Categories
Begini Saja

Akankah Koaran Itu Menang Atas Kebungkaman?

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono, “AKANKAH KOARAN ITU MENANG ATAS KEBUNGKAMAN?”, 13 Desember 2016.

Ketika pendapat pribadi Anda mendapat jempol “like“, menyebar dan diambil alih banyak orang, Anda menjadi sangat percaya diri untuk lebih menyuarakannya di hadapan publik. Sebaliknya, manakala Anda menyadari betapa pendapat Anda sepi dukungan, apalagi mendapat tentangan, Anda mengalami semacam blok untuk lebih jauh mengungkapkan pendapat Anda di depan publik.

Pengukuhan atas pendapat mampu mendongkrak keyakinan tentang pendapat Anda lebih dari kebenaran yang terkandung, sementara pengabaian dan penolakan yang Anda terima mampu membungkam Anda dan gilirannya menggemboskan keyakinan Anda tentang kebenaran yang terkandung. Dalam konteks komunikasi, ini disebut “proses spiral”, dimana orang merasakan perubahan grafik dari keyakinan Anda sehingga mereka makin kuat mengikuti atau menolak sama sekali pendapat Anda.

Proses ini sekaligus menjelaskan tahap pembentukan, perubahan dan penguatan opini, dimana makin pengemuka pendapat yang satu berkoar, makin pengemuka pendapat yang lain terbungkam. Menguatnya koaran secara spiral membangun gumpalan opini yang kian dominan dan gilirannya opini ini berfungsi menjadi norma yang solid. Begitu koaran mayoritas menjadi opini publik, apalagi jika diperkuat melalui liputan media massa, opini mayoritas ini menjadi gayutan status quo bagi siapa pun yang memeluknya; sementara, yang beriringan dengan hal ini adalah kebungkaman kelompok minoritas.

Shelly Neill mencetuskan “Spiral of Silence Theory” (1974) dengan maksud menjawab hipotesis tentang mengapa kelompok minoritas makin bungkam, sementara kelompok mayoritas makin vokal dan berkoar dalam fora publik. Teori ini merekomendasikan, orang yang mempercayai bahwa mereka berpegang pada sudut pandang minoritas terkait isu publik tertentu, mereka cenderung makin bungkam, sebaliknya, mereka yang berpegang pada sudut pandang mayoritas, mereka makin berkoar.

Pada tingkat mikro, teori ini menjelaskan bagaimana ketakutan terhadap isolasi dan status demogafi, seperti berethnik atau beragama minoritas, terbukti mempengaruhi keengganan bahkan apatisme orang untuk mengungkapkan pendapat publik objektif mereka tentang berbagai isu.

Pada tingkat makro, teori ini menjelaskan mengapa makin banyak anggota minoritas kian bungkam bersamaan dengan keengganan mereka mengekspresikan pendapat yang cenderung didasarkan pada persepsi tentang apa yang sedang dipikirkan oleh mayoritas, sehingga secara keseluruhan hal ini berimplikasi secara sosial-politik dalam pembuatan keputusan publik.

Opini yang lebih berpihak pada kepentingan mayoritas membuat minoritas merasa terancam dan takut menghadapi keterisolasian dalam masyarakat. Bersamaan dengan keuntungan yang diraup mayoritas, minoritas makin terancam dan makin bungkam sampai pada akhirnya tidak lagi menentang sehingga pendapat mayoritas pun menjadi norma sosial.

Lantas, apakah tekanan sosial mempengaruhi penerimaan atau penolakan? Studi yang dilakukan Wallace, Paulson, Tuhan, dan Bond (2005) berkesimpulan bahwa persepsi terhadap adanya peningkatan tekanan sosial cenderung melemahkan hubungan antara sikap dan perilaku seseorang. Dalam kondisi tanpa tekanan sosial kelompok, sikap seseorang lebih mungkin menjadi prediktor dari perilaku, sebaliknya, dalam kondisi keterkanan sosial, sikap seseorang kurang dapat dijadikan prediktor perilaku. Dari sini tidak terlalu berlebihan untuk menyimpulkan bahwa orang cenderung memilih menyesuaikan keinginan mereka, karena – baik secara sadar atau tidak sadar – keinginan mereka perlu sinkron dengan keinginan orang lain, terutama keinginan dari mayoritas yang menekan.

Hari ini, 13 Desember 2016, adalah hari pertama gelar peradilan perkara dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama. Mengingat kasus penistaan agama yang dituduhkan adalah agama mayoritas, potensi intervensi kekuatan lain di luar badan peradilan bahkan di dalam internal badan peradilan sendiri sangat kuat.

Sekokoh, sekuat, dan setahan apa pun kemampuan personal para hakim, belum tentu mereka mampu mempertahankan kebebasan diri mereka sebagai hakim, termasuk ketahanan mereka menghadapi segala tekanan dan teror mayoritas. Tekanan ini tampak dari dua indikator.

Pertama, di satu pihak ada himbauan Dewan Pers kepada media televisi untuk tidak menyiarkan sidang secara langsung dengan asumsi bahwa tayangan langsung dapat memperuncing kontroversi opini dalam masyarakat, dan, di pihak lain juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Hasoloan Sianturi, mengatakan pihaknya memperbolehkan media televisi meliput secara langsung sidang perdana kasus penistaan agama. Padahal, tidak disiarkannya sidang secara langsung justru mengamini tuntutan mayoritas yang merasa terancam bahwa opini publik yang sudah terbentuk melalui jalur agitasi rentan dimentahkan oleh jalur observasi kritis.

Kedua, menguatnya hegemoni opini publik melalui ancaman demo, bom, kerusuhan, dan rumor makar yang terindikasi dari usulan kepolisian untuk memindahkan lokasi persidangan sehingga jauh dari area pusat pemerintahan. Polri merekomendasikan agar lokasi sidang digelar di Pekan Raya Jakarta (PRJ) Kemayoran atau Camping Ground Cibubur, Jakarta Timur; sementara Hasoloan Sianturi mengatakan, lokasi tetap di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, di Jalan Gajah Mada.

Jadi, apakah para hakim dalam rentetan sidang yang dimulai hari ini akan bertekuk lutut di bawah keinginan dan tekanan suara mayoritas? Marilah kita cermati, sejauh mana negara demokratis ini melalui kekuasaan yudikatifnya mampu mengungkapkan kebenaran secara berdaulat dan bertahan terhadap berbagai koaran dan tekanan mayoritas.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *