Categories
Begini Saja

Tanpa ASI Kelak Bayi Bertabiat Porno

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono, “Tanpa Asi Kelak Bayi Bertabiat Porno…”, 23 Maret 2016.

Orang bersedia menerima suatu saran jika saran yang dianjurkan dilambari dengan penjelasan masuk akal, bukan ancaman tentang sembarang konsekuensi buruk jika saran tidak dikerjakan. [Edy Suhardono, 2016]

Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan bahwa bayi yang tidak minum air susu ibu berpotensi untuk memiliki tabiat porno saat ia besar. “Tanpa minum ASI, kemungkinan orang mengalami kelainan mental itu bisa sampai 80 persen, …. dan pornografi adalah salah satu kelainan mental yang terjadi di masyarakat” katanya pada Puncak Peringatan Hari Gizi nasional ke 56 di Balai Kartini, Selasa, 22 Maret 2016 (Tempo, 23 Maret 2016).

Jika saja benar bahwa “tanpa minum ASI 80% orang mengalami kelainan mental” dan “jika pornografi adalah salah satu kelainan mental”; apakah lantas dapat ditarik konklusi bahwa “TANPA ASI KELAK BAYI BERTABIAT PORNO?”

Salah satu hasil penelitian menunjukkan, ada perbedaan efek kesehatan substansial antara para ibu yang memberikan susu formula kepada bayi mereka dibandingkan dengan mereka yang menyusui bayi mereka dengan ASI. Untuk bayi, tidak adanya asupan ASI berkait dengan peningkatan insiden morbiditas infeksi, risiko tinggi obesitas, diabetes (tipe 1 dan tipe 2), leukemia, dan sindrom kematian bayi mendadak; dan bukan tabiat porno. Untuk ibu, kegagalan untuk menyusui dikaitkan dengan peningkatan insiden kanker payudara premenopause, kanker ovarium, berat badan, diabetes tipe 2, infark miokard, dan sindrom metabolik. (The Risks of Not Breastfeeding for Mothers and Infants)

Sementara itu, menyusui bayi kian menjadi dilema. Di satu sisi, ada pertimbangan tentang efek buruk yang menjadi dasar mengapa ibu harus menyusui; sementara, di sisi lain, tidak semua ibu tahu apa yang benar dan tidak benar terkait keputusan harus menyusui bayi mereka atau tidak (Breastfeeding: Where, When and How? 11 myths busted), antara lain:

1. Kontroversi. Meski masih kontroversial, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kandungan ASI tidak berbeda dengan kandungan susu formula, sehingga ASI dan susu formula dapat diberikan secara bergantian.

2. Perbedaan individu. Tidak setiap wanita dapat menghasilkan susu, selain hasil penelitian Brunel University menunjukkan bahwa 18 bulan adalah waktu optimum seorang wanita untuk menyusui, sementara WHO menyarankan melakukannya sampai dua tahun.

3. Kepraktisan dan kelonggaran norma sosial. Selain wanita tidak diperkenankan minum alkohol ketika menyusui, mereka juga tidak dapat menyusui jika berada dalam waktu dan lingkungan kerja atau dalam area publik, jika telah mengalami implan (operasi payudara), atau jika mendapatkan tekanan sosial apabila tidak menyusui bayinya.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *