Apa penjelasan psikologi politik tentang kenegarawanan seorang pemimpin yang sering ditandai dengan keberanian menentang arus, bertindak inkonsistensi, dan kurang mempedulikan reputasi politiknya;[1] tetapi pada akhirnya tetap menunjukkan pusat kepedulian yang jelas dan konsisten terkait dengan kepentingan bangsa?
Psikologi politik akan melihat fenomena yang mirip ini dari sudut pandang psikologis, dengan mempertimbangkan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi perilaku pemimpin, yaitu berani melawan arus, bertindak tidak konsisten, tidak peduli dengan reputasi politik, tetapi tetap menunjukkan hal yang sudah jelas terkait pandangan politik, di mana fokusnya adalah pada kepentingan nasional.
Pandangan tersebut penulis adopsi dari Harold D. Lasswell, seorang profesor psikologi politik yang terkenal dengan teori “pembelotan elit”, di mana ia mengamati perilaku para pemimpin yang menentang kebijakan dan prinsip yang ada demi mencapai apa yang mereka anggap sebagai tujuan nasional yang lebih tinggi. Laswell percaya bahwa para pemimpin tersebut mungkin kurang konsisten dalam pendekatan mereka, tetapi mereka penting dalam memerangi stagnasi politik dan membawa perubahan yang diperlukan.[2]
Internalisasi
Penjelasan politik-psikologis yang mungkin terjadi adalah bahwa pemimpin telah menginternalisasikan misi atau visi yang ia yakini penting bagi kepentingan nasional, sehingga ia mampu mempertahankan fokus yang konsisten bahkan ketika menghadapi tren yang ada atau bertindak tidak konsisten. Pemimpin seperti itu –semoga ini yang tengah terjadi pada sosok Jokowi- mungkin mempunyai keyakinan yang kuat akan pentingnya tindakan-tindakan tersebut untuk mencapai apa yang ia lihat sebagai tujuan positif, seperti memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya atau memperjuangkan keadilan sosial.
Selain itu, sang pemimpin mungkin memiliki kualitas kepemimpinan yang kuat seperti kepercayaan, kejujuran, integritas, atau idealisme yang tinggi. Ciri-ciri tersebut dapat mempengaruhi perilaku sang pemimpin dalam membuat keputusan yang diyakininya benar, meskipun pengaruh tersebut mungkin kurang bermanfaat bahkan ugal-ugalan secara politik.
Ini juga bisa menjadi contoh dari apa yang disebut “moral hazard”, yang terjadi ketika seorang pemimpin menyadari pentingnya bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya benar, meskipun tindakan tersebut melibatkan risiko atau mengorbankan reputasi politiknya. Pada akhirnya, tipe pemimpin seperti ini cenderung menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi, sebagaimana dibuktikan dengan fokus yang jelas dan konsisten pada kepentingan nasional.
Nonkonformis
Kebanyakan pakar psikologi politik menganalisis perilaku pemimpin yang berani melawan arus, tidak konsisten dan tidak peduli dengan reputasi politik, nonkonformis atau ikonoklas; tetapi tetap berorientasi pada kepentingan negara. Mereka berpendapat bahwa beberapa pemimpin memilih untuk menentang kebijaksanaan konvensional atau norma-norma politik karena mereka yakin hal tersebut diperlukan demi kepentingan nasional.
Pandangan ini berbeda dengan asumsi bahwa beberapa pemimpin menghadapi tekanan politik dan eksternal yang kuat untuk menjadi lebih kreatif dan melawan arus. Ketika para pemimpin mengambil keputusan yang dianggap tidak konsisten atau tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat, sering kali dikatakan bahwa mereka lebih mementingkan kepentingan nasional jangka panjang dibandingkan reputasi politik masa lalu.
Namun, perlu dicatat bahwa teori ini belum diuji secara ketat, dan pandangan penulis mungkin tidak sepenuhnya mencakup seluruh aspek perilaku kenegarawanan yang ingin dijelaskan. Jelas bahwa setiap orang memiliki pengalaman, motivasi, dan prinsip masing-masing yang mempengaruhi perilakunya.
Penting untuk mengevaluasi opini dan analisis dari berbagai perspektif untuk mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap tentang perilaku manajemen dalam konteks yang berbeda. Tujuan artikel ini lebih untuk mematahkan konsensus opini publik, yang lebih disebabkan oleh kekecewaan karena orang yang disayanginya tiba-tiba mengambil langkah yang tidak bisa dipahami.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
[1]Jokowi: Saya Pertaruhkan Reputasi Politik. CNN Indonesia 29 Juni 2020. Terdapat di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200629082702-32-518464/jokowi-saya-pertaruhkan-reputasi-politik. Diakses 24 Oktober 2023.
[2]Dalam David Easton, “Harold Lasswell; Policy Scientist for a Democratic Society”. The Journal of Politics, Vol. 12, No. 3 (Aug., 1950), hal. 450-477. Terdapat di https://doi.org/10.2307/2126297.
3 replies on “Negarawan”
Sebagian orang juga kurang memahaminya, seperti Pak FX Rudy di Solo yang notabene berperan banyak ikut mensupport Pak Jokowi, juga kelihatan “entahlah” atas pencalonan cawa pres yg enum, meskipun sebagian konstelasi politik menjelaskan; biarkan publik melihat hanya ada 2 nama yang seakan berseteru, dan lantas lupa yang satunya
Politik bisa berbeda dengan suasana psikologi publik, atau bisa juga sama sama remang dan ujungnya belum diketahui.
Bagus tapi ulasannya masih minim atau kurang dikaitkan dg sikap maupun perilaku Jokowi.
Terima kasih, tanggapan Anda, Dr. Nugroho Depe
Saya rasa penilaian Anda mencerminkan situasi politik dan iklim psikologis masyarakat kita dalam beberapa hari terakhir. Saya sepakat, politik sering kali berbeda dengan sentimen dan persepsi publik. Di satu sisi, politik adalah perebutan kekuasaan dan strategi, yang seringkali terlihat berbeda dari apa yang diyakini atau diharapkan masyarakat. Di sisi lain, politik juga merupakan cerminan kemauan masyarakat, khususnya di negara penganut sistem demokrasi.
Insiden yang Anda gambarkan, di mana Jokowi seolah melakukan “omission error” dengan membiarkan anaknya berpasangan yang bekerja dengan mantan saingan lewat drama Mahkamah Konstitusi, merupakan simbol dari dinamika politik ini. Sebagian orang mungkin percaya bahwa ini adalah langkah terbaik untuk memenangkan pemilu dan mendapatkan dukungan publik, meskipun orang-orang terdekat, seperti FX Rudy tidak sepenuhnya memahaminya.
Pada titik ini, kita sebagai pengamat tidak/belum dapat mengetahui hasil dari situasi politik ini. Sebaliknya, kita masih bisa melihat bagaimana politik dan psikologi publik saling mempengaruhi dan berinteraksi. Mungkin kedua elemen ini tidak sepenuhnya berbeda atau identik – keduanya mengungkapkan dan menyembunyikan aspek-aspek tertentu dari realitas sekaligus menciptakan realitas baru.