Ungkapan ‘jujur saja, saya/kami salah’ telah menjadi fenomena yang tidak asing lagi di masyarakat, terutama di kalangan politik. Ungkapan ini sering digunakan ketika politisi atau pejabat publik mencoba meminta maaf atas kesalahan yang mereka lakukan. Namun, dengan cermatan lebih lanjut, penggunaan ungkapan ini dapat dianalisis dari sudut pandang psikologi politik.
Kebiasaan mengatakan ‘sejujurnya, saya/kami salah’ dapat dilihat sebagai upaya untuk memberikan kesan bahwa kesalahan yang dilakukan memang ‘ditakdirkan untuk terjadi’. Dengan menggunakan ungkapan ini, para aktor politik berusaha menyampaikan pesan bahwa mereka tidak sengaja melakukan kesalahan tersebut, tetapi ada faktor-faktor yang memaksa mereka untuk melakukannya.
Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis fenomena ini adalah teori pembenaran diri (Self-Justification Theory). Menurut teori ini, individu dan kelompok cenderung berusaha membenarkan tindakan mereka, termasuk ketika mereka melakukan kesalahan. Dengan menggunakan ungkapan ‘jujur saja, saya/kami salah’, para aktor politik berusaha membenarkan kesalahan mereka seolah-olah kesalahan tersebut terjadi di luar kendali mereka.
Lebih lanjut, penggunaan representasi ini juga dapat dikaji dengan teori Impression Management. Teori ini menjelaskan bagaimana individu dan kelompok berusaha untuk mengelola kesan dan persepsi publik terhadap dirinya. Dengan menyatakan ‘jujur saja, saya/kami salah’, aktor politik berusaha menampilkan diri mereka sebagai orang yang jujur, rendah hati, dan pemaaf, serta rela dan beritikad baik untuk memperbaiki citra diri di hadapan publik.
Teori Atribusi juga dapat digunakan untuk menganalisis fenomena ini. Teori ini menjelaskan bahwa individu dan kelompok cenderung mencari penjelasan dan atribusi atas perilaku mereka sendiri dan orang lain. Dengan menggunakan frasa tersebut, para aktor politik berusaha mengalihkan atribusi tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan terutama untuk menghindari konsekuensi negatif yang mungkin terjadi.
Selain itu, ‘teori retorika politik’ juga dapat digunakan untuk memahami ungkapan ini. Teori ini menjelaskan bahwa para aktor politik seringkali menggunakan strategi retorika untuk mempengaruhi persepsi dan emosi publik. Dengan menyatakan ‘jujur saja, saya/kami salah’, aktor politik berusaha menyentuh emosi audiens/konstituen mereka, menciptakan rasa empati, dan mempertahankan atau meningkatkan popularitas dan elektabilitas mereka.
Secara keseluruhan, penggunaan ungkapan ‘jujur saja, saya/kami salah’ oleh para politisi dapat dimaknai sebagai upaya untuk memanipulasi persepsi publik dan menghindari tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan. Melalui ungkapan ini, para politisi berusaha menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang jujur, rendah hati, dan manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, demi meraih simpati dan dukungan publik.
Namun, fenomena ini juga perlu disikapi secara kritis. Penggunaan frasa ‘jujur saja, saya/kami salah’ secara berlebihan dapat memberikan kesan bahwa politisi tidak bertanggung jawab dan cenderung membenarkan kesalahan mereka. Hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap kinerja dan integritas politisi.
Oleh karena itu, penting bagi para politisi untuk lebih bijaksana dan bertanggung jawab terhadap kesalahan dan kekeliruan mereka sendiri. Kata-kata ‘jujur saja, saya/kami salah’ hanya boleh digunakan jika diperlukan dan harus disertai dengan langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kesalahan dan menjelaskannya kepada publik. Dengan cara ini, kepercayaan publik terhadap politisi dapat terjaga dan demokrasi dapat berjalan dengan lebih sehat.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
3 replies on “Tentang ‘Jujur Saja, Saya/Kami Khilaf’”
Tks atas pencerahannya Pak Edy Suhardono.
Saya kok suka melihat justifikasi sebagai berkaitan dengan judge, dengan hakim, sebuah kelompok yang dipisahkan dari komunitas yang lebih luas. Status sosial, kepentingan dan tujuannya berbeda dari kelompok yang luas. Eksklusivitas membuat kelompok elit itu, yang jika keluar dari kelompoknya cenderung dilihat sebagai mewakili status sosial, kepentingan dan tujuannya. Fenomena ini mewarnai dunia politik kita, ketika kelompok elit hanya keluar kepada publik lebih memperlihatkan representasi sosial, kepentingan dan tujuannya. Pernyataan yang diberikan label apapun dengan demikian cenderung merepresentasikan elitisme, keterpisahan, status sosial, kepentingan dan tujuan mereka sendiri. Dia sama sekali tidak merepresentasikan kesediaan untuk berkomunikasi atau bersosialisasi, dll.
Pak Jacobus, saya sepemahaman dengan pendapat Bapak bahwa masih ada keterpisahan antara elit dan status sosial. Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah kita sebagai anak bangsa yang mengharapkan bahwa perwujudan cita-cita bangsa yang terkandung di UUD 1945 dapat semakin waktu ke waktu terwujud.
Pak Jacobus,
Terima kasih atas poin diskusi yang menarik. Mohon maaf karena saya lambat merespon.
Penggunaan ungkapan “sejujurnya, saya/kami salah” sebagaimana saya tulis, dapat dipandang sebagai upaya untuk membangun kesan atau citra politik yang tertentu. Dalam konteks psikologi politik, fenomena ini dapat dijelaskan sebagai sebuah strategi retorika untuk mengurangi rasa bersalah atau pertanggungjawaban atas kesalahan yang dilakukan. Dengan menyatakan bahwa kesalahan “ditakdirkan terjadi” atau adanya “faktor-faktor yang memaksa”, para aktor politik berusaha mengalihkan perhatian dari tanggung jawab personal mereka. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan untuk mempertahankan citra positif, sekaligus menghindari konsekuensi negatif yang mungkin timbul akibat kesalahan tersebut. Strategi ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan legitimasi di dalam arena politik.
Di sisi lain, pernyataan yang Pak Jacobus sampaikan menyoroti fenomena elitisme dalam dunia politik. Kelompok elit politik cenderung memisahkan diri dari komunitas yang lebih luas, dengan status sosial, kepentingan, dan tujuan yang berbeda. Ketika mereka muncul di hadapan publik, mereka lebih merepresentasikan identitas, kepentingan, dan tujuan kelompok mereka sendiri, daripada berusaha bersosialisasi dan berkomunikasi dengan masyarakat secara terbuka. Fenomena ini dapat menimbulkan persepsi publik bahwa kelompok elit politik tidak memiliki empati atau kepedulian terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, dan lebih mementingkan agenda dan kepentingan kelompok mereka sendiri.