“Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut cenderung korup,” demikian ungkap sejarawan Inggris Lord Acton. Banyak penelitian, terutama dari psikologi sosial, mendukung klaim Acton, walaupun dengan catatan yang lebih khusus bahwa kekuasaan membuat orang bertindak impulsif, baik yang terkait dengan tindakan sangat baik maupun sangat buruk; sehingga mereka yang berada pada posisi kekuasaan cenderung gagal memahami perasaan dan keinginan orang lain.
Jauh sebelum vonis terhadap Ahok, 9 Mei 2017, pun yang terjadi pada tingkatan kelembagaan yang jauh lebih tinggi, kekuasaan yudikatif menjadi faktor pendorong munculnya pertimbangan hukum yang kurang cermat di kalangan hakim Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Sebuah studi yang dipimpin oleh psikolog Stanford, Deborah Gruenfeld, membandingkan antara keputusan hakim agung Amerika Serikat saat memberikan pendapat yang mendukung posisi mayoritas yang berkuasa dan posisi minoritas yang cenderung kalah dan lemah.
Gruenfeld berkesimpulan, posisi argumentasi para hakim yang mendukung kepentingan mayoritas cenderung kalah canggih dibandingkan posisi argumentasi dari para hakim yang memberikan opini dengan posisi minoritas. Di sini soalnya ada pada canggih-tidaknya argumentasi untuk menjatuhkan vonis, dan bukan pada adil-tidaknya vonis yang dihasilkan; sebab dalam konteks ini, keadilan adalah konsekuensi dari kebenaran, sama halnya ketidakadilan adalah konsekuensi dari kesesatan argumentasi.
Yang lebih meresahkan, orang yang berada pada posisi kekuasaan cenderung bertindak seperti sosiopat. Mereka cenderung menyela omongan orang lain, memotong pembicaraan tanpa meminta ijin, dan gagal menghargai orang lain yang sedang berbicara. Mereka juga cenderung menggoda teman dan sejawat dengan cara memusuhi dan mempermalukan.
Survei pada tingkatan organisasi menemukan bahwa kebanyakan perilaku yang diwarnai teriakan kasar, umpatan, makian adalah perilaku yang lebih sering datang dari kalangan individu dalam posisi yang lebih berkuasa, terlepas apakah posisi kekuasaan itu karena mayoritas dalam kepemelukan agama, keanggotaan golongan, etnisitas tertentu, atau representasi mayoritas lain.
Siapa pun yang berada pada posisi kekuasaan cenderung berperilaku mirip pasien yang mengalami gangguan pada lobus orbitofrontal otak mereka (daerah lobus frontal di belakang soket mata), yang merupakan penyebab perilaku impulsif dan tidak sensitif. Posisi berkuasa bahkan bertanggung jawab pada terjadinya agresi yang lebih berbahaya.
Dalam Eksperimen Penjara Stanford, psikolog Philip Zimbardo secara acak menugaskan mahasiswanya untuk bertindak sebagai penjaga penjara. Mahasiswa yang berperan sebagai penjaga penjara tergoda melakukan penyalahgunaan kekuasaan, yakni dengan menyiksa rekan-rekan mereka, yang berperan sebagai tahanan.
Semua paparan tersebut menggambarkan, betapa kekuasaan bersifat paradoksal. Benar bahwa kekuasaan diberikan kepada individu, kelompok, atau negara untuk kepentingan kebaikan yang lebih besar dengan cara cerdas secara sosial. Namun sayangnya, kekuasaan membuat banyak individu menjadi impulsif dan kurang selaras dengan orang lain sebagaimana yang terjadi pada para pasien yang bermasalah pada lobus frontalis, sehingga cenderung bersikap kasar dan kehilangan penghargaan kepada sesamanya. Apa yang diharapkan orang dari para pemimpin mereka –kecerdasan sosial– tampaknya juga merupakan hal yang telah rusak akibat pengalaman berkuasa sebagai pemimpin.
Dengan mengenali paradoks kekuasaan dan semua perilaku destruktif yang bersumber darinya, kita melihat pentingnya model kekuasaan yang lebih cerdas sosial. Benar bahwa perilaku sosial didikte oleh harapan sosial, namun dengan mengritisi mitos dan kesalahpahaman tentang kekuasaan ini, kita bisa lebih mengenali kualitas yang seharusnya dimiliki orang yang berkuasa, dan lebih memahami bagaimana mereka harus menggunakan kekuasaan mereka.
Dengan demikian, kita akan memiliki toleransi yang jauh lebih sedikit terhadap orang yang memimpin berdasarkan penipuan, pemaksaan, atau kekuasaan yang tak semestinya. Bila kita mampu melihat perbedaan antara penggunaan kekuasaan yang bertanggung jawab dan tidak bertanggung jawab, juga melihat pentingnya praktik tanggung jawab dan kecerdasan sosial, niscaya kita mampu memilih dan memilah langkah penting yang lebih mempromosikan kehidupan bangsa yang lebih cerdas, taman bermain yang lebih damai, dan masyarakat yang dibangun di atas kerja sama dan rasa saling percaya.
Berpedoman pada nasihat Machiavelli atau Greene, mungkin kita telanjur percaya bahwa untuk meraih tangga kekuasaan yang diperlukan adalah kekuasaan, tipuan, manipulasi, dan pemaksaan. Kita bahkan mungkin beranggapan bahwa posisi kekuasaan mempersyaratkan perilaku di mana untuk berjalan lancar, masyarakat membutuhkan pemimpin yang mau dan dapat menggunakan kekuasaan dengan tipuan, manipulasi, dan pemaksaan.
Ilmu pengetahuan telah mengungkap bahwa kekuasaan dipegang paling efektif bila digunakan secara bertanggung jawab oleh orang yang tepat, terutama oleh mereka yang mau terlibat dengan kebutuhan dan kepentingan orang lain. Berbagai penelitian menunjukkan, empati dan kecerdasan sosial jauh lebih penting untuk memperoleh dan menjalankan kekuasaan daripada kekerasan, penipuan, atau teror.
Berbagai penelitian ini menggerus mitos lama tentang apa yang diklaim sebagai kekuasaan sejati, bagaimana cara mendapatkannya, dan bagaimana orang menggunakannya. Berbagai penelitian juga menunjukkan, begitu orang menempati posisi berkuasa, mereka cenderung bertindak lebih egois, impulsif, agresif, dan lebih sulit melihat dunia dari sudut pandang orang lain.
Inilah yang kita persoalkan sebagai paradoks kekuasaan bahwa keterampilan yang paling penting untuk mendapatkan kekuasaan dan memimpin secara efektif pada saat yang sama adalah juga keterampilan yang kian memburuk begitu orang bersimbah kekuasaan. Paradoks kekuasaan mengharuskan kita selalu waspada terhadap pengaruh kekuasaan yang korup dan kemampuannya untuk mendistorsi cara kita memandang diri kita dan memperlakukan orang lain.
Paradoks ini juga menjelaskan betapa pentingnya mitos tentang kekuasaan, yang memberikan arahan sehingga kita memilih justru jenis pemimpin yang salah. Juga arahan untuk mentolerir pelanggaran berat kekuasaan.
Alih-alih mengalah pada pandangan dunia Machiavellian yang telah membawa kita memilih pemimpin Machiavellian, tidakkah kita perlu mempromosikan model kekuasaan yang berakar pada kecerdasan sosial, tanggung jawab, dan kerja sama?
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.