Categories
Begini Saja

Dilema “Empat Per Sebelas” 2016

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono, “DILEMA “EMPAT PER SEBELAS” 2016”, 31 Oktober 2016.

Dalam situasi menjelang 4 November, dua pihak yang makin berhadapan, yakni antara NKRI di bawah Presiden Jokowi (NKRI-JKW) dan FPI di bawah Habib Rizieq Syihab (FPI-HRS), sama-sama menghadapi risiko HAM, risiko jatuhnya korban jiwa.

FPI-HRS mencoba menjebak NKRI-JKW dengan seruan agar meliburkan segenap pegawai, pekerja dan pelajar maupun mahasiswa untuk untuk turun melakukan Aksi Bela Agama dan Negara. Sebaliknya, NKRI-JKW melalui Kepala Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, menegaskan bahwa:

  1. demonstrasi adalah hak demokratis warga tapi bukan hak memaksakan kehendak dan bukan hak untuk merusak,
  2. demi menjaga keamanan dan kenyamanan di Jakarta, Presiden lewat Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengerahkan personel untuk berjaga, dan
  3. pemerintah menjamin hak menyampaikan pendapat sekaligus mengutamakan ketertiban umum.

Jika benar bahwa kedua pihak sama-sama menghindari risiko HAM sebagai konsekuensi logis dari posisi yang diambil, masing-masing sulit untuk tidak mengakui adanya empat opsi:

1. Jika kedua belah pihak menganulir tuntutannya, dimana FPI-HRS bergerak sendiri tanpa dukungan pegawai, pekerja dan pelajar maupun mahasiswa sebagaimana seruan jebakan mereka, sementara NKRI-JKW bertindak tanpa melibatkan polisi dan TNI untuk menghadapi FPI-HRS; maka baik NKRI-JKW maupun FPI-HRS mungkin saja dapat memperkecil risiko jatuhnya korban jiwa. Tetapi, hal ini menyisakan persoalan: apakah kedua belah pihak mau kehilangan muka di depan publik dunia?

2. Jika benar bahwa FPI-HRS akhirnya maju didukung oleh pegawai, pekerja dan pelajar dan mahasiswa yang diliburkan oleh NKRI-JKW pada hari H, sementara NKRI-JKW bersikap pasif dan membiarkan demo besar terjadi; maka NKRI-JKW harus mempertangungjawabkan jatuhnya NKRI seperti jatuhnya Suriah yang dijarah ISIS. Risiko yang sama akan dihadapi FPI-HRS jika membatalkan demo, yakni dengan akibat bahwa mereka kehilangan eksistensi sebagai representrasi ummat Islam sebagaimana yang mereka klaim selama ini.

3. Jika kedua belah pihak saling berdialog/beraudiensi tanpa melibatkan demo apa pun (pada pihak FPI-HRS) dan tanpa melibatkan tindakan penanggulangan demo (pada pihak NKRI-JKW), taruhlah misalnya melalui dialog atau auddiensi, keduanya mungkin mengalami penurunan bahkan eliminasi risiko korban jiwa; namun dengan konsekuensi bahwa kedua belah pihak mengalami penadiran dan penganuliran atas dadakan yang membuat keduanya terlibat dalam friksi.

4. Jika kedua belah pihak bekerja sama, dimana pihak FPI-HRS membatalkan niatannya sama sekali dan tidak mencampurkan antara urusan kenegaraan dan keagamaan dan/atau hanya berurusan dengan soal keagamaan yang menjadi kewenangannya (meskipun ini merupakan kemungkinan yang muskil); sementara NKRI-JKW juga hanya menangani urusan kenegaraan sebagaimana tanggungjawab dan kewenangnnya ( ini pun merupakan kemungkinan yang muskil mengingat di NKRI ada Kementerian Agama dan bukan Kementerian Ursan Haji); maka masing-masing pihak terhindar dari risiko korban HAM. Pilihan 4 ini mungkin tidak menarik bagi kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan.

Terlepas dari semua opsi, menurut saya yang sedang terjadi sesungguhnya adalah bahwa FPI-HRS dengan modus jihadnya tidak mungkin peduli –bahkan kalau bisa– memanfaatkan korban jiwa sebagai modus operandi sebagaimana pemanfaatan korban Protes Tiananmen Square, 4 Juni 1989, dimana pasukan militer era Mao dengan senapan dan tank menyerbu dan menewaskan ratusan demonstran yang mencoba memblokir Tiananmen Square.

Peristiwa demonstrasi yang memakan korban ratusan mahasiswa ini menjadi sumbu Gerakan Demokrasi ’89, dimana protes akhirnya ditanggulangi setelah pemerintah mengumumkan darurat militer. Dengan skenario yang mirip Tiananmen Square, FPI-HRS sebagai ujung tombak “the invisible hand” berupaya membuat gerakan yang lebih besar dan luas mirip ISIS yang hendak menjadikan NKRI sebagai Suriah kedua.

Sampai di sini, saya berharap, semoga analisis saya hanya sebuah hasil pemikiran ngawur.

Silahkan Anda berpendapat.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *