“Silent majority” (SM) merupakan istilah yang sering digunakan untuk merujuk pada sebagian besar pemilih yang tidak secara vokal mengungkapkan pendapat atau pilihan politik mereka, tetapi SM memainkan peran penting dalam menentukan hasil pemilu melalui suara mereka. Istilah ini populer digunakan di Amerika Serikat selama periode tahun 1960-an dan 1970-an, terutama di era Presiden Richard Nixon.
Hipotesis tentang kemenangan hasil pemilihan presiden berkat dukungan dari SM sulit untuk diverifikasi secara langsung dan pada saat pencoblosan sedang berlangsung karena sifat SM yang tidak kelihatan dan sering tidak terduga. Namun, dapat ditandai dengan kemenangan yang tidak terduga atau margin kemenangan yang sangat besar yang mungkin menyimpang atau bertentangan dengan hasil jajak pendapat atau pendapat umum yang dinyatakan sebelumnya.
Ada beberapa contoh hasil pemilihan presiden di mana pasangan calon presiden dan wakil presiden menang dengan mutlak, sering kali mendekati atau melebihi 60%, sebagai hasil dari dukungan dari SM, antara lain:
Pertama, Pemilihan Presiden 1984 di Amerika Serikat, di mana Presiden Ronald Reagan memperoleh kembali jabatan dengan kemenangan telak terhadap penantangnya, Walter Mondale. Reagan memenangkan 525 dari 538 suara elektoral dan meraih 58,8% suara populer. Kemenangan besar ini didorong oleh dukungan besar dari SM yang merasa puas dengan kinerja Reagan selama periode pertamanya.
Kedua, Pemilihan Presiden 1972 di Amerika Serikat, di mana Presiden Richard Nixon terpilih kembali dengan margin kemenangan besar atas penantangnya dari Partai Demokrat, George McGovern. Nixon mendapat sekitar 60,7% suara populer dan 520 dari 538 suara elektoral. SM mendukungnya karena berbagai alasan, termasuk kebijakan luar negerinya dan janji untuk mengembalikan stabilitas di tengah-tengah protes sosial dan perang Vietnam.
Ketiga, Pemilihan Presiden 2018 di Rusia, di mana Presiden Vladimir Putin terpilih kembali dengan suara yang sangat besar, mendapatkan sekitar 76% suara. Meski ada pertanyaan seputar kebebasan dan keadilan dari pemilihan tersebut, angka ini menampilkan adanya dukungan luas dalam populasi, yang dapat dipandang sebagai manifestasi dari sebuah SM yang merasa bahwa Putin membawa stabilitas dan kebanggaan nasional bagi Rusia.
Keempat, Pemilihan Presiden 2016 di Filipina, di mana Rodrigo Duterte menang dalam pemilu dengan cara yang tidak terduga bagi banyak pengamat politik. Meskipun dia memiliki banyak kritikus yang vokal, ada sejumlah besar pemilih yang diduga tidak menyuarakan dukungan mereka secara terbuka yang turut berkontribusi pada kemenangannya yang signifikan.
Kelima, Pemilihan Presiden 2017 di Prancis, di mana Emmanuel Macron menang melawan Marine Le Pen dengan margin yang cukup besar. Sebelumnya, ada kekhawatiran bahwa tren populis dan suara dari kanan jauh yang diam-diam mendukung Le Pen mungkin mengarah pada kejutan dalam pemilu, tetapi hasil akhir menunjukkan bahwa ada dukungan yang cukup besar dan mungkin tak terduga untuk Macron dari pemilih yang tidak vokal dari kalangan SM.
Dalam setiap kasus, meskipun terjadi indikasi adanya dukungan dari SM, tetap sangat sulit untuk mengukur atau membuktikan konsep tersebut secara empiris karena sifat keberadaan mereka yang tidak terlihat dan sering kali tidak diungkapkan melalui jajak pendapat atau diskusi umum. Kemenangan besar seperti ini sering kali mengindikasikan bahwa kampanye calon berhasil menjangkau dan memobilisasi pemilih yang tidak sering terlibat secara aktif dalam politik atau tidak mengekspresikan pendapat politik mereka secara publik.
SM dapat berperan menentukan dalam pemilihan presiden, karena mereka merupakan proporsi besar populasi pemilih yang keputusannya tidak selalu dapat diprediksi oleh analisis politik konvensional.
Militansi Vs Silent Majority
Dalam sebuah dinamika yang riuh dan kadang mengejutkan, para pendukung militan Paslon capres-cawapres nomor urut 01 dan nomor urut 03 sedang menyatukan diri dalam satu “Koalisi 04” yang kuat. Setelah hasil Quick Count, di mana Paslon nomor urut 02 berhasil meraih persentase tertinggi pilpres, tak terelakkan bahwa kekecewaan menyelimuti para pendukung 01 dan 03.
Namun, apa yang membuat perlawanan ini begitu menarik untuk diulas adalah bonus suara yang didapatkan Paslon nomor urut 02 dari SM sehingga Prabowo-Gibran (tercatat per 27 Februari 2024 pukul 07:16) mengumpulkan 75.020.856 suara atau 58,84%. Anies-Cak Imin sebanyak 31.184.766 atau 24,46%, sedangkan Ganjar Pranowo-Mahfud MD 21.291.678 atau 16,7%.
Komposisi hasil perolehan suara nomor urut 02 sebesar 58,84% tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan angka elektabilitas capres-cawapres menurut Indikator Politik Indonesia dengan data yang diambil antara 28 Januari-4 Februari 2024 dan dirilis pada tanggal 13 Februari 2024, di mana Prabowo-Gibran memperoleh 51,8%. Selisih sebesar 7,04% di sini dapat dibaca sebagai bonus suara dari SM.
Dalam upaya Koalisi 04 untuk mendelegitimasi dan meruntuhkan hasil Pilpres (baca: bukan pemilu), perlawanan mereka bahkan mengagendakan pelaksanaan Hak Angket di DPR. Pertanyaannya adalah, apa yang membuat mereka begitu bertekad dan percaya diri?
Analisis psikologi politik pada perilaku pemilih dan pendukung dalam konteks pemilihan presiden sangat beragam, tetapi ada beberapa perspektif untuk memahami dinamika yang terjadi sehingga para pendukung begitu bertekad dan percaya diri untuk mendelegitimasi hasil Pilpres.
Pertama, terjadi ketidaksesuaian (“disonansi kognitif” menurut Leon Festinger) antara keyakinan dan perilaku yang akan menimbulkan ketidaknyamanan psikologis. Pendukung fanatik dan militan yang kehilangan bisa mengalami disonansi karena kenyataan pilpres bertentangan dengan keyakinan kuat mereka akan kemenangan. Mereka mencoba untuk mengurangi disonansi ini melalui justifikasi, penolakan hasil, atau bahkan aksi lain yang lebih ekstrem.
Kedua, para pendukung militan kemungkinan memiliki identitas sosial kuat yang terkait dengan paslon mereka (diadopsi dari konsep identitas sosial dari Henri Tajfel dan John Turner), sehingga bagi mereka kekalahan di pilpres dirasakan sebagai ancaman terhadap identitas grup/sosial/kubu mereka, sehingga mereka memobilisasi untuk melindungi identitas tersebut.
Ketiga, narasi-narasi yang digunakan oleh pendukung militan bisa menjadi frame/kerangka (konsep “Framing” dari Erving Goffman) atau “diframing” agar mendorong mereka melihat hasil pemilu sebagai tidak sah atau tercemar oleh ketidakadilan, yang membenarkan tindakan-tindakan ekstrem.
Keempat, perlawanan ini berhubungan dengan rasa memiliki terhadap ide atau kelompok (berbasis pada Teori Kepemilikan Psikologis), di mana pendukung fanatik merasa memiliki paslon mereka, sehingga kekalahan di pilpres dapat dirasakan sebagai kehilangan pribadi yang mendalam.
Dengan demikian, keempat mekanisme psikologis –disonansi, keterancaman identitas sosial, framing, rasa memiliki– mendapatkan reaksi berupa SM dengan beberapa penalaran berikut:
Pertama, perilaku SM juga dapat dipahami (melalui Teori Pengaruh Mayoritas), di mana mayoritas dapat memberikan tekanan sosial sehingga menghasilkan konformitas. Namun, dalam kasus SM, mereka berperilaku sesuai dengan keinginan pribadi dan bukannya tekanan luar, sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan dari kelompok militan bahkan fanatik.
Kedua, kelompok SM mungkin memilih tidak mengekspresikan pilihan politik mereka sampai di bilik suara, tempat mereka merasa bebas dari pengaruh sosial atau tekanan. Pemahaman ini diadopsi dari teori Efek Spiral Keheningan (dicetuskan oleh Elisabeth Noelle-Neumann) yang menjelaskan bagaimana pendapat yang didominasi oleh satu kelompok bisa menghambat ekspresi pendapat yang berseberangan.
Ketiga, meskipun minoritas itu kecil, mereka dapat mempengaruhi opini atau perilaku mayoritas. Pemahaman yang diadopsi dari Teori Pengaruh Minoritas (Moscovici) ini bisa menjadi relevan di sini, di mana SM memilih sebagai bentuk perlawanan, karena pengaruh militansi dan fanatik mayoritas telah menimbulkan ketidaknyamanan sosial atau psikologis.
Singkatnya, perilaku SM yang akhirnya memilih berdasarkan keamanan dan kenyamanan juga merupakan reaksi yang begitu kompleks terhadap dinamika sosial yang diciptakan oleh ketegangan politik.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
5 replies on “Signifikansi “Silent Majority””
Ed, tulisan di atas menambah wawasan. Jadi lebih bisa memahami bagaimana individu memberikan suara sebagai bentuk hak politik, memilih wakilnya. Kali ini tidak perlu sampai “ribet” utk dapat insight. Thanks. Teruslah berkarya …
Dr, Mildawani,
Terima kasih telah membaca ulasan pendek di atas.
Dalam perspektif psikologi politik, memberikan suara sebagai bentuk hak politik bisa membuat individu merasa memiliki kontrol dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik. Mengambil peran sebagai silent majority, individu mungkin cenderung memilih untuk tidak terlibat secara aktif dalam diskusi politik terbuka di WAG atau kampanye publik.
Mereka mungkin merasa lebih nyaman memposisikan diri sebagai pemilih diam-diam tetapi tetap mempengaruhi hasil pemilihan dengan memberikan suara. Dalam konteks ini, individu silent majority dapat merasa bahwa keputusan mereka yang rahasia tetap berharga dan efektif dalam mendorong perubahan politik yang mereka inginkan tanpa harus menghadapi konfrontasi sosial atau politik yang mungkin timbul jika mereka berada di pihak yang terlihat secara terbuka.
Namun, dari perspektif psikologi politik, membentuk kelompok silent majority juga dapat melibatkan faktor-faktor psikologis seperti tekanan sosial dan norma kelompok. Sebagai contoh, individu yang cenderung menjadi bagian dari silent majority mungkin merasa bahwa pandangan politik mereka bertentangan dengan norma yang dominan di lingkungan sosial mereka. Mereka mungkin tidak ingin menghadapi kritik, oposisi, atau isolasi sosial karena perbedaan pandangan politik.
Dalam hal ini, pemilihan untuk menjadi bagian dari silent majority adalah cara untuk tetap menyuarakan preferensi politik mereka tetapi dengan cara yang lebih aman dan terlindungi. Meskipun keputusan silent majority dapat memberikan mereka kepuasan karena mereka masih dapat memberikan suara tanpa harus menghadapi dampak sosial yang mungkin tidak diinginkan, namun bisa juga berarti bahwa beberapa perspektif politik minoritas tidak dapat diperhitungkan secara adil dalam proses pembuatan keputusan politik.
Mungkin ini semacam strategi “golden middle” untuk tetap melibatkan diri tanpa harus larut dalam pusaran.
Mengutip pendapat Mas Edi,… “perspektif politik minoritas”…, teringat bahwa beberapa individu yang selama 17 tahun melakukan aksi Kamisan di depan Istana Negara Jakarta, bagaimana menjelaskan saudara2 kita yang setiap kamis melakukan aksi tersebut tersebut dari perspektif politik minoritas?
Terima kasih, tanggapannya, Mas Sugeng.
Maaf, hampir terlewat karena tertimpa isu yang lebih signifikan kemarin (01/03/24).
Kelompok orang yang melakukan aksi Kamisan (aksi setiap hari Kamis) di depan Istana Negara selama 17 tahun dapat dilihat dari perspektif politik minoritas dan melalui pendekatan Psikologi Politik.
Dalam konteks politik minoritas, kelompok ini mungkin mewakili suara dan kepentingan sekelompok orang yang secara sosial atau politik dianggap sebagai minoritas atau memiliki sedikit kekuatan politik. Mereka mungkin memiliki tujuan atau tuntutan yang tidak sepenuhnya diakui atau diprioritaskan oleh mayoritas atau pemerintah. Dalam hal ini, aksi Kamisan menjadi sarana bagi mereka untuk menyuarakan aspirasi dan kekhawatiran mereka, serta untuk memperoleh perhatian dan menjadi bagian dari proses politik yang lebih luas.
Dalam pendekatan Psikologi Politik, aksi Kamisan dapat dipahami sebagai ekspresi dari identitas politik kelompok tersebut dan penyaluran emosi, keyakinan, atau kekecewaan mereka. Psikologi Politik menyoroti peran emosi, motivasi, dan keyakinan individu dalam membentuk perilaku politik. Kelompok ini mungkin merasa frustrasi, marah, atau tidak puas dengan keadaan atau kebijakan yang mereka anggap tidak adil atau merugikan. Aksi Kamisan menjadi cara bagi mereka untuk mengungkapkan emosi dan keyakinan mereka, serta mencoba mempengaruhi perubahan dalam sistem politik.
Selama 17 tahun aksi Kamisan berlangsung, kelompok ini mungkin telah mengembangkan identitas kolektif yang kuat dan solidaritas di antara anggotanya. Mereka mungkin merasa bahwa aksi ini adalah satu-satunya cara yang efektif untuk memperjuangkan tujuan mereka. Psikologi Politik juga menyoroti pentingnya identitas politik dalam membentuk perilaku politik. Identitas kolektif ini dapat membantu mereka bertahan dan tetap aktif dalam aksi Kamisan meski menghadapi tantangan dan hambatan.
Secara keseluruhan, dari perspektif politik minoritas dan pendekatan Psikologi Politik, aksi Kamisan dapat dipahami sebagai upaya kelompok orang untuk menyuarakan kepentingan dan tuntutan mereka yang mungkin diabaikan atau tidak diakui dalam proses politik yang lebih luas. Aksi ini juga mencerminkan peran emosi, motivasi, dan identitas politik dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku politik kelompok tersebut.
Terimakasih Mas Edy untuk membantu menyampaikan uraiannya.