Categories
Kok Begitu

Politisasi Etika

Dalam pergulatan politik, pemisahan antara apa yang etis dan apa yang tidak sering kali menjadi blunder yang memicu perdebatan panjang antara para pelaku politik. Strategi politik yang dikerjakan oleh suatu pihak sering kali menjadi arena pertarungan interpretasi etika. Faksi yang kalah dalam kontestasi politik kerap kali mengasosiasikan kekalahan mereka dengan praktik yang tidak etis dari pihak pemenang. Sebaliknya, pihak yang menang cenderung memandang klaim etika dari lawan politiknya sebagai serangan yang justru tidak etis karena mengabaikan realitas keras dari arena politik. Fenomena ini mengindikasikan adanya politisasi etika, di mana etika dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik tertentu.

Robert Axelrod, dalam karyanya The Evolution of Cooperation (1984), mengemukakan teori tentang bagaimana kerja sama dan konflik dapat terbentuk dalam praktik politik. Axelrod mencetuskan bahwa dalam politik, persepsi tentang etika sering kali dimanipulasi untuk kepentingan strategis. Hal ini relevan dengan situasi di mana faksi politik menuduh lawan mereka bertindak tidak etis sebagai taktik untuk mendiskreditkan mereka di mata publik, sementara secara diam-diam menerapkan strategi yang serupa. Kesimpulan Axelrod mengisyaratkan bahwa dalam politik, etika sering kali menjadi relatif tergantung pada posisi kekuasaan.

Pertarungan interpretasi etika dalam strategi politik menggambarkan paradoks dalam etika politik itu sendiri. Michael Walzer dalam Spheres of Justice (1984) menguraikan bagaimana keadilan dan etika dalam politik tidak bisa terlepas dari konteks sosial dan politiknya. Dia menyatakan bahwa apa yang dianggap etis dalam satu situasi bisa dianggap tidak etis dalam situasi yang lain. Ini membuka wacana bahwa etika politik adalah dinamis dan dapat berubah tergantung pada kerangka referensi sosial-politik.

Di sisi lain, politisasi etika juga menimbulkan krisis legitimasi dalam praktik demokrasi. Jika setiap tindak politik yang menang dapat dijustifikasi sebagai etis hanya karena kemenangan, dan setiap tindakan yang kalah dianggap tidak etis karena kekalahannya, dan sebaliknya; maka ruang untuk dialog etika politik yang sehat menjadi terancam. Chantal Mouffe dalam The Democratic Paradox (2009) menekankan pentingnya antagonisme dan pluralisme dalam demokrasi, termasuk dalam debat tentang etika. Mouffe menyarankan bahwa politisasi etika harus dilihat sebagai bagian dari dinamika demokrasi, yang harus dijalani dengan dialog yang konstruktif dan kritis.

Kemampuan untuk menavigasi pertentangan tentang etika dalam strategi politik menuntut pemahaman yang lebih dalam tentang prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Sesungguhnya, praktik politik yang etis tidak hanya tentang menang atau kalah, melainkan tentang bagaimana strategi-strategi tersebut memberi kontribusi pada kesejahteraan bersama dan keadilan sosial. Sehingga, pandangan yang mereduksi etika politik menjadi instrumen politik semata perlu dihindari. Alih-alih menggunakan etika sebagai senjata dalam laga politik, para pelaku politik seharusnya merujuk pada nilai dan norma etika sebagai fondasi untuk membangun kebijakan yang adil dan inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

8 replies on “Politisasi Etika”

Etika memang dapat ditafsirkan “sekedar” masalah value dan sopan santun serta kepantasan kelaziman, sementara dalam terminologi hukum etika dapat diterjemahkan apakah sebuah proses pengambilan keputusan ada potensi break the law atau sekedar masalah kelaziman dan konflik kepentingan pengambil kebijakan.

Etika politik konon yang terjadi di sini ada pelanggaran karena hal dan hil lain.

Terima kasih atas pandangannya, Dr. Nugroho DP.

Memang benar bahwa etika memiliki aplikasi yang luas dan dapat diinterpretasikan dalam berbagai konteks, termasuk dalam hukum dan politik. Namun, penting untuk memahami bahwa etika tidak sekadar berkaitan dengan nilai, sopan santun, atau kebiasaan. Etika, dalam esensinya, menyangkut prinsip-prinsip dasar tentang apa yang benar dan salah, yang membimbing perilaku manusia di semua aspek kehidupan, termasuk dalam pengambilan keputusan.

Dalam konteks hukum, etika seringkali menyangkut dilema antara mematuhi peraturan dan menjalankan apa yang secara moral dianggap benar. Sementara dalam etika politik, permasalahan etis dapat melibatkan konflik kepentingan dan penggunaan kekuasaan, yang mana dapat mempengaruhi keputusan politik lebih dari sekedar masalah kelaziman.

Jadi, pemahaman etika harus lebih dilihat sebagai landasan kritis dalam membedakan tindakan yang benar dari yang salah, daripada sekedar kepatutan dan konvensi sosial.

Setiap pembicaraan tentang etika politik dalam suatu masyarakat yang mempertautkan pengetahuan, perilaku dan nilainya pada kekuatan di luar dirinya sehingga suka menempatkan diri dalam jejaring figur dan massa, kerap kali berakhir pada jalan buntu. Jalinan rumit persoalan etika politik pun senantiasa berada dalam lingkaran persoalan tanpa jalan keluar sehingga hanya berujung pada siapa yang kuat dan siapa yang lemah. Pengandaian dasar klaimnya lantas menjadi berapa kekuatan massa berada di belakang saya dan anda dan siapakah yang punya daya paksa. Kesadaran akan dampak dari klaim ini menyebabkan saya tidak termasuk orang yang optimis dengan gugatan hasil Pemilu misalnya. Terlebih jika dia berkaitan dengan orang kuat, orang yang punya massa dan kekayaan. Apalagi negara.
Menafasi situasi struktural seperti ini bisa saja membuat orang enggan bertanya, apakah politik yang beretika diperlukan di negeri ini.
Kita semua sepakat, perlu.
Persoalannya, politk yang bertika itu mau dimulai dari mana? Pertanyaan ini perlu, karena masyarakat dan kebudayaan kita memang cenderung memuja kekuasaan. Lihat saja kebijakan-kebijakan tradisional kita yang menjadi bagian integral pendidikan anak-anak kita. Orientasi kekuasaan bukanlah sesuatu yang asing.
Persoalan dasar saya kita, saya kira, kita butuh masyarakat yang bukan saja merasa beretika dengan klaim yang luar biasa tetapi, tetapi juga memiliki pengetahuan yang memadai tentang etika, dengan otoritas hukum yang mampu mengaturnya, jika masyarakat kita keluar dari sana.
Persoalan ikutannya, saya kira, produk hukum kita kerap kurang memperhatikan soal etika, yang selalu bisa kita cari dalih bahwa perumusan hukum seperti itu terlalu mendetil dan rumit. Jika demikian, saya kira perangkat hukum dan orang-orang yang bekerja konon bagi kepentingan masyarakat seharusnya memiliki integritas, di mana nilai menjadi sempurna dalam diri mereka.
Mendambakan suatu masyarakat yang merepresentasikan nilai yang sempurna, kita tahu hanya mimpi. Tetapi minimal, kita butuh hukum yang pasti, yang punya supremasi yang mengatasi negara sekalipun. Nah celakanya, negara kita punya supremasi di atas hukum.
Sorry, saya sudah terlalu jauh bergerak dalam lingkaran ini. Dan ternyata buntu lagi…
Mungkin diskusi ini pantas diuraikan oleh para sahabat.
Selamat membaca…

Pak Jacobus,
Terima kasih atas tanggapan yang komprehensif dalam memetakan kepelikan ini.
Pandangan yang disampaikan sangat menyorot ketidakefektifan penerapan etika politik di Indonesia. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa realitas politik seringkali terjebak pada permainan kekuasaan dan kepentingan sempit, bukan pada penegakan prinsip-prinsip etika yang seharusnya menjadi landasan. Ketidakpercayaan terhadap gugatan hasil pemilu dan dominasi kekuatan massa serta uang dalam politik mungkin adalah contoh nyata fenomena tersebut.

Namun, bukan berarti etika politik tidak diperlukan atau mustahil untuk ditegakkan. Justru di tengah situasi seperti ini, etika politik menjadi semakin krusial sebagai pijakan untuk mewujudkan praktik politik yang sehat, transparan, dan bertanggung jawab. Persoalannya, memang dibutuhkan kerja keras untuk membangun kesadaran etis di kalangan masyarakat serta penguatan supremasi hukum yang mampu menjaga integritas para pelaku politik. Selain itu, reformasi sistem pendidikan dan budaya juga penting untuk menumbuhkan generasi penerus yang memiliki komitmen etis yang kuat, bukan hanya berorientasi pada kekuasaan semata.

Dengan upaya sungguh-sungguh dari seluruh komponen masyarakat untuk menegakkan etika politik, bukan tidak mungkin kita dapat mengubah lanskap politik Indonesia menjadi lebih baik. Memang, mewujudkan masyarakat yang sempurna mungkin hanya sekadar mimpi, namun setidaknya kita dapat memulai dari membangun fondasi etika politik yang kokoh. Hanya dengan cara demikian, distorsi kekuasaan dan dominasi kepentingan sesaat dalam politik dapat diminimalisir, sehingga kepentingan rakyat yang sesungguhnya dapat terakomodasi dengan lebih baik.

Ijinkan saya untuk menyampaikan pendapat saya. Saya beberapa waktu lalu diperlihatkan oleh istri saya story instragram temannya, kurang lebih ada informasi (perlu dicek kebenarannya) data kurang lebih sbb:
– 21 % kepintaran
– 13 % keterampilan
– 62 % kekayaan (kaya modal materi)
Adapun data tersebut diatas dikaitkan dengan uraian Mas Edy dan rekan-rekan penanggap lain, menyampaikan bahwa kondisi masyarakat negara kita kecenderungan masih berpola pikir dan berpola tindak laku dengan orientasi praktis bahwa kekayaan materi akan menjadikan diri dan kelompok berpengaruh hingga mempengaruhi kebijakan secara sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan politik.
Strategi kebijakan politik ekonomi misalnya lebih cenderung untuk melihat tujuan mendapat kekayaan yang bisa mensejahterakan diri dan kelompok.
Bisa jadi pemikiran saya salah dikarenakan di realitas ada yang berbeda dengan yang saya gambarkan.

Mas Sugeng Pramono yang baik,
Terima kasih tanggapan dan pointer diskusinya.

Interpretasi data yang disajikan memang menarik, namun perlu dipertanyakan validitasnya. Apakah “penelitian kecil” tersebut dapat menggeneralisasi keseluruhan kondisi masyarakat Indonesia? Mengkategorikan masyarakat berdasarkan tiga preferensi utama tanpa mempertimbangkan kompleksitas faktor-faktor lain yang memengaruhi pola pikir dan perilaku, cenderung simplistik. Kecenderungan masyarakat untuk memprioritaskan kekayaan materi al belum tentu menjadi alasan utama terjadinya pelanggaran etika politik dalam Pilpres 2024.

Meminjam pandangan Marx tentang “bangunan keras” dalam konteks ekonomi, kecenderungan masyarakat untuk memprioritaskan kekayaan materi dapat menjadi hasil dari struktur ekonomi yang menciptakan kesenjangan sosial dan ketidaksetaraan ekonomi yang mungkin mempengaruhi prioritas mereka dalam politik. Namun, meskipun kekayaan materi dapat memainkan peran dalam politik, faktor-faktor lain seperti ambisi politik individu, persaingan kekuasaan, dan kurangnya pengawasan serta penegakan hukum yang efektif juga berperan dalam terjadinya pelanggaran etika politik dalam Pilpres 2024. Oleh karena itu, tidak dapat disimpulkan secara semena-mena bahwa kecenderungan masyarakat terhadap kekayaan materi adalah satu-satunya alasan utama terjadinya pelanggaran etika politik.

Hemat saya, lebih bijak untuk menelisik lebih dalam akar permasalahan pelanggaran etika politik, seperti lemahnya penegakan hukum, kurangnya pendidikan politik, dan kurangnya integritas para elit politik. Interpretasi yang terlalu cepat dapat mengarah pada stigmatisasi masyarakat, yang justru memperburuk dinamika politik yang sehat. Solusi yang komprehensif harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, bukan hanya menuduh satu kelompok tertentu sebagai penyebab permasalahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *