Categories
Begini Saja

Berkawan Dengan Musuh Dari Musuh

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono, “BERKAWAN DENGAN MUSUH DARI MUSUH”, 26 Oktober 2016.

Fenomena politik yang menarik beberapa pekan terakhir adalah diusungnya Anies Baswedan, yang “terbuang” dari Kabinet Kerja Jokowi, sebagai Cagub koalisi Gerindra-PKS. Juga tak kalah menarik, meski dengan modus yang tak persis sama, adalah peristiwa Ruhut Sitompul yang “dipecat” dan “di-recall” dari DPR oleh Partai Demokrat, tetapi kemudian ditawari sebagai Staf Khusus Kepresidenan.

Dua riak politik ini merupakan contoh kasus dinamika permusuhan yang kompleks dan tak jarang menyertakan inkonsistensi dan paradoks politik yang signifikan.

Setidaknya ada empat kaidah tak tertulis yang secara psikologik menandai suatu perseteruan:

a) Musuh dari teman saya adalah musuh saya,

b) Teman dari musuh saya adalah musuh saya,

c) Musuh dari musuh saya adalah teman saya,  dan

d) Musuh saya adalah mereka yang bersekongkol satu sama lain.

Kaidah tak tertulis ini terutama menjelaskan bagaimana terjadinya polarisasi dan aliansi antarkubu di setiap tonggak momen politik di hampir setiap era. Adagium “Kamu baikan sama kami atau kamu sama sekali melawan kami” menjadi landasan bagi terjadinya polarisasi atau aliansi. Dinamika “musuh dari musuhku adalah temanku” menjelaskan situasi yang serba canggung, dimana satu kubu tiba-tiba menemukan dirinya telah secara bersamaan mendukung dua kubu yang saling bersaing bahkan berkonflik. Di sinilah awal terjadinya inkonsistensi bahkan paradoks politik.

Dengan demikian, “trick” Gerindra dan PKS mengelus Anies Baswedan atau Jokowi merekrut Ruhut Sitompul, keduanya secara lugas merupakan tindakan yang seolah menisbikan hubungan antagonistik antara KMP lawan KIH pada kasus Anies Baswedan, dan antara PDI Perjuangan lawan Partai Demokrat pada kasus Ruhut Sitompul. Tak pelak, baik aliansi KMP yang tinggal Gerindra-PKS maupun aliansi revitalisasi KIH yang terdiri dari PDI-P, Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai Nasdem menemukan diri dalam posisi canggung.

Penelitian berdasarkan Balance Theory memberikan pandangan tentang bagaimana aliansi Gerindra-PKS menyadari sikap negatif Anies Baswedan yang diasosiasikan sebagai representasi KIH, atau bagaimana Kepresidenan Jokowi yang diasosiasikan dengan aliansi KIH menyadari sikap negatif Ruhut Sitompul yang diasosiasikan Partai Demokrat yang mengklaim diri sebagai koalisi netral. Dengan kata lain, orang cenderung menganggap bahwa “musuh-musuh mereka berteman satu sama lain”, sementara yang terjadi adalah kubu-kubu yang ada justru “mencoba berteman” dengan “sekutu, kalau bukan anggota, dari kubu musuh”.

Kompleksitas jaringan musuh dan teman di masa depan dapat diperiksa melalui hubungan antara aliansi Gerindra-PKS dengan Anies Baswedan atau antara Kepresidenan Jokowi dengan Ruhut Sitompul. Seperti yang dapat diperkirakan dari adagium “musuh dari musuh saya adalah teman saya”, boleh jadi yang dapat diprakirakan adalah bahwa begitu memperoleh kekuasaan politik, baik Anies Baswedan maupun Ruhut Sitompul, keduanya akan menjadi pemain penyerang depan yang ampuh untuk menghajar lawan: Anies Baswedan menghajar KIH dan Ruhut Sitompul menghajar aliansi Demokrat yang terdiri dari Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Balance Theory menawarkan salah satu penjelasan yang paling masuk akal tentang perilaku yang tampaknya inkonsisten, sangat membingungkan, dan saling bertentangan seperti itu, di mana terjadi aliansi yang tidak rasional. Teori ini juga mencoba menjelaskan, bagaimana kita sebagai zoon politicon cenderung berhimpun ke dalam aliansi, baik karena alasan takut, terancam maupun tidak suka.

Sepanjang kita terhubungkan melalui garis-garis permusuhan dan keterancaman, seperti: terorisme, komunisme, pelanggaran hak asasi manusia dan lain-lain, kita akan berhubungan, bersekongkol, dan beraliansi dengan “musuh dari musuh kita”.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *