Categories
Begini Saja

Jarene Negarawan, Tibako Selekete

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono: JARENE NEGARAWAN, TIBAKO SELEKETE, 7 Agustus 2014.

Tanggal 22 Juli 2014 Pak Nono (bukan nama sebenarnya), yang sehari-harinya berjualan bakso keliling di kisaran alon-alon kota Sidoarjo, mengubah jadwal jualan baksonya. Hari itu ia mau jalan sore. Tak seperti biasanya, ia baru bangun jam 7 pagi menyiapkan bahan buat jualan mulai sore. Ia tidak bangun dini hari mempersiapkan bahan-bahan dagangannya. Buatnya, Rabu Pahing 22 Juli adalah hari istimewa. Ia mau mau nonton TV siaran pengumumam hasil pilpres oleh KPU. Baru setelah itu, ia akan jalan menjajakan baksonya. Ia sangat berharap pasangan capres-cawapres no 1 jagoannya, Prabowo-Hatta, menang pilpres.

Jam 14.35, setelah selesai menyiapkan semua bahan bakso di gerobak doronganya, ia tak langsung keluar dari kamar kontrakan yang ia bayar bulanan. Tak seberapa lama kemudian ia menggembok pintu kamar dan berjalan ke warung tetangganya, seorang penjual rokok, di seberang jalan. Ia mau nonton TV yang meliput pengumumam hasil pilpres.

Siang tanggal 22 Juli, tepatnya pukup 14.05, matanya tertuju ke layar kaca. Ia menatap jagoannya lagi berpidato berapi-api sembari berdiri. Sejumlah politisi pendukungnya berdiri di belakangnya antara lain MS Kaban, Akbar Tandjung, Aburizal Bakrie, Suryadharma Ali, Sekjen PAN Kurniawan, Mahfud Md, dll.

Seperti biasanya setiap kali menonton tindak-tanduk Prabowo, ia berasa merinding, apalagi melihat kegagahan sosok Prabowo. Ia sangat yakin, Prabowo-Hatta menang. Kata demi kata meluncur dari mulut pujaannya:

“Saudara-saudara sekalian, kami Koalisi Merah Putih mengikuti langkah-langkah dalam rangka menjalani demokrasi dengan sepenuh hati, dengan penuh keikhlasan, dengan penuh semangat, dengan penuh niat menghormati kedaulatan rakyat yaitu menghormati bahwa rakyat Indonesialah yang harus memiliki kekuasaan dan menentukan nasibnya sendiri.”

Aliran kata-kata itu yang selama ini membuatnya berasa benar-benar jadi orang Indonesia sejati, meski ia hanya seorang penjual bakso keliling.

Ia menyimak lagi apa yang diucapkan Prabowo selanjutnya:

“Kita yang di belakang saya adalah pejuang-pejuang demokrasi. Hampir semua pemimpin politik di belakang saya dulu ikut demonstrasi, ikut mempertaruhkan nyawa untuk demokrasi. Saya walaupun di TNI, saya termasuk perwira muda yang mendorong terbentuknya demokrasi. Dari sejak saya usia muda, saya dan rekan saya mempertaruhkan jiwa dan raga demi kepentingan rakyat bangsa Indonesia. Kalau kita hanya mencari hidup enak dan hidup nyaman saya kira kami tidak perlu lagi berjuang di bidang politik.”

Sambil menghela nafas panjang kemudian mengeluarkannya pelan-pelan seolah ia tak mau ketinggalan memaknai kalimat demi kalimat dan kata demi kata dari jagoannya.

“Prabowo itu kurang apa, hayo? Selain kaya, ia cerdas, gagah, dan ganteng lagi; tetapi yang bikin saya kepencut, ia tetap saja mau memperjuangkan nasib orang banyak. Itu yang saya suka”. Ini ucapannya yang setiap kali diulang di depan teman, tetangga, pelanggan, dan orang-orang baru yang ia temui hari-hari.

Ia makin yakin, Prabowo menang. Ia menatap dengan mata elang, sama seperti jagoannya setiap kali berpidato:

“Demokrasi artinya rakyat berkuasa. Wujud dari demokrasi adalah pemilihan. Dan esensi pemilihan adalah pemilihan yang jujur, adil, bersih. Kalau di TPS yang berhak memilih 300 orang, sedangkan yang datang 800 orang, itu berarti tidak jujur, tidak adil, dan tidak bersih. Kalau ada pejabat yang mencoblos puluhan dan ratusan surat suara itu tidak demokratis. Tim hukum kami, saksi kami, dari belasan provinsi, telah melaporkan kecurangan-kecurangan yang luar biasa. Dari Papua saja, ada 14 kabupaten yang tidak pernah melaksanakan pencoblosan apapun. Di DKI ada 5.800 TPS yang oleh Bawaslu sudah direkomendasikan untuk pemilu ulang tapi tidak digubris KPU. Di Jatim, demikian juga, 6 kabupaten direkomendasikan.”

Mendengar uraian yang baru saja ia dengar, tangannya terasa tegang, menunjukkan geram. Jagoannya dicurangi. Ia bangkit berdiri tanpa mempedulikan tetangganya, si pemilik warung rokok, yang sedari awal duduk santai sambil sesekali menyimak layar TV. Beberapa langkah ke depan ia mendekati layar TV. Ia lihat jagoannya melanjutkan pidato:

“Saudara-saudara sekalian, dengan demikian, kami capres cawapres Prabowo Subianto – Hatta Rajasa, mengambil sikap tentang rekapitulasi suara KPU. Izinkan saya menyampaikan apa yang telah menjadi hasil rapat Timkamnas prabowo-hatta terhadap pelaksanaan Pilpres 2014. Mencermati proses pelaksanaan pilpres yang diselenggarakan oleh KPU, kami menemukan beberapa hal yang memperlihatkan cacatnya proses Pilpres 2014 sehingga hilang hak-hak demokrasi rakyat Indonesia. Antara lain: Satu, proses pilpres 2014 yang dilaksanakan KPU bermasalah, tidak demokratis dan bertentangan dengan UUD 1945. Sebagai pelaksana, KPU tidak adil dan tidak terbuka. Banyak aturan main yang dibuat justru dilanggar sendiri oleh KPU.  Dua, rekomendasi Bawaslu terhadap segala kelalaian dan penyimpangan di lapangan di berbagai wilayah di Tanah Air, diabaikan KPU. Tiga, ditemukan sejumlah tindak pidana kecurangan pemilu oleh penyelenggara pemilu dan pihak asing dengan tujuan tertentu. Hingga pemilu jadi tidak jujur dan tidak adil. Empat, KPU selalu mengalihkan masalah ke MK, seolah-olah segala keluhan dari tim Prabowo-Hatta merupakan sengketa yang harus diselesaikan oleh MK, padahal sumber masalahnya ada dalam internal KPU. Lima, Telah terjadi kecurangan yang masif, terstruktur, dan sistematis pada pelaksanaan pemilu 2014.”

“Pak No, sampeyan rodo mundur sithik. Awak ga iso nontok, wong tivi sampeyan tutupi” kata pemilik warung rokok.

Pak Nono seperti tidak mendengar keberatan si tuan rumah, “Sabar, Pak. Sik. Sampeyan tunggu. Dheke arep mutuso opo. Iki penting” sambil tetap berdiri dan makin mendekati layar TV.

Matanya tak lepas menatap layar. Ia bahkan mengambil remote  dan membesarkan volume teve, seolah dialah si empunya TV. Jagoannya melanjutkan pidatonya:

“Atas pertimbangan di atas, maka kami capres cawapres Prabowo-Hatta sebagai pengemban suara dari rakyat sesuai pasal 1,2,3 UUD 1945 akan menggunakan hak konstitusional kami yaitu menolak pelasanaan pilpres yang cacat hukum. Dengan demikian kami menarik diri dari proses yang sedang berlangsung. ……”

Lho, lho, lho, …… kok ngono kon, Pak. Jarene Negarawan, Tibako Selekete ngene….” Ia mundur, kembali duduk. Ia tampak lunglai. Kecewa jagoannya ngambek.

Ia tiba-tiba berdiri, melengos ke si pemilik warung rokok, sembari berucap: “Lah po Wowo, Pak. Aku cegek nemen iki. Jarena negarawan, tibako selekete. Pamit sik, yo Pak. Suwun…” sambil ngeloyor keluar menyeberang jalan menuju rumah kontrakannya tanpa menunggu jawaban si empunya warung rokok.

Ia langsung mengeluarkan anak kunci, membuka gembok, masuk kamar kontrakannya, kemudian mendorong keluar gerobak baksonya. Setelah mengunci kembali gembok pintu kamar kontrakannya, ia langsung bergegas mendorong gerobak baksonya menuju alon-alon Sidoarjo, tempat biasanya ia berjualan.

Ia berhenti di salah satu sudut alon-alon. Kemudian memukul-mukulkan sendok ke mangkuk bakso memanggil pembeli:  “thing …thing ….thing” sambil berteriak “bakso…bakso…bakso…persiapan buka puasa, Bu, Pak!”.

Selama mangkal hampir satu setengah jaman di situ, hanya ada 9 orang pembeli yang minta baksonya dibungkus buat buka puasa. Selama itu pula terpikir hal yang menurutnya tak beres. Yang membuatnya bertanya-tanya sembari berjualan, kenapa Hatta Rajasa tidak muncul, bahkan tidak terlihat sampai ia meninggalkan warung rokok tadi, “Kemana, ya, Hatta Rajasa?. Aneh”

Tiba-tiba terdengar suara adzan magrib, tanda buka puasa. Kira-kira 30 meter dari tempatnya mangkal, ia melihat belasan anak remaja tanggung berjalan menuju ke arahnya. Melihat dua di antara remaja itu mengempit bola sepak, ia yakin, rupanya mereka baru saja main bola di sudut lain alon-alon. “Pasti pada lapar anak-anak ini” katanya dalam hati.

Tanpa pikir panjang, seperti bukan kemauannya sendiri, ia memukul-mukulkan sendok ke mangkuk di tangannya dan memanggil anak-anak itu: “Rek-rek, mreneo kabeh, tak gratisi bakso. Mrene, mrene, mrene!” teriaknya.

Kumpulan remaja itu pun tiba-tiba berhenti. Mereka saling memandang, seolah tidak percaya atas apa yang mereka dengar dari mulut si penjual bakso.

Tenane, Pak. Sampeyan mbanyol, ta?”  tanya salah seorang di antaranya ke Pak Nono.

Wis ta, awak gak mbujuk iki… Entekno kabeh baksoku. Yen perlu kon celuk konco-konco ndhuk kamping sing gurung buko” ia berusaha meyakinkan bahwa ia sungguh-sungguh dengan omongannya.

Kerumunan remaja itu masih tidak bereaksi sampai salah satu dari mereka bertanya ke Pak Nono:  “Sik, sik, Pak. Sampeyan iku maksude opo’o?. Gak rugi ta sampeyan? Mene sampeyan gak iso dodolan, lho, Pak”.

Tak jarwane, yo, rek. Iki aku nazar Jokowi-JK menang pilpres.  Wis, wis. Aku wis mari mbek Wowo. Aku cegek. Dibelani seprono seprene, tibako selepete”.

Sumber:

  1. Kisah nyata yang narasikan oleh penulis.
  2. Online documets: http://www.slidegossip.com/2014/07/isi-pidato-lengkap-prabowo-subianto-yang-memilih-mundur-dan-menolak-pelaksanaan-pilpres-2014.html
  3. Online documets: http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/08/07/pascapengumuman-kpu-dukungan-kedua-capres-berubah-drastis,
  4. Online Documets: http://www.suarapembaruan.com/home/jika-pilpres-diulang-inilah-pemenangnya/61610#.U-MuXuJpkIw.facebook

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *