Categories
Begini Saja

Pembohong Pun Memilih Untuk Tak Berbohong

Tahukan Anda bahwa pembohong pun memilih untuk tidak berbohong? Kebohongan selalu membawa risiko keterbongkaran. Sebelum menjawab pertanyaan yang berisi kebohongan, sang pembohong biasanya akan mencoba untuk menghindari menjawab pertanyaan. Salah satu jurus yang dipakai untuk menghindari pertanyaan adalah merespon dengan pertanyaan balik. Misalnya:

“Kenapa PKS harus menipu Prabowo?”
“Apakah personil PKS tampak seperti tipe sekelompok orang yang akan melakukan seperti itu?”
“Jangan Anda pikir bahwa Prabowo itu bodoh. Tidakkah lebih baik Anda berpikir bahwa justru Prabowolah yang mempercayai PKS?”

Para psikolog dan ahli bahasa yang mempelajari pilihan bahasa dan kata dari para subjek eksperimen menemukan adanya perbedaan antara pernyataan jujur dan menipu. Susan Adams, seorang instruktur yang mengajar analisis teks di Akademi FBI, menggambarkan proses pemilihan bahasa dan kata tersebut ke dalam dua bagian (lihat “Statement Analysis: What Do Suspects’ Words Really Reveal?”. FBI Law Enforcement Journal, October 1996). Pertama, menentukan apa yang khas pada pernyataan jujur. Kedua, mencari penyimpangan dari norma yang berlaku.

Contoh di atas merupakan salah satu indikator dari penyembunyian atau kamuflase dari kebohongan. Susan Adams menemukan 9 indikator lainnya:

1. Kurangnya referensi-diri: Si Jujur sering menggunakan kata ganti orang pertama (“aku”) untuk menjelaskan tindakan mereka. Sebaliknya, pembohong sering menggunakan bahasa yang meminimalkan referensi untuk diri mereka sendiri (self-reference). Salah satu cara untuk mengurangi self-reference adalah menggambarkan peristiwa dalam bentuk kalimat pasif.

Misal:

“Pada kotak suara yang tersisa tidak terdapat surat suara yang tercurangi” BUKAN “Kami menyisakan kotak suara yang berisi surat suara yang tanpa kecurangan.”

“Pengiriman kotak suara itu resmi dari Kebupaten/Kota ke Provinsi” BUKAN “Kami telah mengirimkan kotak suara itu secara resmi dari Kebupaten/Kota ke Provinsi.”

2. Kelengkapan Keterangan Waktu: Orang Jujur menggambarkan peristiwa sejarah secara rinci dalam bentuk waktu lampau (paling kentara dalam gugus bahasa Dominan). Pembohong mengacu pada peristiwa masa lalu seolah-olah sebagai peristiwa pada saat ini.

Misal: “Hasil Pilpres ini penuh kecurangan yang dilakukan sistematis, masif, dan terstruktur” TANPA menunjukkan bagian dari peristiwa yang menjustifikasi adanya kecurangan yang dilakukan sistematis, masif, dan terstruktur.

3. Pengelakan: pembohong biasanya menghindari pertanyaan pewawancara dengan ekspresi ketidakpastian, rentan ubah, dan mengandung kesamar-samaran melalui kata-kata, seperti: “saya pikir”, “sekiranya”, “semacam”, “mungkin”, “kira-kira”, “sekitar”, “boleh jadi”.

4. Obral Sumpah: Pembohong berusaha sangat keras meyakinkan bahwa apa yang mereka katakan adalah benar bahkan dengan menggunakan sumpah: “demi kehormatan partai,” “demi nama Tuhan”.

5. Eufemisme: Dimaksudkan untuk lebih menguntungkan dan meminimalkan bahaya suatu tindakan berkaitan dengan ulah pembohong. Misalnya: “hilang” BUKAN “dicuri,” “dipinjam” BUKAN “diambil,” “bergesekan” BUKAN “saling memukul”.

6. Menyinggung suatu tindakan: Pembohong suka menyinggung adanya tindakan tanpa mengatakan bahwa tindakan tersebut terkait dengan diri mereka. Misal: “Benar bahwa saya menguap ketika mendengarkan presentasinya” BUKAN “Saya mengantuk”.

7. Kurangnya Rincian: Pembohong membuat pernyataan yang miskin rincian, tetapi sangat relevan dengan pertanyaan yang diajukan. Mereka cenderung untuk menjaga pernyataan mereka sesederhana dan sesingkat mungkin. Mereka berusaha meminimalkan risiko agar terjadi konklusi yang bertentangan dengan pernyataan. Misal: “Di DKI saja terjadi kecurangan, apalagi di provinsi lain”.

8. Keseimbangan Narasi: Narasi terdiri dari tiga bagian: prolog, kejadiannya dan akibatnya; dengan sebaran 20, 40, dan 25 persen. Narasi pembohong cenderung berubah menjadi 25 persen prolog, 60 persen kejadian, dan 35 persen akibat. Jika salah satu bagian dari narasi secara signifikan lebih lama dari yang diharapkan, kemungkinan besar narasi diisi dengan informasi palsu.

9. Pemerataan Panjang Ucapan: Rumusan yang umum, jumlah rata-rata kata per kalimat (Panjang Rata-rata Ucapan) sama dengan jumlah kata dalam sebuah pernyataan dibagi dengan jumlah kalimat. Ketika orang merasa cemas tentang masalah, mereka cenderung berbicara dalam kalimat yang baik jauh lebih lama maupun lebih pendek dari norma.

Dari uraian ini saya yakinkan bahwa pembohong pun memilih untuk tidak berbohong. Kebohongan selalu membawa risiko keterbongkaran. Ingat lagi Iwan Fals tentang ini? Sebelum menjawab pertanyaan dengan jawaban yang berisi kebohongan, pembohong biasanya berusaha menghindari menjawab pertanyaan dengan mengajukan pertanyaan balik seperti pada berita berukut:

Siapa Bilang PKS Menipu Prabowo, yang Ada Prabowo Percaya PKS

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *