Categories
Begini Saja

Meyakini Kebenaran Atau Membenarkan Keyakinan?

Mengapa selama periode penjajagan Capres-Cawapres pasca-pileg ini selalu terjadi kampanye negatif yang tak jarang sangat agresif? Mengapa orang lebih memilih percaya pada hal yang tidak benar atau tidak didukung oleh bukti?  Dalam diri kita terdapat beberapa faktor psiko-politik yang memainkan peran mengapa kita lebih memilih untuk percaya tanpa landasan kebenaran.

Pertama, kecenderungan mengidentifikasikan diri pada kepentingan sendiri. Orang cenderung memeluk keyakinan politik yang menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Mereka yang terkesan pada tindakan afirmatif yang ditawarkan lebih mungkin mempercayai tindakan ini berdasarkan perspektif keadilan menurut posisi dimana mereka berdiri. Si miskin percaya pada gagasan tentang keadilan yang diwujutkan melalui redistribusi kekayaan si kaya. Guru sekolah mendukung ide tentang peningkatan anggaran pendidikan. Artinya, orang lebih mengidentifikasikan diri dengan kelompok yang menjadi acuan mereka. Dosen lebih memilih mengidentifikasi diri dengan kelas pekerja daripada pengusaha sehingga lebih mendukung kebijakan yang menguntungkan pekerja kerah biru. Padahal, tidakkah kebijakan yang sama secara diametral merugikan kalangan pengusaha?

Kedua, kecenderungan mengkonstruksikan citra diri. Orang memilih memeluk keyakinan politik yang paling sesuai dengan gambaran diri mereka sendiri. Jika seseorang menghajatkan untuk menggambarkan dirinya sebagai sosok yang penuh kasih dan murah hati, maka ia akan termotivasi untuk mendukung keinginan dan versi keadilan menurut format kesejahteraan sembari meneriakkan ide tentang peningkatan pendapatan, semata agar lebih dapat merealisasikan gambaran diri sebagai sosok yang lebih murah hati. Orang lain mungkin saja ingin menggambarkan diri sebagai orang yang tangguh, sehingga lebih termotivasi untuk mendukung peningkatan anggaran belanja militer yang akan menjadikan dirinya lebih tangguh.

Ketiga, kecenderungan memfungsikan keyakinan sebagai alat pengikat sosial. Orang lebih memilih memeluk keyakinan politik dari sosok yang mereka sukai dan ingin mengasosiasikan diri dengannya. Karenanya, hampir tak mungkin orang yang tidak suka pada aura Orde Baru akan mengkonversi pandangan-pandangan Orde Baru, atau orang yang tidak suka pada sosok Prabowo Subianto akan mengkonversi pandangan-pandangan Prabowo Subianto. Termasuk di sini, daya tarik fisik sosok tersebut akan mempengaruhi kecenderungan orang untuk setuju dengan sosok tersebut secara politis. Implikasinya, sesama orang dengan orientasi politik tertentu lebih cenderung menghabiskan waktu bersama dibandingkan dengan sesama orang dengan orientasi politik yang berbeda. Orang juga cenderung menyesuaikan diri dengan keyakinan dan sikap orang di sekitar, terutama dengan orang yang mirip dengan dirinya. Orang yang biasa menggulung kemeja putih lengan panjangnya mungkin akan lebih tertarik pada sosok Jokowi daripada Prabowo Subianto yang biasa memakai baju safari ketat.

Keempat, kecenderungan melakukan bias koherensi. Orang cenderung mengalami “bias” menghadapi keyakinan yang sudah cocok dengan keyakinan yang sudah dimilikinya. Dengan bias seperti ini, orang masih menganggap diri sebagai pemilih rasional (tak tercemar oleh bias), meski pilihan ini sebenarnya berfungsi sebagai bias. Banyak orang yang percaya bahwa hukuman mati akan menghalangi kejahatan, sama halnya dengan banyak orang yang tidak percaya tentang hal yang sama. Sebaliknya, sangat sedikit orang yang berpikir bahwa hukuman mati akan mencegah kejahatan dan bahwa banyak orang tidak bersalah telah dihukum mati. Banyak pula yang berpikir bahwa hukuman mati gagal mencegah kejahatan, sementara berpikir bahwa sedikit orang yang tidak bersalah telah dihukum mati. Artinya, orang cenderung mengadopsi kedua keyakinan faktual yang sama-sama mendukung hukuman mati, atau mengadopsi kedua keyakinan faktual yang sama-sama melemahkan hukuman mati. Hal yang sama dapat diterapkan pada kontroversi tentang penculikan aktivis, lumpur Lapindo, atau antek Amerika.

Kecenderungan-kecenderungan psikopolitik tersebut menjelaskan kepada kita, kenapa orang cenderung terpolarisasi, terutama untuk mengadopsi keyakinan yang sangat kuat pada sisi tertentu dari isu-isu politik. Kita cenderung mengevaluasi bukti yang telah dicampur sedemikian rupa untuk dipakai sebagai pendukung dari keyakinan yang sudah kita peluk. Tujuannya, meski tidak selalu kita sadari, adalah untuk meningkatkan derajat keyakinan kita.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *