Categories
Begini Saja

Pemilu Buat Apa?

Dikatakan oleh Menko Polhukam, Prof. Mahfud MD, pemilu merupakan ajang masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang terbaik di antara orang-orang yang sama-sama memiliki kejelekan.[1] Masyarakat hendaknya lebih cerdas menilai calon terbaik yang mampu mendengarkan aspirasi rakyat, mengingat bahwa calon yang sempurna tidak ada di manapun. Sementara itu, Prof. Frans Magnis Suseno SJ, sebagaimana dikutip oleh Goenawan Muhamad,[2] menyatakan bahwa “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”.

Alih-alih terpaku pada dua tujuan pemilu yang dirumuskan secara negatif -dalam arti “supaya (pemilu) tidak”- lebih baik penulis menambahkan beberapa tujuan prinsipil yang dirumuskan secara afirmatif – dalam arti “supaya (pemilu) ya” sebagai inti pelaksanaan pemilu dalam proses demokratis.

Tujuan Afirmatif

Pertama, pemilu dimaksudkan untuk merepresentasikan kepentingan publik. Pemilu harus membuka saluran bagi warga negara untuk mengekspresikan keinginan dan aspirasinya terhadap kebijakan publik. Tujuan utama pemilu adalah untuk menghasilkan pemerintahan yang merefleksikan kehendak rakyat. Pemilu yang mewakili kepentingan publik penting untuk memastikan representasi yang adil dan merata dari berbagai kelompok masyarakat, sehingga keputusan dan kebijakan yang diambil mampu memperhatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara luas. Ini menjamin terjadinya partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembuatan keputusan politik, sehingga tercipta kredibilitas dan legitimasi pemerintahan yang lebih tinggi, serta memperkuat ikatan sosial dan keadilan dalam masyarakat.

Kedua, pemilu dimaksudkan untuk membangun legitimasi karena pemilu merupakan proses pemberian mandat yang memberikan legitimasi kepada pihak yang menang untuk mengendalikan roda pemerintahan. Hal ini dimungkinkan karena pemilu merupakan mekanisme demokratis yang melibatkan partisipasi seluruh rakyat dalam menentukan pemimpin dan kebijakan publik. Melalui pemilu, rakyat memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan suara mereka secara bebas dan adil, sehingga hasil yang muncul adalah cerminan dari kehendak mayoritas. Pemilu juga memberikan legitimasi kepada pemimpin yang terpilih karena mereka memperoleh mandat dari rakyat untuk mewakili dan menjalankan pemerintahan. Dengan adanya pemilu, diharapkan juga tercipta kontrol sosial, transparansi, dan akuntabilitas dalam pemerintahan, yang menjadi salah satu aspek utama dari sebuah legitimasi politik.

Ketiga, pemilu dimaksudkan sebagai pengejawantahan partisipasi politik. Pemilu memberikan peluang kepada setiap individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Hal ini juga mendorong warga negara untuk terlibat secara aktif dalam proses demokrasi untuk menyuarakan aspirasi dan preferensi politik mereka, dan memengaruhi keputusan politik dan perubahan sosial di tingkat nasional.

Keempat, pemilu dimaksudkan untuk mengedukasi masyarakat mengenai sistem politik dan demokrasi sebagaimana digariskan konstitusi. Dengan adanya pemilihan umum, masyarakat dapat terlibat secara langsung dalam proses politik. Masyarakat dapat memilih wakil-wakilnya yang akan mewakili kepentingan mereka di lembaga legislatif maupun eksekutif. Hal ini membuka kesempatan bagi masyarakat untuk belajar tentang berbagai partai politik, platform mereka, serta calon-calon yang bersaing, sehingga mereka dapat mengerti dan memilih dengan pengetahuan yang lebih baik mengenai sistem politik dan demokrasi yang diterapkan.

Kelima, pemilu dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan, terutama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa. Pemilu memungkinkan terjadinya regenerasi kekuasaan dan pemeriksaan balance of power dalam sistem kekuasaan suatu negara. Melalui pemilihan, rakyat memiliki kesempatan untuk secara langsung memilih penguasa yang akan mewakili kepentingan mereka sehingga kekuasaan tidak hanya terpusat pada satu kelompok atau satu individu, tetapi didistribusikan kepada banyak partai politik dan calon yang bersaing secara adil. Hal ini mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa yang berpotensi menindas atau mengekang kebebasan rakyat.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Penulis buku “Refleksi Metodologi Riset: Panorama Survey” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.


[1]Mahfud MD: Pemilu Itu untuk Pilih Orang-orang yang Lebih Sedikit Kejelekannya. Diakses 13 September 2023. Terdapat di https://nasional.kompas.com/read/2023/09/13/15075531/mahfud-md-pemilu-itu-untuk-pilih-orang-orang-yang-lebih-sedikit-kejelekannya.

[2]Tweet Goenawan Mohamad. Diakses 13 September 2023. Terdapat di https://twitter.com/gm_gm/status/834570937726955520?lang=en.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

2 replies on “Pemilu Buat Apa?”

Saya menggarisbawahi pernyataan dr Romo Suseno bahwa pemilu bukan utk memilih yg terbaik, tetapi mencegah yg buruk berkuasa.
Sy juga berpendapat bahwa politik itu sesungguhnya adalah baik,bukan sesuatu yg buruk, tergantung dari siapa yg memegang kekuasaan.

Dalam pesta demokrasi tiap warga negara memiliki hak politik yaitu hak utk memilih dan dipilih. Siapa saja boleh mencalonkan diri utk menjadi wakil rakyat. Hanya saja sejatinya kita sebagai warga negara harus memiliki pengetahuan tentang profil atau track record dari calon pemimpin yg akan kita pilih.

Sama seperti ketika kita akan memilih calon pasangan hidup. Org Jawa biasanya akan melihat bibit, bobot dan bebet dr pasangan yg akan dipilihnya. Artinya adalah melihat track record dr pasangan yg akan dipilih.

Sekali lagi seperti pendapat saya di awal, saya setuju sekali dgn pernyataan dr Romo Suseno.

Pilihlah pemimpin yg memiliki track record yg baik, yg sesuai dgn pilihan hati nurani kita. Yg tentunya cinta NKRI dan Pancasila.

Mas James yang baik,

Risalah pendek di atas lebih memberikan alternatif tentang bagaimana ajakan untuk berpartisipasi dalam pemilu itu disampaikan: secara negatif [contoh: “Mari mencoblos, karena Pemilu tidak untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”] atau afirmatif [contoh: “Mari mencoblos, karena Pemilu membuka saluran bagi Anda, warga negara, untuk mengekspresikan keinginan dan aspirasi Anda terhadap kebijakan publik”].
Ajakan yang afirmatif biasanya lebih mudah diterima daripada yang negatif karena mensugestikan perspektif positif dan membangun. Ketika kita menggunakan bahasa afirmatif, kita cenderung fokus pada apa yang bisa kita lakukan, bukan apa yang tidak bisa kita lakukan, selain memperkuat rasa optimisme dan kemungkinan.
Selain itu, ajakan afirmatif seringkali lebih langsung dan mudah dimengerti, sedangkan ajakan negatif dapat membingungkan karena melibatkan pemikiran abstrak yang lebih kompleks. Ajakan negatif sering kali membawa beban emosional negatif, menimbulkan perasaan defensif atau resistensi, sementara ajakan afirmatif cenderung mendukung lingkungan yang lebih kolaboratif dan terbuka.
Dengan kata lain, penegasan afirmatif tidak hanya lebih mudah diserap secara kognitif, tetapi juga lebih mungkin menghasilkan respon positif secara emosional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *