Categories
Begini Saja

Argumen Pro Vs Anti-Jokowi Menurut Tahapan Moral Kohlberg

Dalam teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg, moralitas dipandang sebagai proses perkembangan progresif yang dibagi menjadi tiga tingkatan utama: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Setiap level memiliki dua tahap, sehingga totalnya menjadi enam tahap. Teori ini menguraikan bagaimana individu menilai situasi yang melibatkan konflik moral berdasarkan prinsip-prinsip yang mungkin berubah seiring mereka mengalami pertumbuhan kognitif dan sosial.

Tingkat perkembangan Pra-konvensional (meliputi Tahap 1 dan 2) adalah tahapan di mana individu bertindak berdasarkan keinginan untuk menghindari hukuman atau untuk keuntungan pribadi. Pada konteks politik, sikap di tahapan ini mungkin ditandai dengan dukungan berdasarkan keinginan untuk mendapat imbalan atau menghindari konsekuensi negatif.

Tingkat perkembangan Konvensional (Tahap 3 dan 4) adalah tahapan di mana individu bertindak sesuai dengan peran sosial, aturan, dan hukum. Kejujuran dan keinginan untuk menjadi ‘orang baik’ dalam masyarakat atau kelompok menonjol. Dalam politik, seseorang pada level ini mungkin mendukung kebijakan atau tokoh karena itu dianggap sebagai norma yang diterima.

Pada tingkatan Pasca-konvensional (Tahap 5 dan 6), individu bertindak berlandaskan prinsip etis yang disepakati melalui proses pemikiran kritis, tidak hanya menerima aturan seperti pada stage konvensional. Mereka melihat aturan sosial sebagai kontrak yang bisa diubah demi kebaikan bersama dan berpikir tentang prinsip-prinsip moral universal.

Implikasi

Pertentangan antara dua kubu politik, khususnya dalam konteks politik Indonesia terkait kasus Mahkamah Konstitusi, lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, dukungan terhadap Prabowo, dan kritikan bansos yang digambarkan dalam film ‘Dirty Vote‘, menunjukkan penilaian moral dari keduanya, baik Pro-Kubu Jokowi maupun Anti-Jokowi, yang dapat dianalisis menggunakan teori ini dengan memahami motivasi, alasan, dan prinsip yang dipakai oleh masing-masing pihak dalam bertindak atau mengambil keputusan.

Untuk menganalisis pertentangan di antara kedua kubu menurut tahapan perkembangan moral Kohlberg, penting untuk dicatat bahwa teori ini lebih mengukur sejauh mana seseorang mengembangkan pemikiran moral, bukan mendefinisikan jika suatu posisi atau pendapat adalah yang lebih benar atau lebih salah secara moral.

Pertama, kubu Pro-Jokowi. Tokoh-tokoh yang mendukung pemerintahan Presiden Jokowi mungkin terhitung berada pada tahapan yang berbeda-beda, tetapi ada pula yang dapat dilihat sebagai berada pada tahap Konvensional (Tahap 3 dan 4). Mereka yang mendukung keputusan Jokowi dan pemerintahannya mungkin melakukan hal tersebut karena mereka merasa loyalitas dan kepatuhan terhadap pemerintah penting sebagai bentuk kepatuhan terhadap otoritas yang sah. Tahap 3 berkenaan dengan ihwal menjaga hubungan baik dan menjadi anggota masyarakat yang baik, sedangkan Tahap 4 berkenaan dengan ketaatan pada sistem sosial yang ada dan menjaga ketertiban sosial.

Kedua, kubu Anti-Jokowi. Mereka yang kritis terhadap Jokowi berada di antara dua kemungkinan tahapan. Pertama, tahap Konvensional (Tahap 4), di mana kritik mereka terhadap pemerintah mungkin didasarkan pada pandangan bahwa undang-undang harus dipatuhi, tetapi jika undang-undang atau kebijakan tidak memenuhi standar keadilan, kritik menjadi suatu keharusan. Kedua, tahap Pasca-Konvensional (Tahap 5 dan 6), di mana individu menilai tindakan berdasarkan prinsip-prinsip yang mereka anggap universal, seperti keadilan, hak asasi manusia, dan kesejahteraan bersama. Pada Tahap 5, kritik mungkin timbul dari pemahaman bahwa undang-undang dan kebijakan harus selaras dengan hak-hak individu atau kepentingan komunal yang lebih luas. Pada Tahap 6, kritik dapat didasarkan pada prinsip-prinsip etika yang dipandang universal, seperti komitmen terhadap demokrasi dan transparansi.

Relativitas

Jika perspektif teori Kohlberg dijadikan kriteria sebagaimana implikasi yang ditarik di atas, maka bukan kemutlakan yang dihasilkan tetapi relativitas yang bergantung pada argumen yang melambari kubu Pro-Jokowi. Artinya, apakah Pro-Jokowi berada di tahapan Konvensional atau Pasca-konvensional, hal itu tergantung pada argumen mereka. Jika mereka mendukung Jokowi karena memandangnya sebagai pemimpin yang sah dan berupaya mematuhi aturan serta norma sosial yang ada, maka mereka bisa berada pada tahap 4 (Law and Order). Namun, jika alasan dukungan terletak pada keyakinan bahwa langkah-langkah yang dilakukan Jokowi mewujudkan utilitarianisme dan keadilan sosial yang lebih luas (misalnya, bansos meskipun dikritik tetapi dianggap sebagai kebaikan untuk banyak orang), mereka mungkin berada pada tahap 5 (Social Contract Orientation).

Adapun kubu Anti-Jokowi, yang terdiri dari para akademisi atau aktivis yang menentang, bisa juga berada di tahap konvensional jika mereka mendasarkan argumen mereka semata pada norma dan aturan yang ada, misalnya ketika mereka menilai keputusan tertentu melanggar hukum yang ada (tahap 4). Namun, jika mereka berargumen dari perspektif prinsip etis yang lebih luas seperti keadilan prosedural dan kepentingan bersama, tanpa terikat oleh aturan dan norma yang ada saat ini, mereka bisa berada pada tahap 5 atau bahkan tahap 6 (Universal Ethical Principles) jika argumen mereka juga mencakup pelaksanaan prinsip etis yang tidak tergantung pada aturan yang telah diakui secara sosial.

Baik argumen yang mendukung posisi kedua kubu Pro-Jokowi maupun Anti-Jokowi seharusnya sama-sama mengakui bahwa perbedaan tahapan refleksi moral mereka mungkin lebih disebabkan oleh perbedaan konteks dan prioritas dibandingkan perbedaan kapasitas pemikiran moral. Pendukung Jokowi mungkin berpendapat bahwa stabilitas dan pembangunan adalah demi kebaikan bersama dan selaras dengan tatanan hukum yang ada. Adapun para kritikus Anti-Jokowi mungkin melihat bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan tanggung jawab dan keberanian untuk mengkritik kebijakan dan tindakan yang tidak memenuhi standar keadilan atau tidak menghormati hak-hak dasar.

Sebagai individu, tidak semua pendukung atau kritikus berada pada tahap yang sama; di setiap kubu, akan terdapat variasi yang luas dalam kemampuan berpikir moral. Kohlberg sendiri menekankan bahwa tahapan teorinya bukanlah ukuran superioritas moral seseorang; mereka lebih merupakan kerangka kerja untuk memahami bagaimana pertimbangan moral dapat berkembang dan berbeda antarindividu.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

7 replies on “Argumen Pro Vs Anti-Jokowi Menurut Tahapan Moral Kohlberg”

Terimakasih Mas Edy untuk uraian yang sistematis dalam menjelaskan tahapan moral menurut perspektif teori Kohlberg.
Ijinkan saya berbagi pikiran dari perspektif sebagai salah satu warga negara Republik Indonesia yaitu:
1. Kompetisi Politik yang terwujud dalam Pemilu dilakukan dengan prinsip keadilan.
2. Penyelenggara Pemilu (KPU) bekerja secara profesional, terbuka, jujur dan tegas.
3. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjalankan peran dan tanggungjawab secara profesional.
4. KPU dan Bawaslu mendapat anggaran dari pemerintah yang berasal dari rakyat. Maka poin mendasar yaitu KPU dan Bawaslu bertanggungjawab kepada rakyat. Meskipun pemerintah menaikkan anggaran untuk tunjangan KPU dan Bawaslu, tolong dimaknai sebagai dorongan untuk bekerja lebih bertanggungjawab untuk rakyat.
5. Pemerintah pusat dan daerah (ASN, TNI dan Polri, Kades dan seluruh birokrasi pemerintahan) seyogianya tetap mengingat bahwa tujuan mereka mendapat kepercayaan yaitu untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik. Netral dalam kompetisi politik harus dijunjung tinggi.
6. Berjuang untuk mencari keadilan dalam kompetisi politik ditempatkan pada tujuan bahwa membangun kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia dibutuhkan komitmen yang tinggi untuk memperkuat nilai-nilai luhur yaitu kejujuran, Keadilan, bertanggungjawab, terbuka dan mau mengakui kesalahan.
Harapan
Semoga tata kelola kompetisi politik kita di pemilu semakin baik ke depannya sehingga mendapat pemerintahan yang diakui secara sah dan didukung dengan sah.
Jayalah Kesejahteraan Warga Negara Republik Indonesia.

Mas Sugeng,
Terima kasih atas enam “testimoni” terkait Pilpres 14 Februari lalu. Berikut tanggapan saya:

1. Konsep keadilan sendiri merupakan hal yang relatif dan dapat ditafsirkan berbeda-beda oleh individu. Kompetisi politik yang adil bukan hanya ditentukan oleh pelaksanaan Pilpres yang baik dan terbuka, tetapi juga melibatkan aspek-aspek seperti akses yang setara bagi semua pemilih, kebebasan berpendapat, dan perlakuan yang adil terhadap seluruh peserta proses politik.

2. Meskipun KPU telah melakukan beberapa reformasi dan perbaikan, masih ada kekurangan dan kelemahan yang perlu diperhatikan. Beberapa permasalahan seperti penggunaan teknologi yang belum sepenuhnya efektif, pemilihan calon anggota KPU yang mungkin kurang transparan, dan isu kebijakan yang kontroversial masih menjadi masalah yang perlu diperbaiki. KPU perlu terus berupaya bekerja secara profesional, terbuka, jujur, dan tegas dalam penyelenggaraan pemilu agar mendapatkan kepercayaan publik yang lebih besar.

3. Bawaslu juga ditengarai memiliki beberapa kekurangan dan tantangan dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya. Terdapat kritik terkait keterbatasan wewenang, keputusan yang lamban, dan keputusan yang tidak akurat. Meskipun demikian, upaya Bawaslu untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pelanggaran pemilu adalah langkah yang penting untuk memastikan integritas dan keadilan dalam kompetisi politik.

4. Meskipun KPU dan Bawaslu mendapatkan anggaran dari pemerintah yang berasal dari rakyat, pemikiran bahwa peningkatan anggaran harus diartikan sebagai dorongan untuk bekerja lebih bertanggung jawab bisa menjadi terlalu simpel. Hal ini mengabaikan kompleksitas dalam penggunaan anggaran dan masih diperlukan pemantauan dan evaluasi yang ketat untuk memastikan penggunaan anggaran yang efektif dan akuntabel.

5. Meskipun penting untuk memastikan netralitas pemerintah pusat dan daerah dalam kompetisi politik, pernyataan ini harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. ASN, TNI dan Polri, Kades, dan birokrasi pemerintahan harus diharapkan untuk tetap netral, tetapi mereka juga memiliki tugas dan tanggung jawab lain yang harus dijalankan demi kepentingan masyarakat. Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, mereka juga perlu memperhatikan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan publik. Di sini, antara keharusan untuk netral dan eksekusi tugas tanggungjawab secara efektif dan efisien tidak selalu tampak sebagai fakta yang transparan, sebaliknya justru menjadi celah yang rentan terhadap penafsiran dan gilirannya kecurigaan.

6. Benar bahwa penting untuk menjaga prinsip keadilan dalam kompetisi politik sebagai bagian dari upaya membangun kesejahteraan warga negara Indonesia. Namun, hanya berjuang untuk keadilan dalam kompetisi politik tidak akan cukup untuk membangun kesejahteraan yang berkelanjutan. Selain itu, diperlukan juga upaya untuk memperkuat lembaga-lembaga demokrasi, mempromosikan partisipasi aktif masyarakat, dan memperbaiki kebijakan-kebijakan publik yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.

Terima kasih.

Terimakasih Mas Edy untuk tanggapan baliknya. Saya tertarik untuk mengeksplorasi pernyataan Mas Edy, “Selain itu, diperlukan juga upaya untuk memperkuat lembaga-lembaga demokrasi, mempromosikan partisipasi aktif masyarakat, dan memperbaiki kebijakan-kebijakan publik yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.”
Berikut eksplorasi dan juga pertanyaan:
– upaya untuk memperkuat lembaga-lembaga demokrasi, upaya seperti apa yang perlu dilakukan dengan contoh: MK yang ” terlihat diintervensi kekuasaan eksekutif” ; KPK dengan UU yang diperlemah.
– mempromosikan partisipasi aktif masyarakat, pertanyaan berikutnya bagaimana dengan kasus jurnalis Aiman Witjaksono yang diproses hukum karena menyebar berita Hoaks bahwa aparat kepolisian tidak netral?
– memperbaiki kebijakan-kebijakan publik yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat, bagaimana dengan diperhadapkan fakta melonjaknya harga beras belakangan ini dan bansos di masa kampanye kemarin?
Terimakasih

Tampaknya jawaban yang akan saya berikan merespon pertanyaan Mas Sugeng bisa menjadi artikel tersendiri. Jawaban saya akan saya beri sub-judul satu per satu.

