Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono: KESESATAN “NON CAUSA PRO CAUSA”, 24 Oktober 2016.
Disebut juga dengan kesesatan logik “Post Hoc Ergo Propter Hoc”. Jenis sesat logika ini diretas oleh kekeliruan penarikan kesimpulan berdasarkan kaitan sebab-akibat, dimana satu sebab diperlakukan sebagai penyebab sesungguhnya dari suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan.
Dengan penyesatan ini, orang diarahkan untuk berkesimpulan bahwa peristiwa pertama merupakan penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua menjadi akibat dari peristiwa pertama.
Nah, masing-masing dari ketujuh pernyataan yang bekesinambungan berikut diikuti pertanyaan guna menelusur sebab dari masing-masing pernyataan. Hasilnya sungguh mencengangkan. Kalau tidak percaya, silahkan Anda cermati sendiri.
1. Penyelesaian kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib mangkrak.
(Kenapa mangkrak?)
2. Mangkraknya penyelesaian kasus tersebut dikaitkan dengan diserahkannya laporan hasil tim pencari fakta kasus tersebut kepada SBY pada 2005, sementara dokumen itu dinyatakan hilang.
(Sejauh mana kaitan antara mangkraknya penyelesaian kasus dengan hilangnya dokumen yang keberadaan terakhirnya di tangan SBY?)
3. SBY adalah Presiden yang membentuk TPF Munir dan berperan besar dalam mendukung aparat hukum mengejar, mengungkap dan membawa para tersangka ke pengadilan, sehingga nama-nama yang direkomendasikan TPF sebagaimana termaktub dalam dokumen sudah sebagian besar diadili dan dipidana.
(Sejauh mana kaitan antara dukungan SBY melalui pengadilan dan pemidanaan terhadap pelaku sebagaimana tertulis pada dokumen menunjukkan bahwa penyelesaian kasus sudah purna dan tidak mangkrak?)
4. Bahwa pelaku utama pembunuhan belum terungkap, hal itu menunjukkan bahwa penyelesaian kasus mangkrak, sementara SBY tidak melanjutkan inisiatip menegakkan keadilan melalui penyelesaian kasus.
(Apa indikator bahwa SBY sengaja memangkrakkan kasus?)
5. Terjadi desakan keras desakan terhadap Jokowi agar inisiatif SBY menegakkan keadilan bagi Munir diteruskan, sehingga Jokowi sengaja mengangkat isu dokumen hilang untuk mengalihkan perhatian publik.
(Sejauh mana relevansi desakan publik terhadap Jokowi dengan kesengajaan Jokowi mengangkat isu dokumen hilang?)
6. Jokowi tak sungguh-sungguh bermaksud mencari informasi mengenai isi dokumen laporan TPF Munir yang diklaim “hilang” karena faktanya Jokowi tidak mengontak dan bertanya sendiri kepada SBY demi penuntasan kasus Munir.
(Seberapa bandingan peluang Jokowi untuk mendapatkan dokumen tersebut antara opsi mengontak langsung SBY dan meminta Jaksa Agung Muhammad Prasetyo untuk menelusuri keberadaan dokumen tersebut?)
7. Memilih opsi kedua menunjukkan perbuatan tercela Presiden Jokowi tercela karena ia mempermainkan hukum dan rasa keadilan.
Sejauh mana Anda menyetujui pernyataan terakhir? Mohon pencerahan.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.