampir selalu berkutat pada proses intra-psikis sehingga gagal menjelaskan fenomena prasangka dan diskriminasi massa. Sementara perspektif psikologis sosial mutakhir berusaha menjelaskan fenomena tersebut dengan mengeksplorasi proses kelompok dan dehumanisasi atas korban.
Dehumanisasi cenderung dilakukan terhadap “kelompok luar” yang didefinisikan sebagai tidak layak mendapatkan pertimbangan moral sebagaimana yang diperuntukkan bagi anggota “kelompok dalam”. Dehumanisasi diperlukan oleh para prekursor untuk melakukan serangan brutal terhadap anggota kelompok luar. Tindakan mengerikan bahkan dapat dilegitimasi oleh pelaku bukan hanya dengan pembenaran ideologis, tetapi juga melalui narasi keancamanan yang diikuti oleh proses pelucutan moral sama sekali untuk melakukan tindakan amoral apa pun terhadap kelompok luar.
Fenomena Antar-Kelompok
Fenomena Pertama
Proses dehumanisasi dan kekerasan berkembang secara bertahap melalui tiga fenomena antar-kelompok. Fenomena pertama adalah terjadinya peningkatan identifikasi dengan identitas kelompok dalam. Menurut teori identitas sosial, individu cenderung mengkategorikan diri sendiri dan diri lain sebagai anggota kelompok sosial yang berbeda sebagaimana yang terjadi dalam kategorisasi etnis (misal: umpatan “babi”) dan agama (misal: umpatan “kafir”). Kategorisasi sosial ini menjadi proses alami yang terjadi akibat keterbatasan kapasitas otak manusia dalam memproses informasi yang masuk, sehingga kategorisasi sosial digunakan sebagai alat kognitif untuk mempermudah dan menstrukturkan lingkungan sosial.
Tingkat signifikansi emosional dari suatu identitas sosial, di mana seseorang menjalani keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, sangat bervariasi. Hal ini terbukti dari penolakan yang mengarah pada identifikasi lebih tinggi dengan kelompok sosialnya sendiri, sebaliknya lebih rendah terhadap kelompok sosial lain. Identifikasi yang disertai penolakan menyebabkan diskriminasi –baik yang dirasakan atau dialami– terhadap kelompok dalam, yang gilirannya menyebabkan identifikasi dan keterikatan lebih tinggi sebagai kelompok korban tertentu, terutama karena penerimaan oleh kelompok luar yang tidak mungkin terjadi. Hal ini semakin diintensifkan oleh keinginan membangun konsep diri sebagai kelompok dalam yang positif dan pengucilan terhadap kelompok luar. Dalam hal ini, “bias kelompok dalam/kelompok luar” terjadi karena sikap dan perilaku positif yang diatribusikan bagi kelompok dalam dan, sebaliknya, diatribusikan secara negatif bagi kelompok luar.
Seperti yang kita saksikan, baik melalui media sosial maupun media cetak konvensional, tema yang hidup secara paling berulang dan kuat pada orang-orang yang bergabung dengan kelompok kekerasan ekstrem berupa gagasan-gagasan tentang derajat keterasingan, marginalisasi, ketidakadilan berbasis kelompok, dan penganiayaan terhadap anggota kelompok mereka. Wanita Barat yang bergabung dengan ISIS, misalnya, cenderung menggambarkan perasaan mereka yang terisolasi dan diserang secara fisik atau secara verbal di masyarakat Barat terutama karena mereka mengenakan jilbab atau niqab.
Keberhasilan dan kekuatan kelompok ISIS, yang dikombinasikan dengan realitas alternatif yang ditawarkannya melalui proyek pembangunan negara, peningkatan harga diri, dan daya tarik petualangan dan percintaan; dengan mudah menjadi daya tarik bagi kaum muda yang kecewa dan terpinggirkan di negara asal mereka. Fenomena pertama ini galibnya merupakan tahapan isolasi dan pengejaran secara aktif menjadi anggota komunitas kelompok yang berpikiran sama.
Fenomena Kedua
Fenomena kedua adalah proses radikalisasi. Bergantung pada jenis komunitas yang dirasakan sebagai ‘serupa’, baik yang mereka temukan secara online maupun offline, mereka mulai mengadopsi pandangan dan norma kelompok. Beberapa proses kelompok pada tahap ini termasuk penyesuaian dengan norma kelompok dan kepatuhan terhadap otoritas, sementara proses polarisasi kelompok terus terjadi dalam kelompok. Polarisasi mengacu pada kecenderungan pandangan kelompok untuk menjadi lebih ekstrem saat anggota kelompok saling bertukar pandangan.
Pertukaran pandangan ini terbagi menjadi dua proses: argumentasi persuasif dan perbandingan sosial. Dengan berbagai argumen yang mendukung pandangan dominan sembari mengasup sejumlah argumen pendukung, pandangan menjadi kian ekstrem. Selain itu, dalam upaya untuk menyelamatkan reputasi mereka di dalam kelompok, para anggota cenderung menyesuaikan posisi mereka agar sesuai dengan pandangan dominan kelompok. Ketika anggota kelompok tak mendapatkan paparan pandangan lain selain pandangan ekstrem yang diadopsi dari kelompok dalam kondisi keterisolasian, mereka dengan cepat menjadi radikal dan brutal.
Fenomena Ketiga
Fenomena ketiga yang membangun ekstremisme kekerasan adalah pandangan bahwa kejahatan adalah kebajikan, di mana mereka yang telah berubah menjadi ekstremis benar-benar mempercayai bahwa tindakan mereka benar, terutama karena kesulitan mereka mematahkan argumen bahwa kelompok luar adalah ancaman terbesar bagi kelompok dalam, baik ancaman terkait eksistensi, keamanan, nilai, atau cara hidup kelompok dalam. Begitu kelompok luar telah ditetapkan dan didefinisikan sebagai ancaman, secara otomatis dehumanisasi dan penghancuran menjadi tindakan pembelaan saleh menghadapi kelompok luar.
Simpulan
Berbagai bukti dan teorisasi psikologi sosial ini mengkonfirmasi bahwa radikalisasi dan ekstremisme kekerasan adalah proses bertahap yang berkembang terutama melalui dinamika identitas antar-kelompok sebagai akibat dari ancaman yang dirasakan terhadap kelompok dalam.
Untuk melawan ekstremisme, negara harus memainkan peran yang lebih proaktif dalam membalikkan persepsi diskriminasi dan serangan terhadap kelompok yang diasosiasikan dengan ekstremisme. Yang diperlukan adalah usaha untuk memahami dan merespon fenomena ekstremisme kekerasan yang berkembang secara global.
Terminologi dalam melabeli ekstremisme yang keras sebagai bersumber pada agama tertentu, misalnya, kemungkinan justru dianggap sebagai serangan terhadap agama tersebut dan hanya akan memperburuk masalah dengan mengintensifkan konflik antar-kelompok agama.
Harus ada pengakuan publik bahwa ekstremisme kekerasan bukanlah fenomena agama tertentu, dan bahwa penganiayaan terhadap kelompok oleh kelompok lain yang didukung oleh pembenaran ideologis, agamis, etnis atau lainnya yang telah berlangsung sepanjang sejarah justru akan mengganggu terjadinya dialog dan hubungan positif. Negara perlu menerapkan strategi jangka panjang dan multifaset yang serius untuk melampaui “kontraterorisme” dan aliansi politik dan ekonomi.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.