Categories
Begini Saja

Usia Ideal Memulai Pendidikan Formal

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021, khususnya Pasal 4 ayat 3 dan 4, menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Kebijakan ini mengatur bahwa calon siswa yang mau masuk sekolah dalam kondisi baru berusia 5 tahun 6 bulan harus memiliki kecerdasan istimewa dan kesiapan psikis yang dibuktikan oleh psikolog profesional atau dewan guru sekolah. Ketentuan ini dapat menyebabkan sejumlah calon siswa harus menunggu hingga usia lebih dari 7 tahun untuk memulai pendidikan formal jika gagal memenuhi kriteria tersebut.

Usia

Menurut David Elkind, profesor psikologi perkembangan anak dari Universitas Tufts, usia 6 tahun merupakan waktu yang tepat bagi anak-anak untuk memulai pendidikan formal (Elkind, 2001). Pada usia ini, anak-anak telah mencapai kematangan fisik, kognitif, dan sosio-emosional yang diperlukan untuk mengikuti pembelajaran di sekolah. Memaksakan anak untuk menunggu lebih lama dapat berdampak negatif pada perkembangan mereka, baik secara akademik maupun psikologis (Gredler, 2009).

Namun Jean Piaget mengemukakan, perkembangan kognitif anak terjadi melalui tahap-tahap yang masing-masing memiliki ciri khas. Anak-anak usia 5 hingga 7 tahun berada dalam tahap pra-operasional, di mana mereka mulai mengembangkan kemampuan berpikir simbolis tetapi belum sepenuhnya mampu berpikir secara logis (Piaget, 1970). Dengan demikian, usia sekitar 6 tahun dianggap ideal untuk memulai pendidikan formal karena banyak anak sudah memiliki dasar-dasar kemampuan kognitif dan psikis yang diperlukan.

Betapa pun, setiap anak memiliki ritme perkembangan yang berbeda. Beberapa anak mungkin menunjukkan kecerdasan istimewa di usia lebih dini. Gardner (1983) dengan teori Multiple Intelligences menunjukkan bahwa kecerdasan bukan hanya satu dimensi. Kecerdasan linguistik, logika-matematika, dan lainnya dapat berkembang berbeda-beda tiap individu. Oleh karena itu, asesmen kecerdasan istimewa harus mencakup berbagai aspek kecerdasan dan dilakukan oleh profesional yang berkompeten.

Pakar psikologi seperti Lev Vygotsky menekankan pentingnya kesiapan psikis yang melibatkan zona perkembangan proksimal (ZPD). Anak-anak yang lebih muda dapat mencapai lebih banyak dengan bantuan orang dewasa atau teman sebaya (Vygotsky, 1978). Oleh karena itu, asesmen kesiapan psikis tidak boleh diabaikan dan harus mempertimbangkan dukungan lingkungan belajar yang ada.

Kecerdasan Istimewa?

Apa saja kriteria kecerdasan istimewa dan kesiapan psikis yang digunakan dalam peraturan ini? Asesmen kecerdasan anak melibatkan berbagai aspek, seperti kecerdasan linguistik, logika-matematika, visual-spasial, kinestetik-psikomotorik, interpersonal, intrapersonal, dan lain-lain (Gardner, 2011). Sementara itu, kesiapan psikis mencakup faktor-faktor seperti kemampuan emosional, sosial, dan perkembangan motorik (Piaget, 1972). Penggunaan kriteria ini harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan panduan ilmiah yang jelas.

Terdapat kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan peluang untuk komersialisasi jasa asesmen atau kolusi antara guru dan orang tua. Hal ini dapat dicegah jika kriteria kecerdasan istimewa dan kesiapan psikis didefinisikan dengan baik atau jika proses asesmen diawasi secara ketat (Koretz, 2017). Diperlukan mekanisme pengawasan yang kuat dan transparan untuk memastikan bahwa kebijakan ini diterapkan secara adil dan tidak disalahgunakan. Karenanya, penting untuk memastikan bahwa asesmen dilakukan oleh profesional yang terakreditasi dan setara secara kualitas. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu menerapkan pengawasan ketat serta standar etika untuk menghindari manipulasi atau konspirasi antara guru dan orang tua.

Selain itu, perlu dilakukan sosialisasi yang komprehensif kepada masyarakat, terutama kepada para orang tua, agar mereka memahami tujuan dan implementasi dari peraturan ini. Orang tua harus mendapatkan informasi yang jelas tentang kriteria penilaian, proses asesmen, dan konsekuensi yang mungkin timbul jika anak tidak memenuhi persyaratan (NAEYC, 2009).

Konklusi

Pada akhirnya, kebijakan ini harus diimplementasikan dengan bijaksana dan berdasarkan bukti ilmiah yang kuat. Keseimbangan antara fleksibilitas dan standar yang jelas harus dicapai agar dapat memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak, sekaligus memastikan kualitas pendidikan yang baik. Meskipun usia menjadi salah satu parameter, asesmen komprehensif tentang kecerdasan istimewa dan kesiapan psikis sangat diperlukan.

Usia 5 tahun 6 bulan mungkin terlalu awal untuk sebagian besar anak, tetapi dengan bukti yang tepat, beberapa anak bisa memulai pendidikan formal pada usia tersebut. Kebijakan ini harus diimplementasikan dengan pengawasan yang ketat untuk menghindari penyalahgunaan dan memastikan setiap anak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.

Daftar Referensi:

Elkind, D. (2001). The hurried child: Growing up too fast too soon. Cambridge, MA: Perseus Publishing.

Gardner, H. (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books.

Gardner, H. (2011). Frames of mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York, NY: Basic Books.

Gredler, M. E. (2009). Learning and instruction: Theory into practice. Upper Saddle River, NJ: Pearson.

Koretz, D. (2017). The testing charade: Pretending to make schools better. Chicago, IL: University of Chicago Press.

NAEYC. (2009). Developmentally appropriate practice in early childhood programs serving children from birth through age 8. Washington, DC: National Association for the Education of Young Children.

Piaget, J. (1970). Science of Education and the Psychology of the Child. New York: Orion Press.

Piaget, J. (1972). The psychology of the child. New York, NY: Basic Books.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

5 replies on “Usia Ideal Memulai Pendidikan Formal”

Menyadur pernyataan “Orang tua harus mendapatkan informasi yang jelas tentang kriteria penilaian, proses asesmen, dan konsekuensi yang mungkin timbul jika anak tidak memenuhi persyaratan (NAEYC, 2009).”
Di lapangan masih terbuka kemungkinan bahwa sosialisasi belum dipahami dengan utuh. Kejelasan, keterbukaan informasi juga masih terbuka kemungkinan jauh dari ideal. Pertanyaan mendasar apakah pemerintah, lembaga pendidikan dan masyarakat berjalan sendiri-sendiri untuk kemajuan pendidikan generasi muda. Kalau itu yang terjadi maka cita-cita NKRI untuk menjadi negara yang maju akan tinggal harapan.

Mas Sugeng Pramono, S.Psi., M.Pd., pernyataan komentar Anda sangat tepat. Sesuai dengan kompetensi khusus Anda, seharusnya Andalah yang menulis artikel ini, bukan saya.

Benar bahwa masih terdapat kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di lapangan terkait pendidikan anak usia dini di Indonesia. Sebuah penelitian di Indonesia pada tahun 2019 menemukan bahwa masih banyak orang tua yang belum memahami secara utuh kriteria penilaian dan proses asesmen untuk masuk sekolah (Putri & Hafina, 2019). Hal ini menunjukkan perlunya upaya sinergis antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk memastikan informasi yang jelas dan akses yang mudah bagi orang tua.

Selain itu, studi lain di Indonesia pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa koordinasi dan kolaborasi antarsektor terkait pendidikan masih belum optimal (Rahmawati et al., 2020). Upaya pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat yang berjalan sendiri-sendiri dapat menghambat kemajuan pendidikan, sehingga diperlukan sinergi yang kuat untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai negara maju.

Kalau Anda ada referensi lain, silahkan dilengkapkan. Alangkah jauh lebih baik jika Mas Sugeng mengembangkan artikel ini untuk memperkaya wawasan publik.

Referensi:
Putri, R. E., & Hafina, A. (2019). Pemahaman Orang Tua Tentang Asesmen Anak Usia Dini di TK Negeri Pembina Bandung. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 3(2), 434-441.

Rahmawati, R., Suyanto, S., & Adi, E. P. (2020). Kolaborasi dan Koordinasi Pemangku Kepentingan dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(2), 911-922.

Terimakasih untuk Dr. Edy Soehardono, M. Psi, Psikolog untuk dorongannya menulis di publik.
Mas Edy yang baik, saya akan berusaha merealisasikannya. Sekali lagi terimakasih untuk dorongan semangat menulisnya.

Indonesia kebanyakan aturan, sementara kualitas pendidikan belum mampu menjamin anak didik menjadi berkemampuan yang dibutuhkan

Perlu diperhatikan, tahun ajar 2024/2025, masih ada sekolah baik negri pun swasta kekurangan siswa.
Sudah banyak sekolah swasta yg harus tutup krn tidak ada siswa baru yg mendaftar

Dmk tanggapan saya

Pak Rusmusi Indranjoto MP,
Terima kasih atas komentarnya yang bernas. Memang benar, terdapat banyak hambatan dalam sistem pendidikan Indonesia yang perlu diperhatikan; namun, usia memulai pendidikan formal tetap relevan berdasarkan berbagai penelitian. Menurut studi dari UNESCO, anak-anak yang memulai pendidikan pada usia yang lebih dini cenderung memiliki hasil akademis yang lebih baik di kemudian hari.
Sementara itu, penelitian lain juga menunjukkan bahwa tingkat fleksibilitas dalam penentuan usia mulai sekolah dapat memberikan dampak yang tidak selalu positif. Sebuah studi di Finlandia menemukan bahwa memberikan otonomi kepada orang tua untuk memutuskan usia masuk sekolah yang sesuai dengan anak mereka berkorelasi dengan peningkatan prestasi akademik dan kesejahteraan mental anak (Ervasti et al., 2019). Bertentangan dengan studi di Finlandia ini, penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa anak-anak yang masuk sekolah lebih awal cenderung mengalami kesulitan penyesuaian diri dan prestasi akademik yang lebih rendah (Utami & Nugroho, 2017).
Adapun masalah kekurangan siswa, hal ini juga terkait dengan faktor-faktor lain seperti aksesibilitas, ekonomi, dan persepsi kualitas pendidikan di berbagai daerah. Sementara pemerintah perlu memperbaiki kualitas dan distribusi pendidikan, pengaturan usia tetap penting untuk menjamin penyerapan pengetahuan secara optimal sejak dini, yang didukung oleh banyak penelitian baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dengan demikian, mengatasi isu kualitas pendidikan dan kekurangan siswa memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan kebijakan usia, peningkatan kualitas, dan pemerataan akses pendidikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *