Ketika koalisi tambun mengalami degradasi akibat hal yang di luar bayangan, pertanyaan eksitensial yang kemudian muncul adalah, “sekarang siapakah kami sebenarnya?”. Di sini kepribadian sang pemimpin menjadi faktor penting. Ia memiliki pengaruh besar terhadap proses sosial dan politik kelompok. Kecuali ia sendiri mengalami disintegrasi personalitas, sang pemimpin memiliki kartu truf dan inisiatip untuk menjinakkan sentimen kelompok. Ia dapat memimpin kelompok baik untuk hidup berdampingan secara damai dengan “orang sebelah”, maupun menjadi bahan bakar untuk memulai dan menyalakan perang. Setidaknya, ini yang ditulis Volkan (2004), “Blind Trust: Large Groups and Their Leaders in Times of Crisis and Terror”.
Volcan menganalisis sosok pemimpin yang “reparatif” atau, sebaliknya, yang “merusak” ketika kelompok berada dalam kondisi degradasi. Ia punya peluang untuk memperkuat identitas kelompok yang terancam agar tak mendevaluasi dan merusak kelompok lain. Langkah “reparasi” dimaksudkan sebagai langkah meningkatkan dan memodifikasi identitas kelompok ke arah pembangunan identitas baru atau, sebaliknya, menegaskan identitas yang ada dengan cara menghancurkan kelompok lain sebagai lawan satu-satunya. Dalam hal ini terdapat lima langkah sang pemimpin untuk merusak:
- Meningkatkan rasa “sama rata sama rasa” sebagai sesama korban penumpang kapal kelompok besar koalisi dengan melancarkan serangan bertubi ke pihak yang diposisikan sebagai musuh,
- Mengaktifkan kembali trauma yang dipilih secara purposif sehingga membangkitkan emosi.
- Meningkatkan rasa “kekitaan.”
- Mendevaluasi pihak musuh ke tingkat yang paling tidak manusiawi melalui dehumanisasi.
- Bersikap berlebihan untuk menunjukkan hak membalas dendam atau mengaktifkan kembali jargon-jargon politik yang aktif.
Dengan lima langkah, suasana dibuat sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok merasa berhak untuk menghancurkan musuh bahkan kalau perlu terlibat dalam pembersihan dan pemurnian diri dari kontaminasi oleh para “penyusup”. Tak ayal, kelompok besar ini cenderung kehilangan pijakan realistas dan menjadi sangat “sadis” terhadap musuh, atau sebaliknya mengidealisasikan musuh sebagai sosok pihak “masokis.” Pengaktifan kembali trauma dan revitalisasi ideologi akan berefek mendalam, baik bagi kelompok besar, maupun kelompok yang mereka anggap sebagai musuh; sehingga pada titik tertentu tindakan kelompok besar sulit dibedakan dari tindakan teroristik.
Politisi PKS: Bisa Saja Koalisi Tak Hadiri Sidang Umum MPR Lantik Jokowi-JK