1. Kekuasaan yudikatif yang dikangkangi oleh eksekutif.
Sejauh ini saya belum bisa mengakses informasi khusus mengenai adanya UU Pemilu No 90/2023, di mana ada tuduhan bahwa kekuasaan yudikatif dikangkangi oleh eksekutif berdasarkan hubungan Anwar Usman dengan Gibran. Oleh karena itu, tidak mungkin memberikan penilaian konkret terhadap sejauh mana hal tersebut menjadi kasus buruk atau alasan memperbaiki supremasi hukum di Indonesia.

Namun demikian, dalam konteks umum, jika ada tuduhan yang mempertanyakan independensi pengadilan dan kekuasaan yudikatif dalam mengambil keputusan hukum, hal tersebut dapat merusak supremasi hukum. Supremasi hukum adalah prinsip yang menekankan bahwa semua individu dan lembaga berada di bawah hukum tanpa terkecuali, termasuk eksekutif.

Jika terdapat kekhawatiran bahwa sistem hukum di Indonesia mulai terkikis dan supremasi hukum dilemahkan, maka perlu adanya perbaikan agar terjaminnya independensi dan integritas kekuasaan yudikatif tanpa ada campur tangan dari pihak lain, termasuk eksekutif. Upaya seperti pemilihan hakim yang lebih transparan, peningkatan pelatihan dan pendidikan hukum, serta penguatan lembaga pengawas dan peradilan dapat menjadi langkah-langkah yang penting dalam memperbaiki supremasi hukum di Indonesia.

2. Partisipasi politik secara aktif tanpa hoaks.
Partisipasi aktif masyarakat dalam kehidupan politik memang penting untuk demokrasi yang sehat. Namun, partisipasi tersebut harus didasarkan pada informasi yang akurat dan bertanggung jawab. Ketika seorang jurnalis seperti Aiman Witjaksono terduga menyebarkan hoaks atau informasi yang tidak akurat (dan kemudian terbukti demikian), hal ini dapat merusak kepercayaan publik, mempengaruhi kestabilan politik, dan merugikan individu atau kelompok tertentu.

Dalam kasus penyebaran hoaks atau informasi yang tidak akurat, penting bagi sistem hukum untuk berfungsi dan melindungi masyarakat dari penyebaran informasi palsu yang bisa berdampak negatif. Proses hukum dapat menjadi mekanisme untuk menegakkan keadilan dan menegaskan bahwa pemalsuan fakta dan disinformasi tidak dapat dibiarkan begitu saja.

Benar bahwa jurnalis memiliki tanggung jawab etis untuk menyediakan informasi yang akurat, obyektif, dan dapat dipercaya kepada masyarakat. Mereka memiliki kebebasan pers, tetapi juga harus bertanggung jawab untuk tidak menyebarkan hoaks atau informasi yang memancing konflik dan merugikan orang lain.

Dalam konteks partisipasi aktif masyarakat, lebih baik jika partisipasi tersebut didasarkan pada diskusi dan perdebatan yang sehat, berdasarkan fakta yang akurat, dan saling menghormati. Dengan cara ini, masyarakat dapat berpartisipasi secara positif dan konstruktif dalam politik, tanpa merugikan orang lain atau menyebarkan informasi palsu.

3. Pengaitan antara lonjakan harga beras dan bansos.
Kaitan antara melonjaknya harga beras dan pemberian bansos sebagai insentif dalam kampanye pilpres bisa menjadi isu yang kompleks dan tergantung pada konteksnya. Namun, ada beberapa aspek yang bisa diperhatikan.

Pertama, kenaikan harga beras dapat secara langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat karena beras merupakan salah satu bahan makanan pokok di banyak negara, termasuk Indonesia. Jika harga beras naik, hal itu bisa memberikan tekanan ekonomi pada keluarga dengan penghasilan terbatas dan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari.

Kedua, jika benar bahwa pemberian bansos atau bantuan sosial itu hanya – dan jika hanya – dilakukan selama kampanye pilpres, hal ini dapat menjadi upaya politik untuk menciptakan dukungan politik atau memenangkan hati pemilih. Dalam beberapa kasus, bantuan sosial mungkin bisa menjadi faktor yang mempengaruhi preferensi politik masyarakat.

Namun, perlu dicatat bahwa pemberian bansos di masa kampanye harus memiliki dasar dan tujuan yang jelas, yaitu untuk membantu masyarakat yang membutuhkan; pun kebutuhan masyarakat tidak kemudian menjadi zero hanya karena masyarakat hingar menyambut pilpres. Betapa pun, bantuan sosial yang digunakan sebagai alat politik, memanipulasi penggunaan dana bansos atau menyebabkan penyalahgunaan dana dapat merugikan kesejahteraan dan kepercayaan publik.

Dalam hal kaitan antara naiknya harga beras dan bansos di masa kampanye, ada argumen yang berpendapat bahwa pemberian bansos di masa kampanye dapat menjadi respons pemerintah terhadap tekanan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat terkait harga beras. Namun, ada pula argumen yang berpendapat bahwa pemberian bansos dalam konteks kampanye pilpres dapat dikritik karena memberikan insentif politik yang tidak produktif dan merusak prinsip-prinsip keadilan.

Penting untuk mencermati dan menganalisis dengan cermat setiap kasus spesifiknya, melihat konteks dan motivasi di balik pemberian bansos dalam kampanye pilpres untuk dapat memahami sejauh mana kaitan antara naiknya harga beras dan bansos di masa kampanye.

Demikianlah.

Dari ketiga hal yang mana Mas Edy tanggapi memunculkan pertanyaan bagaimana kita sebagai anggota masyarakat atau warga negara Republik Indonesia yang peduli terhadap kesejahteraan warga negara Indonesia dapat mewujudkan kontribusi perubahan, apakah masuk dalam sistem politik sehingga dapat aktif melakukan perubahan kebijakan. Ataukah berada di luar sistem?
Terimakasih

Terima kasih pertanyaannya, Mas Sugeng.

Mewujudkan kontribusi perubahan bagi kesejahteraan warga negara Indonesia dapat dilakukan baik dengan masuk dalam sistem politik maupun berada di luar sistem, tergantung pada kompetensi dan keahlian.

1. Masuk dalam sistem politik. Jika Mas Sugeng memiliki minat dan kompetensi di bidang politik, menjadi anggota legislatif atau pemerintahan dapat memberikan akses yang lebih langsung untuk mengubah kebijakan yang berdampak pada kesejahteraan warga negara. Dalam posisi ini, Mas Sugeng memiliki kesempatan untuk mempengaruhi pembuatan undang-undang, kebijakan publik, dan alokasi anggaran yang berfokus pada pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Sosok yang Mas Sugeng kenal, yakni Mas Dominikus Adi Sutarwijono, S.I.P. adalah politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ia menjabat Ketua DPRD Kota Surabaya periode 2019–2024 dan sebelumnya menjabat sebagai anggota DPRD Surabaya selama dua periode yakni sisa masa jabatan 2009–2014 pada 2012 dan 2014–2019. Mas Sugeng tahu, sebelum 2012, Mas Adi Sutarwijono adalah wartawan harian Tempo.

2. Berada di luar sistem: Jika Mas Sugeng lebih ahli dalam bidang-bidang lain seperti pendidikan (Mas Sugeng punya gelar magister di bidang ini), kesehatan, lingkungan, atau bidang sosial lainnya, berperan secara aktif melalui organisasi masyarakat sipil, LSM, atau komunitas lokal dapat menjadi cara efektif untuk berkontribusi. Dalam posisi ini, Mas Sugeng dapat mendukung warga negara melalui pendidikan, pemberdayaan ekonomi, penyediaan layanan kesehatan, atau inisiatif lingkungan yang berkelanjutan. Mas Sugeng juga dapat menyuarakan isu-isu yang berdampak besar pada kesejahteraan masyarakat dan mendorong perubahan dengan mempengaruhi opini publik.

Yang penting, perubahan signifikan membutuhkan kerjasama dan kolaborasi dari berbagai sumber daya dan aktor di masyarakat. Oleh karena itu, melalui kedua cara di atas, yakni masuk dalam sistem politik dan berada di luar sistem, kita dapat saling melengkapi dan berkolaborasi untuk mewujudkan perubahan yang lebih besar dan berkesinambungan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan warga negara Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *