Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono, “KENAPA ORANG CERDAS INGIN SELALU DIANGGAP BENAR?”, 3 November 2016.
Hari Jumat Empat Sebelas ini memaksa saya menjawab pertanyaan: “kenapa orang-orang cerdas yang didaulat sebagai pemuka komunitas ingin selalu dianggap benar dan kadang lebih membela ide-ide mereka sampai mati daripada mengakui bahwa mereka salah?”
Sesi-sesi konseling dan konsultansi saya kian mengafirmasikan, orang-orang pintar sering terperangkap pada pilihan yang mereka yakini sebagai kebenaran, meski pilihan mereka sekadar berbasis pada angan-angan, hasil yang tak seberapa, atau demi mendapatkan simpati dari sekelompok orang.
Sampai mereka kelak berhadapan dengan seseorang yang secara telak membedah logika yang membuat mereka bertahan pada penyalahgunaan intelektual, mereka bahkan tidak pernah mempertanyakan seberapa besar kapasitas mereka dalam mempertahankan ide-ide mereka.
Dalam kondisi dimana obsessiveness mereka untuk menjadi yang paling benar kuat, mereka cenderung menghindari bahkan mengusir orang-orang yang berusaha mencabar mereka sebelum mereka mempertanyakan bias logika dan manipulasi berpikir mereka. Hal ini terutama lebih mungkin terjadi jika mereka memiliki kebiasaan untuk lebih mempertahankan ide-ide daripada kejujuran mereka memeriksa apa yang menjadi inti kepedulian, luka batin, bahkan trauma mereka di masa lalu.
Sebenarnya mereka dapat dengan mudah dijinakkan manakala logika mereka tidak bekerja ketika diterapkan pada salah satu sampel/cuplikan realitas sepele. Yang menyulitkan mereka untuk menjadi ‘open-minded’ adalah bahwa mereka berupaya untuk tidak dapat terbukti salah, sehingga hal ini mencegah mereka sampai pada kebenaran. Mereka lebih berusaha membantah pertanyaan dan serangan, namun gagal membangun pembenaran dan argumentasi yang berlaku pada ide yang mereka pertahankan secara mati-matian.
Mereka cenderung membela gagasan yang tampaknya benar menurut pemikiran komunal, meski mereka tidak menyadari bahwa ketika semua orang cerdas berkumpul di suatu ruangan tidak berarti bahwa secara kolektif mereka mampu menghasilkan ide-ide cerdas. Kekuatan tekanan teman membuat mereka berada pada “group-think”, sehingga kehilangan intelektualitas mereka.
Mereka abai bahwa sebagai makhluk sosial mereka sangat dipengaruhi oleh bagaimana orang-orang di sekitar mereka berperilaku, sementara kualitas pengambilan keputusan internal mereka bervariasi tergantung pada lingkungan saat mereka berada.
Makin homogen kelompok yang mempengaruhi pemikiran mereka, makin sempit portal nalar mereka, dan makin sempit pula kemungkinan mereka untuk mempertimbangkan gagasan di luar yang mereka peluk bersama kelompok homogen mereka. Padahal, makin berpikiran terbuka, makin kreatif, dan makin berani melawan ide kelompok; makin luas kolam ide mereka untuk dieksplorasi.
Mungkin saja mereka menyelenggarakan diskusi kelompok fokus dengan mengundang konsultan atau memanfaatkan metode penelitian tertentu untuk mengadopsi ide-ide dari luar kelompok, tapi ini jarang meningkatkan kualitas berpikir dalam kelompok mereka sendiri. Ide-ide luar, meski bernas, akan tergantung pada keragaman pemikiran dalam kelompok itu sendiri. Jika kelompok, sebagai kolektif, hanya mampu menyetujui cara kerja tingkat B, muskil bagi mereka untuk menerima ide tingkat A.
Kelompok homogen akan hanya menerima ide yang membuat mereka bertahan dalam homogeneitas karena mereka terdiri dari anggota-anggota dengan latar belakang, pandangan, dan pengalaman yang seragam sehingga mereka hanya merasa nyaman mendiskusikan ide-ide yang sesuai dengan batasan pada kapsul mereka.
Apa pelajaran yang dapat kita tarik dari peristiwa hari ini?
Jika kita menginginkan orang pintar menjadi secerdas mungkin, cara terbaik adalah menabrakkan mereka pada keragaman ide. Sebagai apa pun kita dalam lingkungan kita, sebaiknya kita cari orang-orang dengan pengalaman, pendapat, latar belakang, bobot, ketinggian, ras, gaya rambut, warna kulit, usia, pakaian favorit, filosofi, dan keyakinan yang berbeda. Dengan ini kita dapat meretas kebuntuan sebagaimana yang terjadi hari ini.
Sayangnya, jangankan rekrutmen pada perusahaan swasta, rekrutmen para pengajar dan peneliti di universitas negeri sekalipun –meski dengan cara ‘silent operation’– mereka memberlakukan homogeneitas dan bukan heterogeneitas.
Sayangnya, jangankan dalam hal berpakaian, dalam ragam makanan pun kita cenderung makan yang itu-itu hanya karena orang makan yang itu-itu juga; sementara di lemari pakaian kita, mungkin lebih banyak tersimpan pakaian seragam dibandingkan pakaian yang bersifat preferensial. Galibnya, kita lebih menyambut hal-hal yang bukan pilihan kita sendiri.
Fakta bahwa kita belum mati berarti bahwa hal-hal yang telah kita lakukan dan putuskan sampai sekarang ini tidak harus sama dengan yang dilakukan mayoritas orang, kecuali kita sendiri sudah merasa menjelang kematian.
Poin saya adalah bahwa “jangan katakan dengan penuh keyakinan bahwa kursi di depan Anda berat sebelum Anda mengangkatnya”. Orang-orang cerdas seharusnya melakukan saran ini sepanjang waktu, sebab hal ini dapat diterima sebagai aturan praktis dan diterima sebagai pemikiran yang sebenarnya.
Agar sama-sama memiliki acuan realitas, tayangan video ini telah menggertakkan saya untuk merenungkannya:
Tautan video: https://www.facebook.com/ulin.yusron/videos/10154650084218718/
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.