Categories
Begini Saja

Haruskah Tuhan Mengganti Nama Dirinya?

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono, “Haruskah Tuhan Mengganti Nama Dirinya?”, 26 Agustus 2015.

Tuhan, warga Dusun Krajan, Desa Kluncing, Kecamatan Glagah, Banyuwangi bersikukuh untuk tidak mengganti namanya. Pernyataan Tuhan ini muncul menyusul permintaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banyuwangi melalui Achmad Yamin, Ketua MUI Banyuwangi, yang meminta Tuhan berbesar hati untuk mengganti namanya.

Pertanyaannya, apakah orang tak boleh mengambil salah satu dari milyaran kosakata yang tersebar di berbagai bahasa di dunia ini? Haruskah kita menghindari nama “Tuhan” ketika memilih nama bagi anak kita? Haruskah kosakata “tuhan” digunakan secara “benar” hanya untuk nama Allah, sehingga lembaga semacam MUI dapat memerintahkan mengganti nama seseorang yang sudah telanjur memakai nama itu sebagai identitas sipilnya?

Benar bahwa nama sakral seperti “Tuhan” telah diklaim oleh berbagai kelompok sebagai “lebih benar”, sementara nama dengan kosakata lain dianggap salah. Lantas untuk apa pertikaian pendapat tentang kosakata untuk menamai rujukan dengan makna yang sama? Apa beda antara berseru “Ya, Allahku” dan “Oh, my God!”?

Masalahnya bukan pada soal bahwa kita dapat berbicara tentang Tuhan atau Allah tanpa memberi nama. Kembali ke pertanyaan dasar, apakah MUI dapat memerintahkan seorang untuk mengganti nama “Tuhan” di KTP-nya? Haruskah pengggunaan kata “Tuhan” menjadi monopoli orang atau kelompok yang mendasarkan pada Kitab Suci dari agama yang dipeluk?

Pertama, perlu dipahami bahwa kosakata “Tuhan” sebagai “nama sakral” dalam referensi untuk Allah bukan satu-satunya kosakata. Argumen yang sama diperkuat dengan fakta bahwa terdapat kosakata “Tuhan” dalam berbagai bahasa dan spektrum kelompok agama baik yang monotheistik, maupun polytheistik; sehingga MUI tidak dapat mempersoalkan kosakata “Tuhan” yang telah dipakai seseorang. Untuk mengeksekusi perintah imperatifnya, MUI harus pula memberikan perlakuan yang sama pada orang-orang yang menggunakan nama yang setara dengan kosakata “Tuhan”, seperti: Gusti, Raja, Sultan, Sunan.

Kedua, klaim “nama sakral” dalam kosakata “Tuhan” tidak memiliki manfaat jika dirujukkan semata pada ide tentang “Allah” menurut Kitab Suci, sementara dalam Kitab Suci (mana pun) tersedia berlimpah istilah tentang “Allah”. Lain ungkap, jika perintah untuk mengganti “nama sakral” yang dipakai oleh seorang yang bernama “Tuhan” dilandaskan semata pada klaim yang mereferensi makna Allah seraya menafikkan logika “satu buat keseluruhan“ (pars pro toto), maka perintah itu tidak tuntas bahkan bakal memproduksi perintah yang ditanggap dengan kontroversi baru pula.

Ketiga, karena Tuhan telah menjadi nama sipil dari seseorang, pihak mana pun yang memerintahkan pencabutan nama “Tuhan” darinya harus mampu membuktikan bahwa kosakata “Tuhan” adalah sebutan asli (otentik) yang mereferensi hanya pada Kitab Suci tertentu. Ada dua kemungkinan. Jika berhasil membuktikan, maka pihak yang memerintahkan pencabutan nama harus mengklaim perintahnya berdasarkan delik Undang-undang Hak Cipta; sebaliknya, jika gagal membuktikan, pihak yang memerintahkan pencabutan nama harus mengakui hak cipta orangtua dari yang bernama “Tuhan”.

Jadi, ide seperti yang diajukan MUI, yang dapat dibantah karena tidak ada bukti untuk perintahnya, adalah logis untuk diabaikan oleh orang yang bernama “Tuhan” tersebut. Salah satu cara menguji tentang hak atas nama “Tuhan” yang mereferensi ke makna Allah adalah dengan mengajukan pertanyaan: ‘Apakah ditemukan kosakata “Tuhan” pada naskah asli kitab Suci untuk nama yang digunakan untuk Allah?’ Jika nama tidak ditemukan, maka klaim untuk memerintahkan pencabutan nama “Tuhan”sebagai nama seseorang adalah palsu dan bermotifkan permainan kuasa (the game of power).

Keempat, penyebaran agama berbasis kitab suci (agama samawi) sendiri menunjukkan keniscayaan bahwa nama Allah diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain bahkan, sebagai salah satu contoh, Kitab Perjanjian Lama menggunakan berbagai nama untuk Allah. Selain Elohim dan Yahweh, nama-nama lain yang mereferensi makna Allah adalah Immanuel (Yesaya 07:14), juga Bapa yang Kekal dan Raja Damai (Yesaya 9: 6). Dengan demikian, banyak nama untuk Allah digunakan dalam bahasa Ibrani, Aram, dan Yunani, dan ini diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain.

Pertanyaan yang lebih fundamental, apakah keberatan (MUI) Banyuwangi melalui Achmad Yamin itu lebih pada soal akibat yang ditimbulkan karena orang memanggil “nama” seseorang dengan nama “Tuhan” atau karena orang melakukan sesuatu terhadap “nama” seseorang itu? Manakah sebenarnya fokus keberatannya: pada akibat yang ditumbulkan karena orang memanggil seseorang dengan panggilan “Tuhan” atau karena orang tidak melakukan tindakan mengeja atau mengucapkan nama itu dengan “tidak benar”?

Ketika Achmad Yamin bertindak atas nama lembaga tertentu, mungkin ia melakukannya di kantor atau mengatas-namakan pada otoritas pribadinya. Ia dapat memerintahkan untuk menangkap atau mencoret hak sipil seseorang bernama Tuhan “dalam nama (legitimasi) hukum tertentu”. Melakukan tindakan atas nama “hukum tertentu” berarti bertindak berdasarkan otoritas, kekuasaan atau lembaga yang diwakilinya. Jika lebih diekstrimkan lagi bahwa ia memerintahkan orang untuk mengganti namanya dengan argumentasi bahwa Tuhan adalah “nama Allah”, maka boleh jadi ia sedang bertindak atas nama Allah yang namaNya diklaim telah dicatut oleh seorang manusia yang mengaku nama sipilnya adalah “Tuhan”.

Pertanyaan lebih lanjut, tidakkah sembarang orang bisa menggunakan nama Allah karena nama ini dapat dieja dan diucapkan dalam bahasa apapun? Kita dapat menggunakan nama Allah yang ada dalam bahasa kita sendiri. Orang Inggris menggunakan kata “God“, orang Jerman menggunakan kata “Gott“, orang Spanyol menggunakan kata “Dios” dan orang Yunani menggunakan kata “Theos” ketika mengacu pada Tuhan.

Kalau banyak orangtua menamai anaknya dengan nama Elohim, Yahweh, atau Immanuel –nama-nama yang mereferensi makna Allah—kenapa orangtua Mas Tuhan tak boleh menamai anaknya dengan nama “Tuhan”?

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *