Categories
Begini Saja

Sisi Konseling Pidato Prabowo dan Jokowi

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari post Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di laman Kompasiana, Opini, “Sisi Konseling Pidato Prabowo Dan Jokowi”, 3 Juni 2014.

Saya hanya sedikit menambahkan yang telah ditulis Fasya. Dengan keseharian saya yang dari jam ke jam melayani konseling, mulai dari masalah pribadi, pasangan, keluarga, preferensi pendidikan/pekerjaan, hingga perusahaan dan komunitas, saya punya catatan tersendiri tentang sisi konseling dari pidato 3 menitan pada acara pengambilan nomor undian Capres-Cawapres Minggu, 1 Juni pk 14.00 – 15.00:

Hemat saya, baik percakapan antar-pribadi maupun di depan publik harus dilakukan dengan kadar “genuinity” tertentu, tidak dibuat-buat. Pada komunikasi dengan kadar genuinity tinggi, seseorang akan menyampaikan pesan atau “teks” apa pun kepada orang lain setelah ia membaca “konteks”, sehingga teks menjadi kontekstual karena pemahaman tentang konteks. Di sini konteks mendahului teks. Selain itu, komunikasi dengan kadar genuinity tinggi juga merupakan sinkronisasi purna antara komunikasi dengan diri sendiri (komunikasi intrapersonal) sebelum melakukan komunikasi dengan diri lain (interpersonal).

Pada pidato PS saya merasakan bahwa komunikasi yang ia lakukan terpatok (standardized), dalam arti frame sudah dipersiapkan dan tinggal diisi data/teks yang berupa nama-nama yang kala itu ia amati di hadapannya. Teks ini bisa direplikasi menurut frame yang dipersiapkan sehingga mengabaikan konteks. Artinya, teks bisa dilantunkan di mana pun asal memiliki frame yang sama, bukan konteks yang sama. Konteks dari hajatannya adalah bahwa ia mendapatkan undian nomor 1, tetapi isi pidatonya tidak berada dalam konteks ini.

Dilihat dari sisi personalitas, menurut rasa saya PS nampak tidak melakukan dialog intrapersonal terlebih dulu sebelum melakukan percakapan interpersonal dengan diri lain. Bagi audiens yang melihat sekadar berdasarkan kelancaran wicara, mungkin pidatonya terkesan lancar, tetapi terasa kering. Di sana pemirsa diposisikan sebagai kata ganti orang kedua jamak (Kamu, Kalian) yang sedang diminta menyaksikan atribut dari orang ketiga jamak (Mereka), yakni nama-nama yang disebut dan diucapi terima kasih oleh PS.

Pada pidato JKW saya merasakan bahwa komunikasi yang ia lakukan mengajak secara “di sini dan kini” (here and now), dalam arti ia tidak menggunakan frame yang sudah dipersiapkan. Ia membaca konteks demi apa ia berpidato. Konteksnya adalah bahwa ia dan pasangannya mendapatkan undian nomor 2. Dari bacaan konteks ini, ia menyusun teks, sehingga semua teks yang ia tentukan merupakan tafsir implikatif dari konteks yang ia baca.

Dilihat dari sisi personalitas, JKW nampak menghela nafas dan melakukan dialog intrapersonal terlebih dulu sebelum meneruskan ke percakapan interpersonal dengan orang lain. Bagi audiens yang melihat sekadar berdasarkan kelancaran wicara, pidatonya dinilai tersendat, pakai mikir dulu, walau hasilnya “kompor gas” (meminjam istilah Indro, Warkop DKI). Di sana pemirsa diposisikan sebagai kata ganti orang pertama jamak (Kita) yang diajak bersama-sama untuk memaknai “teks dalam konteks”.

Bukan hanya pemirsa, tetapi pribadi-pribadi yang sedang diajak bicara oleh JKW di depan matanya juga ia ajak memaknai koinsidensi “teks dalam konteks” yang memproduksi “hiperkonteks” dari nomor urut 2. Di dalam percakapannya, audiens di hadapannya ia posisikan sebagai orang pertama jamak (Kita).

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *