Problematika psikologis-politis apa yang sedang terjadi ketika PKB harus mendisiplinkan kadernya yang menjabat Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) karena dianggap menyimpang dari keputusan partai? Sebagaimana diberitakan media, dalam acara doa bersama Wahana Nagara Raharja di Solo pekan lalu Gus Yaqut mengingatkan rakyat agar tidak memilih calon presiden yang bermulut manis dan menggunakan agama sebagai alat meraih kekuasaan. Terkait kasus ini, wacana “petugas partai” sebenarnya ditujukan tak hanya kepada Ketua Umum PDIP, tetapi secara langsung juga kepada Ketua Umum PKB.
Problematika yang terjadi berasal dari sikap Gus Yaqut dalam menyampaikan pandangannya yang tampaknya tidak selaras dengan PKB, partainya. Tindakan Gus Yaqut yang memperingatkan rakyat untuk tidak terbuai oleh calon presiden berlidah manis dan menyalahgunakan agama untuk kepentingan politik mungkin berseberangan dengan kebijakan partai. Postulat dalam konteks partai politik adalah, seorang kader yang memiliki posisi di pemerintahan seharusnya mematuhi sikap serta kebijakan partainya. Jika berbeda, ia harus mampu mempertimbangkan dengan baik antara kepentingan partai dan kepentingan publik.
Dilema
Menurut perspektif psikologi politik, seorang kader partai yang memiliki posisi di pemerintahan sebagaimana Gus Yaqut tentu menghadapi dilema antara kepatuhan terhadap sikap serta kebijakan partainya dan kepentingan umum/publik. Sikap dan kebijakan partai sering kali mencerminkan tujuan dan nilai-nilai yang dipegang oleh partai tersebut, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan kepentingan umum.
Salah satu pandangan yang relevan dalam konteks ini dapat ditemukan dalam tulisan dari David J. Schneider,[1] seorang pakar psikologi politik. Dalam tulisannya yang berjudul “Political Psychology and Ideological Rationalization,” Schneider membahas bahwa kader partai yang memiliki posisi di pemerintahan mungkin cenderung untuk melakukan rasionalisasi ideologis. Hal ini berarti mereka cenderung menyusun alasan atau justifikasi yang sesuai dengan pandangan partai mereka, bahkan jika alasan tersebut tidak selalu sejalan dengan kepentingan umum. Beberapa kader partai –salah satunya Gus Yaqut- mungkin memiliki komitmen kuat terhadap kepentingan umum dan dapat mempertimbangkan sikap dan kebijakan partai mereka dengan lebih kritis.
Dalam situasi seperti ini, penting bagi kader partai untuk melakukan refleksi diri secara kritis dan mempertimbangkan akibat dari keputusan yang mereka ambil. Seorang kader partai yang berkualitas akan berusaha untuk menemukan keseimbangan antara kepatuhan kepada partai dan pelayanan kepada kepentingan umum, dengan mempertimbangkan nilai-nilai moral dan etika yang melandasi tindakan mereka.
Standar ganda ‘Petugas Partai’
Dengan munculnya “pendisiplinan kader” yang tertuju kepada Gus Yaqut tampaknya wacana “petugas partai” sebenarnya ditujukan tidak hanya kepada Ketua Umum PDIP, tetapi juga kepada Ketua Umum PKB. Hal ini karena peran Gus Yaqut sebagai petugas partai dan sejauh mana ia bisa mempertahankan integritas dan independensinya sebagai pejabat publik adalah bagian dari pertimbangan publik. Kedua jabatan tersebut memerlukan keseimbangan, selain etika yang kuat memegang peranan penting dalam mencapai keseimbangan tersebut.
Dalam situasi seperti ini, seorang “petugas partai” dapat mengacu pada parameter etika yang dapat membantu mereka menentukan tindakan yang tepat saat menempati posisi di pemerintahan. Salah satu pendekatan yang relevan adalah “prinsip etika universal” yang dikemukakan oleh pemikir etika, Immanuel Kant. Prinsip ini menyatakan bahwa tindakan harus didasarkan pada kecenderungan yang dapat dijadikan prinsip umum yang berlaku untuk semua orang.
Dalam konteks psikologi politik, seorang pakar yang terkait adalah Dr. Shanto Iyengar,[2] yang mengemukakan konsep “political self-perception“. Petugas partai dapat mengintegrasikan identitas politiknya dengan tugas pemerintahannya melalui proses “memersepsi diri sendiri”, di mana mereka mencocokkan tindakan mereka dengan keyakinan dan nilai-nilai politik yang lebih luas, termasuk kepentingan umum/publik.
Betapa pun, di luar faktor pelaku, dalam situasi politik yang kompleks dan bervariasi konflik antara kepentingan partai dengan kepentingan umum dapat saja muncul. Setiap individu memiliki peran yang unik dalam menentukan prioritas mereka. Sangat penting untuk mempertimbangkan kendala etis dan hukum yang berlaku serta melakukan pertimbangan moral yang menyeluruh dalam mengambil keputusan.
Wacana “petugas partai” dalam kasus Gus Yaqut mencerminkan tantangan bagi siapa pun politisi yang juga menjabat sebagai pejabat publik. Terdapat harapan bahwa mereka harus mampu menjalankan dua peran sekaligus: sebagai anggota partai dan pemegang jabatan publik. Dalam situasi ideal, kedua peran tersebut harus saling melengkapi dan bukan menjadi sumber konflik. Ketika konflik timbul, persoalannya menjadi lebih kompleks karena melibatkan persoalan etika dan moralitas publik.
Wacana yang disampaikan oleh Gus Yaqut tampaknya memunculkan suatu pertanyaan kepada figur-figur partai lainnya, termasuk Ketua Umum PKB. Sejauh mana mereka dapat menjaga keberimbangan antara peran mereka sebagai petugas partai dan peran mereka sebagai pejabat publik? Dalam hal ini, organisasi partai harus mempertimbangkan sejauh mana kepentingan partai dapat dicapai tanpa mengorbankan kepentingan publik.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
[1] David J. Schneider, “Political Psychology and Ideological Rationalization”. Dalam Person Perception (Addison-Wesley Series in the Life Sciences), 1979.
[2] Shanto Iyengar and Simon Jackman, “Technology and Politics: Incentives for Youth Participation”. International Conference on Civic Education Research, New Orleans, November 16-18, 2003.
One reply on “Petugas [Partai] Versus Pejabat [Publik]”
Nice. Lanjutkan.